logo boleh merokok putih 2

Putri dan Mbah Parti

Tahun ini memasuki tahun kedua Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) mengelola program beasiswa bagi anak-anak petani dan buruh tani tembakau di dua belas kecamatan di Kabupaten Temanggung. Beasiswa ini diperuntukkan bagi anak-anak yang tahun ajaran baru 2018 mulai bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ada di Temanggung.

Setiap tahunnya, ada seratus anak yang berhak menerima beasiswa penuh sejak masuk sekolah hingga lulus SMK kelak. Syarat utamanya, harus anak-anak petani atau buruh tani tembakau di wilayah Kabupaten Temanggung.

Ada lima tahap yang mesti dilalui sebelum KNPK memutuskan seratus anak yang berhak mendapat beasiswa. Sosialisasi program beasiswa; pendaftaran dan pengembalian formulir; verifikasi pertama; tes tertulis; verifikasi kedua; dan pengumuman peserta yang lolos dan menerima beasiswa. Untuk mengawal semua rangkaian ini, KNPK menggandeng lima belas orang petani tembakau di Temanggung untuk menjadi koordinator di dua belas kecamatan yang menjadi sasaran beasiswa.

Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa orang rekan lainnya melaksanakan tahap empat dari rangkaian seleksi penerimaan beasiswa KNPK Temanggung ini. Tahap empat adalah verifikasi kedua. Pada tahap ini, kami wajib mewawancarai anak-anak dan orang tua mereka. Anak-anak yang lolos tes tertulis. Saya dipercaya mendatangi 27 rumah anak-anak tersebut. Berikut ini adalah catatan hasil kunjungan saya ke salah seorang anak dari 27 anak yang saya datangi.

* ***

Butuh lima kali bertanya kepada sembarang orang yang kami temui di tepi jalan sebelum kami menemukan rumah yang kami cari. Dari jalan desa yang beraspal, kami berbelok ke kiri, meninggalkan jalan beraspal, melalui jalan beton menanjak tepat di depan masjid kampung. Rumah yang hendak kami tuju terletak tak jauh dari masjid. Hanya dipisahkan jalan setapak yang berbelok arah.

Ketika kami tiba, Putri sedang bermain sepeda di halaman rumah yang juga menjadi halaman masjid. Awalnya, saya tidak tahu jika anak perempuan yang bermain sepeda itu adalah Putri. Padahal saya sudah dibekali foto wajah Putri. Kami memang tidak mencari Putri ketika bertanya, yang kami cari adalah Supartiyah.

Pada formulir pendaftaran beasiswa, Putri menuliskan nama Supartiyah sebagai walinya. Lebih dari 20 anak yang saya dan pemandu lokal kunjungi, hanya Supartiyah satu-satunya nama perempuan yang tertulis pada kolom wali murid. Lainnya, semua laki-laki. Bapak dari anak yang hendak kami temui.

Seorang perempuan tua mengenakan jilbab berwarna krem menyambut kami dan menyilakan kami masuk usai kami memberi salam. Jajaran kursi membentuk huruf ‘L’ dengan sebuah meja persegi panjang mengisi sudut dalam huruf ‘L’ tertata rapi di ruang utama rumah. Foto Ir. Sukarno berukuran besar dalam sebuah pigura tertempel di dinding menghadap ke pintu depan, memastikan siapa saja yang masuk ke rumah itu akan disambut oleh foto presiden pertama RI itu.

Di sudut depan rumah, menempel dengan jendela utama, terdapat mesin jahit kuno. Tampilannya yang bersih menandakan mesin jahit itu betul-betul dirawat dengan baik. Beberapa bahan berjaring yang dijahit menjadi tas, bertumpuk di sebelah mesin jahit.

Perempuan tua itu menyilakan kami duduk. Ia kemudian duduk pada barisan kursi yang menghadap jendela utama. “Mbah, betul nama Mbah itu Supartiyah?” Tanya saya.

“Iya betul.” Jawab Mbah Parti.

“Betul Mbah Ibu dari Putri?”

“Bukan, saya neneknya. Ibunya Putri sudah meninggal waktu Putri kelas empat SD. Bapaknya meninggal duluan waktu Putri masih TK, sakit ginjal.” Terang, Mbah Parti.

“Kalau Putri sekarang di mana, Mbah? Bisa tolong dipanggilkan ke sini.” Pinta saya.

“Nah itu, yang lagi main sepeda, itu Putri.” Mbah Parti lalu memanggil cucunya untuk bergabung bersama kami.

Saya berbincang panjang lebar dengan Putri, Mbah Parti berbincang dengan pemandu lokal saya. Putri pendiam dan pemalu, mungkin karena saya orang baru yang ditemuinya. Untuk mengetahui kesehariannya, saya mesti menyusun rupa-rupa pertanyaan agar Ia mau bercerita. Tetapi tidak untuk rencana masa depannya. Ia begitu lancar bercerita.

Senja kian menua, tak akan lama lagi azan maghrib berkumandang. Hawa dingin pegunungan mulai turun ke lembah-lembah, masuk ke rumah yang didiami Mbah Parti dan Putri, cucunya. Hawa dingin membikin saya kembali mengenakan jaket yang sebelumnya saya lepas.

Selepas kakak laki-laki Putri lulus sekolah SMK dan menyusul kakak perempuan Putri ke Jakarta untuk mencari pekerjaan di sana, Mbah Parti hanya ditemani Putri tinggal di rumah. Di sekitar rumah Mbah Parti, berdiri rumah-rumah yang ditinggali adik atau keponakan dari Mbah Parti.

“Kami tinggal berdekatan, tetapi hidup sendiri-sendiri, dari bekerja sendiri-sendiri. Saya nggak mau membebani orang lain biar pun itu saudara sendiri. Saya bekerja untuk menghidupi diri sendiri, dan untuk membiayai Putri dan dua orang kakaknya.” Terang Mbah Parti kepada kami. Ia lalu melanjutkan, “Sekarang saya sudah cukup tua, sudah nggak bisa kerja yang berat-berat lagi seperti buruh tani di kebun tembakau atau membuat keranjang tembakau dan alas penjemur tembakau. Andalan saya sekarang menjahit saja, sembari sesekali bekerja membungkusi keripik singkong. Dulu saya juga ikut menggoreng. Sekarang sudah nggak kuat, saya membungkusi saja. Putri juga ikut membungkusi kalau libur sekolah.”

Putri adalah satu dari 646 anak yang mendaftar beasiswa untuk anak-anak petani atau buruh tani atau pekerja gudang tembakau di Temanggung. Mereka yang mendaftar adalah mereka yang tahun ini lulus SMP dan bersiap masuk SMK. Dari 646 anak, dipilih 100 orang anak yang akan mendapat beasiswa penuh hingga mereka lulus SMK. Saya dipercaya menjadi salah satu orang yang memverifikasi dan menentukan apakah seorang anak lolos atau tidak dalam program beasiswa ini usai mereka ikut tes tertulis.

Saya tidak suka drama, saya suka yang biasa-biasa saja. Sayangnya, ketika berkunjung ke kediaman Mbah Parti dan Putri, bertubi-tubi saya disuguhi drama. Sayangnya lagi, bagi saya drama itu menyedihkan.

Belum selesai drama tentang kehidupan Mbah Parti dan Putri, saya disuguhi drama baru lagi. Ketika saya melihat nilai tes tertulis dari Putri, Ia menempati peringkat 100. Ini artinya, dari pertimbangan nilai, Ia menempati peringkat paling akhir dari anak-anak yang lolos program ini.

Jika kepada dua puluh lebih anak lainnya saya bilang nanti pengumuman resmi akan menyusul setelah saya mempelajari berkas hasil assessment yang saya lakukan, kepada Mbah Parti dan Putri, saya langsung bilang, “Putri lolos beasiswa. Alhamdulillah, Insya Allah sudah lolos.”

Mbah Parti sujud syukur, Putri menunduk sembari menutup wajah dengan kedua tangannya hingga kepalanya menyentuh lututnya. Lalu mereka berpelukan sembari menangis. Menangis gembira. Selanjutnya, Mbah Parti tak pernah berhenti mengucapkan terima kasih.

Pada berkas penilaian dan verifikasi bertuliskan nama Putri, saya mencoret kata “Tidak Lolos”, mencontreng kata “Lolos” kemudian menuliskan kata “PRIORITAS UTAMA” pada kolom alasan mengapa saya meloloskan Putri. Kemudian saya pamit. Melanjutkan kunjungan ke rumah anak seusia Putri lainnya.

Dari nilai tes yang diperoleh Putri, Putri anak yang biasa-biasa saja. Tidak terlalu pintar, namun jelas bukan anak bodoh. Dari perjumpaan itu, dan dari obrolan-obrolan kami, Saya jatuh cinta pada Putri dan Mbah Parti, jatuh cinta pada hidup dan kehidupan mereka, jatuh cinta pada perjuangan mereka. Dan saya kian jatuh cinta pada Putri karena Ia gemar membaca dan menulis.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)