Sekarung Jagung di Punggung Isna Triyana
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali” -Tan Malaka
Ketika diamanahi tanggung jawab mengurus program beasiswa Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) untuk anak-anak petani dan buruh tani tembakau di Kabupaten Temanggung dua tahun lalu, saya bersyukur dan bahagia. Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang pendidikan atau keguruan, saya memiliki minat lebih terhadap dunia pendidikan di negeri ini. Sudah sejak tahun 2011 hingga kini saya tercatat sebagai sukarelawan guru di Sokola Institute, lembaga yang bergerak di bidang pendidikan untuk masyarakat adat dan masyarakat marjinal lainnya. Maka, mengurus program beasiswa KNPK di Temanggung saya anggap berkah lainnya agar saya bisa sedikit berguna bagi dunia pendidikan di negeri ini.
Pekan lalu, saya menulis tentang Putri dan Mbah Parti (baca: Putri dan Mbah Parti), salah seorang penerima Beasiswa KNPK Temanggung tahun ini. Kali ini, saya akan menulis penerima beasiswa lainnya, rekan dari Putri yang saya temui di kaki Gunung Sumbing.
Seorang anak yang mengingatkan saya akan kata-kata Tan Malaka yang saya kutipkan di atas, juga kata-kata dari R.A Kartini, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal.”
***
Sepeda motor yang saya dan Oni—pemandu lokal yang bertugas mengantar saya keliling Kabupaten Temanggung—tumpangi meninggalkan alun-alun Kabupaten Temanggung menuju kecamatan Parakan yang merupakan pusat perekonomian Kabupaten Temanggung. Jalan yang kami lalui merupakan jalan alternatif yang akan mengantarkan para pengendara yang melintasinya kembali ke jalan provinsi menuju jalur pantura via Weleri, Jawa Tengah.
Di Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, kami berhenti, bertanya lokasi alamat yang kami cari kepada tukang ojek yang memangkal di pangkalan ojek di tepi jalan. Selain menyebutkan alamat yang kami cari, kami juga menyebut satu nama pemilik dari rumah yang alamatnya sedang kami cari. Kali ini bukan alamat lengkap, tetapi sebuah nama yang membantu kami menemukan alamat yang kami cari.
Di desa, ini menjadi sesuatu yang lumrah. Satu dengan lainnya saling kenal, hubungan sosial kemasyarakatan masih dijaga dengan baik. Gotong royong; kerja bakti; tahlilan; pengajian-pengajian; musim tanam di sawah, ladang dan kebun; musim panen; masa-masa perawatan komoditas yang ditanam, dan banyak lagi wadah dan sarana yang menjadi simpul pengikat dan alat untuk mempererat ikatan sosial di desa-desa. Kearifan lokal semacam ini sangat membantu saya ketika bertugas di lapangan dan harus bertemu dengan seseorang yang sebelumnya belum pernah saya temui.
Dua kilometer lebih empat ratus dua puluh tiga meter ke arah Gunung Sumbing dari pangkalan ojek tempat kami bertanya, sebuah masjid bersebelahan dengan Gedung PAUD berdiri mencolok. Sesuai petunjuk, kami harus masuk jalan kecil di sebelah PAUD untuk menemukan alamat yang kami cari. Azan zuhur berkumandang ketika kami menemukan alamat yang kami cari. Dua orang anak usia di bawah 10 tahun membukakan pintu untuk kami. Hanya ada dua anak itu saja di rumah. Penghuni lainnya sedang berada di ladang yang jaraknya cukup jauh dari rumah.
Karena saya harus bertemu pemilik rumah dan anaknya yang lolos seleksi penerimaan Beasiswa KNPK, Oni berinisiatif mengajak kedua anak itu ke ladang menggunakan sepeda motor. Memberitahukan kepada pemilik rumah yang sedang ada di ladang bahwa kami mencari mereka, dan harus bertemu mereka.
Seorang diri saya menunggu di teras rumah. Tepat di depan rumah parit yang dialiri air jernih membatasi rumah dengan jalan setapak. Saya tidak tahu apakah itu parit untuk irigasi atau sekadar selokan pembuangan limbah rumah tangga. Yang jelas, airnya begitu jernih, sangat jernih. Sembari memandangi aliran air dan mendengarkan suara air yang mengaliri parit, saya menunggu. Sebatang rokok kretek habis, baik tuan rumah maupun Oni yang menjemputnya belum juga datang. Dua batang, lalu tiga batang rokok kretek, belum juga datang.
Tiga orang akhirnya datang saat saya mengisap rokok kretek untuk batang yang ke lima. Saya lekas mematikan rokok kretek yang masih sisa separuh. Dua orang perempuan dan seorang laki-laki menyapa saya. Ketiganya memikul satu karung berisi jagung di punggungnya masing-masing. Semuanya masuk ke rumah, mengganti pakaian lalu menyilakan saya masuk. Oni serta kedua anak yang menjemput malah belum kembali.
Tiga orang dengan sekarung jagung di punggung masing-masing adalah Isna Triyana dan kedua orang tuanya. Isna tahun ini lulus Sekolah Menangah Pertama (SMP) dan bersiap masuk Sekolah Menengak Kejuruan (SMK). Ia ikut mendaftar dalam program Beasiswa KNPK Temanggung. Pada tes tertulis, dari 646 anak yang ikut, Isna berhasil menduduki peringkat pertama. Rata-rata nilainya 86,67.
Meskipun bernama Isna yang berarti dua, Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ini membuat saya kecele karena coba menebak-nebak bahwa Isna anak kedua. Tetapi ini cukup berhasil untuk mencairkan suasana. Segelas teh panas dihidangkan. Usai memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan saya, serta pernyataan kesediaan kedua orang tua Isna untuk diverifikasi, saya mulai proses verifikasi. Singkat saja. Tidak berlama-lama. Proses verifikasi usai, kami lalu berbincang santai.
Ruang tamu berukuran tiga kali tiga meter dengan kursi memanjang dan berbelok membentuk huruf ‘L’ mengikuti sudut ruangan menjadi lokasi perbincangan kami. Sebuah sepeda motor tua yang beberapa bagiannya sudah tanggal menghiasi ruang tamu. Isna tinggal bersama kedua orang tua dan seorang adik di rumah. Kedua orang kakaknya sudah menikah dan ikut suami. Satu di Bantul, Yogyakarta, dan seorang lagi di Tangerang.
Isna pemalu. Lebih sering diam. Ketika saya bertanya kepadanya pun, sering Ibunya yang menjawab. Bapak Isna seorang petani tembakau. Ia mengelola ladang tembakau miliknya berukuran kurang dari setengah hektar. Saat tidak musim tanam tembakau, ladangnya ditanami cabai atau jagung. Seperti hari ketika saya datang ke kediamannya, Isna bersama kedua orang tuanya baru selesai memanen jagung jang ditanam di tegalan, di sela-sela tanaman tembakau yang belum lama di panen.
Isna yang pendiam menghabiskan waktunya untuk belajar. Setiap hari sabtu dan minggu, saat libur sekolah, Isna pasti pergi ke ladang untuk membantu kedua orang tuanya. Membersihkan lahan dari rumput-rumput, menyiram tanaman, memberi pupuk, menanam ketika musim tanam, dan ikut memanen ketika musim panen tiba.
Menurut kedua orang tuanya, Isna melakukan itu atas kemauannya sendiri. Tidak ada paksaan. Semua karena kerelaan untuk membantu orang tua dan meringankan kerja orang tua. Apa yang dilakukan Isna, ikut membantu kedua orang tuanya, baginya merupakan proses belajar, proses belajar langsung dari para ahlinya dengan cara praktik langsung di lapangan bagaimana bertani di ladang.
Belajar bermacam pelajaran yang Ia terima di kelas dengan tekun. Kemudian rutin belajar langsung metode pertanian di ladang dengan guru kedua orangtuanya, membuat Isna pandai di kelas sekaligus di ladang. Di kelas Ia selalu berprestasi, di ladang Ia tekun bekerja hingga ladang kedua orang tuanya menghasilkan komoditas pertanian yang bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Isna yang berarti dua tetapi anak ketiga ini, ternyata selalu mendapat nomor satu. Nomor satu di kelas, nomor satu dari 600 lebih anak yang ikut tes tertulis Beasiswa KNPK, dan terutama, nomor satu dalam belajar dan membantu orang tua untuk bertani di ladang.
Mungkin saya berlebihan, tetapi tetap ingin saya katakan bahwa Tan Malaka dan Kartini di alam kubur sana saya kira bahagia melihat ada remaja seperti Isna ini. Yang rajin belajar namun tidak asing menggunakan cangkul dan perkakas pertanian lainnya. Dari keluarga Isna pula, apa yang diharapkan Kartini bahwa rumah, keluarga menjadi titik utama pendidikan itu bisa diterapkan dengan baik.