Pada suatu kesempatan, Mbah Mus dhwuh soal ilmu malakah, ilmu yang menggunakan hati dan telinga sebagai instrumen terpenting dalam menilai benar atau salah sesuai teori kelimuan.
“Orang yang sudah malakah tidak perlu dalil dalam menilai sesuatu itu benar atau salah. Contohnya seperti ini, orang yang baru hafal Alfiah, dikit-dikit baca bait alfiah. Bila ada yang bertanya, kenapa ini dibuang? Terus dia akan mendalil” wahadmu yu’lamu jaizun. Sedangkan orang yang sudah malakah, jika ada yang bilang “ja’a zaidan”, maka orang malakah akan bilang “kalimat itu salah”. Lalu jika ditanya dalilnya, orang malakah akan bilang ‘tidak perlu dalil-dalilan, didengar tidak enak’”
Tentu saja, meski dibawakan dengan guyonan, dhawuh Mbah Mus syarat makna yang dalam jika ditarik ke berbagai ranah, baik keilmuan ataupun kehidupan. Tidak akan mungkin seseorang mencapai titik malakah, jika tidak ngelotok terlebih dahulu ABC suatu keilmuan. Ini semacam tingkatan yang dibahas dalam kitab bidayatul hidayah perihal syariat, ma’rifat dan haqiqoh.
Barangkali soal musik, saya ini sudah mencapai ilmu malakahnya Mbah Mus versi KW. Kesamaannya soal enak atau tidak di telinga saya, dan yang demikian setiap orang punya tolok ukur masing-masing. Bukan soal benar salah, karena saya tidak paham ABC musik yang benar itu seperti apa, sehingga bukan kapasitas saya untuk menghukumi benar salah dalam suara alat-alat musik maupun pita sura pelantun.
Soal musik, saya sangat berbeda dengan kawan-kawan se-tongkrongan. Kalau kawan-kawan saya mencintai musik dengan idealisme dan memahami betul genre musik yang digandrungi, sedang saya hanya berlandas pada enak atau tidak, kalo cocok di telinga dan pas pada suasana hati, ya puter terus tanpa henti. Sampai suasana hati berganti.
Dangdut dan keroncong adalah dua musik yang amat saya gandrungi, itupun lagu-lagu tertentu saja. Jelas bukan persoalan dangdut dan keroncong terasa Nusantara banget atau saya nasionalis akut. Tidak. Dangdut dan keroncong adalah dua musik yang masoook dicerna telinga dan hati saya. Keduanya selalu menemani saya menulis sampai larut.
Hannah Standiford bersama grup keroncong Rumput yang kesemuanya berisi orang Amerika Serikat adalah salah satu grup keroncong yang amat saya gandrungi. Lagu yang mereka bawakan selalu berhasil menyuntikkan semangat dalam aliran darah saya. Menghibur dan menenteramkan. Memecahkan kebebalan yang mengeras dalam otak. Wailah.
Yang lebih mengagumkan lagi, Mbak Hannah Standiford berhasil menampar saya berkali-kali. Bagaimana seorang anak bangsa yang numpang lahir, makan, kencing, membuang tinja di tanah Nusantara dan mengaku mencintai Tanah Air Indonesia, ternyata tidak pernah melakukan apa-apa untuk bangsa dan negara.
Mbak Hannah Marie Standiford, kepadamu saya mengangkat topi sambil menunduk. Semoga dari lagu yang sampean bawakan, saya membekali ABC soal keroncong untuk menyempurnakan ilmu malakah kw saya.
Terimakasih banyak.
dari anak bangsa yang mulai mencintai Indomie.