FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) membawa dampak buruk bagi negara-negara yang memiliki kepentingan terhadap industri hasil tembakau. Salah satunya adalah penerapan kebijakan kemasan polos rokok tanpa merek atau yang dikenal sebagai plain packaging bagi negara-negara yang telah mengaksesi FCTC.
Ketika Australia pada tahun 2010 menerapkan kebijakan plain packaging, produk rokok yang masuk ke negara mereka harus tunduk terhadap aturan tersebut. Akibatnya, negara-negara pengekspor produk tembakau, termasuk Indonesia terkena imbasnya. Hal ini disebabkan kebijakan tersebut melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di pasar internasional.
Perlawanan atas kebijakan plain packaging kemudian diserukan oleh Indonesia. Indonesia bersama dengan Honduras, Republik Dominika dan Kuba kemudian menggugat kebijakan tersebut kepada Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO). Keempat negara itu menilai kebijakan tersebut melanggar hak cipta dan kekayaan intelektual, serta melanggar merek dagang tembakau.
Dan gugatan tersebut dinyatakan kalah oleh WTO. Meski kalah, Indonesia tidak akan menyerah untuk melawan kebijakan diskriminatif tersebut.
Beberapa kalangan menilai gugatan Indonesia ke WTO mengenai kebijakan kemasan rokok polos adalah langkah yang tidak penting untuk diambil oleh pemerintah. YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) bahkan menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia merupakan tindakan merugikan dan melawan arus.
Tentu saja apa yang dikatakan oleh YLKI adalah sebuah kesalahan besar. Karena apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggugat kebijakan kemasan rokok polos ke WTO sudah benar dan tepat.
Pertama, Indonesia merupakan negara yang memiliki kepentingan besar terhadap produk hasil tembakau. Di dalam negeri, produk hasil tembakau telah menyumbang besar bagi pendapatan negara. Tahun 2017 hanya dari cukai hasil tembakau, sumbangannya mencapai Rp 150 triliun. Sedangkan pada 2015, nilai devisa yang dihasilkan dari surplus ekspor produk tembakau Indonesia telah mencapai US$524 juta. Nilai tersebut dapat dicapai mengingat Indonesia saat ini merupakan negara produsen-eksportir produk tembakau kedua terbesar di dunia setelah Uni Eropa.
Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng pernah mengatakan bahwa nilai ekspor produk hasil tembakau mencapai USD1,1 miliar dollar. Sangat besar bukan?
Kedua, kebijakan kemasan rokok polos yang diterapkan oleh negara-negara yang mengaksesi FCTC merupakan sebuah kebijakan yang diskriminatif. Sebab kebijakan tersebut telah melanggar melanggar hak cipta dan kekayaan intelektual, serta melanggar merek dagang tembakau. Dan negara-negara yang menerapkan kebijakan tersebut rata-rata merupakan negara yang tidak memiliki kepentingan terhadap produk hasil tembakau.
Ketiga, memang sudah tugas pemerintah untuk melindungi kepentingan nasional. Jika kebijakan kemasan rokok polos ini turut diratifikasi menjadi peraturan di negara-negara lainnya, tentu akan ada potensi lost bagi pendapatan negara dari sektor ekspor produk hasil tembakau. Dan perlu diingat bahwa ada banyak orang yang bergantung hidup dari sektor industri hasil tembakau ini.
Artinya, ada kepentingan pemerintah untuk melindungi sektor ketenagakerjaan yang ada di industri hasil tembakau. Perlu diingat bahwa ada 6 juta orang yang bergantung hidup dari sektor ini dari hulu ke hilirnya.
Dari alasan-alasan di atas, maka kita dapat mengatakan bahwa kelompok yang menilai bahwa gugatan pemerintah Indonesia ke WTO mengenai aturan kemasan polos rokok merupakan langkah yang salah adalah kelompok yang tidak pro terhadap kepentingan nasional.
Kelompok macam YLKI dan kawan-kawannya tersebut memang lebih pro terhadap kepentingan asing, karena mereka merupakan kelompok yang selama ini mendukung gerakan pengendalian tembakau. Prinsip yang mereka pegang adalah “MAJU TAK GENTAR MEMBELA YANG BAYAR”.
Dan bagi kita yang masih memiliki akal sehat dan perduli terhadap kepentingan nasional, mendukung perlawanan pemerintah terhadap kebijakan kemasan rokok polos dengan menggugat ke WTO menjadi keharusan sebagai warga negara Indonesia.