PERTANIAN

Sampai Kapanpun Hari Tanpa Tembakau Sedunia Harus Ditolak

Hari Tanpa Tembakau Sedunia adalah hari yang digagas oleh World Health Organization (WHO). Pada tahun 1988, Majelis Kesehatan Dunia menyerukan kepada seluruh negara anggota dari WHO untuk merayakan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day) setiap tanggal 31 Mei. Awal mula tujuannya adalah mengajak orang untuk tidak merokok pada hari itu.

Namun pada perkembangannya kampanye untuk tidak merokok dalam satu hari tersebut berubah menjadi dorongan dari WHO untuk membatasi peredaran tembakau di dunia. Salah satu caranya adalah mendorong negara-negara anggota WHO untuk membuat berbagai peraturan yang mempersempit ruang gerak dari tembakau.

Di antaranya adalah aturan tentang kawasan tanpa rokok, larangan iklan, promosi dan sponsor rokok. Mendorong kenaikan cukai tembakau sampai dengan titik yang tinggi, yang berdampak pada mahalnya harga produk tembakau (rokok). Membuat aturan yang mendorong petani tembakau untuk menggantikan dengan produk pertanian lain, dan berbagai regulasi lainnya.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Komunitas Kretek, Aditia Purnomo di sela-sela aksi Tribute to Kretek, Senin (28/5) . Adit menjelaskan, alasan utama dari berbagai pelarangan tersebut adalah kesehatan. WHO mengklaim bahwa tembakau telah membunuh hampir enam juta orang setiap tahun. Di mana lebih dari 600 ribu perokok pasif menjadi korban akibat menghirup asap dari para perokok aktif. Dan kemudian menyatakan bahwa tembakau telah menjadi penyebab utama kematian di dunia.

“Selalu saja kesehatan dijadikan alasan untuk membunuh industri tembakau nasional. Padahal, sudah banyak penelitian para pakar kesehatan yang tegas menyatakan bahwa tembakau bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit, dari kanker, jantung, bahkan wabah ebola yang pernah membuat geger bangsa Eropa,” tegas Aditia, lelaki kelahiran Tangerang tersebut.

Menurut Adit, ampanye-kampanye antitembakau yang dibungkus dalam bentuk kesehatan tersebut ternyata disponsori oleh industri-industri farmasi (asing). Kepentingan mereka adalah menggantikan rokok dengan produk lain pengganti rokok hasil produksi dari industri farmasi. Seperti permen karet dan koyok untuk berhenti merokok. Atau bahkan juga membuka klinik-klinik berhenti merokok dan obat-obatnya. Tentu semuanya tidak gratis, yang artinya hal tersebut memberikan keuntungan bagi industri farmasi. Sehingga, kampanye antitembakau yang dibungkus dengan isu yang sangat mulia tentang menjaga kesehatan, ternyata syarat akan kepentingan penguasaan pasar dagang.

Senada dengan Aditia, Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek, Mohammad Azami mengungkapkan, sekurangnya 10 juta orang di dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung, menggantungkan sumber kehidupannya dari tanaman tembakau. Mereka di antaranya adalah para petani tembakau, ribuan industri rokok kretek, pedagang klontongan, industri periklanan, dan lain-lain.

Khusus untuk Indonesia, 6 juta orang menggantungkan hidup dari industri tembakau ini. Tak hanya itu, industri hasil tembakau menjadi pemasukan besar bagi negara, pada 2017 misalnya, negara mengantongi 149 triliun cukai hasil tembakau. “Ini sebuah penistaan terhadap karunia Tuhan, jika HTTS terus disuarakan di Indonesia,” tegasnya.

Berlandas pada hal tersebut, dalam gelaran Tribute to Kretek kali ini, baik Komunitas Kretek maupun KNPK ingin menegaskan bahwa HTTS adalah gerakan yang dapat merongrong kedaulatan industri hasil tembakau. Selain itu, menurut Koordinator Lapangan Aksi Tribute to Kretek, Jibal Windiaz, rangkaian acara Tribute to Kretek yang melakukan perjalanan ribuan kilo meter, dari Jakarta, Surabaya hingga Jogjakarta pada bulan puasa adalah bentuk tirakatan menolak HTTS dan perlawanan terhadap stigma buruk rokok adalah pembunuh.

“Hampir semua peserta Tribute to Kretek adalah perokok dan tetap berpuasa selama perjalanan aksi menolak HTTS di tiga kota. Mereka masih sehat, gembira dan waras bahwa perjuangan yang benar adalah yang mengungtungkan negara,” pungkas Jibal.