logo boleh merokok putih 2

Benarkah Harga Murah Rokok Sebabkan Anak Kecil Merokok?

Setelah survei yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis hasil survei mengenai dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok, beruntun ke belakang banyak media yang kemudian meramaikan hal itu.

Kompas misalnya, hari ini menurunkan berita berjudul “Murahnya Harga Rokok Sebabkan Usia Perokok di Indonesia Makin Muda”. Judul berita ini jelas memframing bahwa sebab banyak anak kecil merokok adalah murahnya harga rokok di Indonesia. Padahal rokok seharusnya hanya dikonsumsi oleh usia 18 tahun ke atas.

Dalam berita tersebut, Kompas mengutip Ketua Tobacco Control Support Center, Dr Santi Martini, dr.M.Kes yang menegaskan rokok di Indonesia terlampau murah.

Berdasar Survei Indikator Nasional (Sirkesnas) 2016, jumlah perokok pemula diketahui meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016.

Baginya, meningkatnya jumlah perokok pemula lebih banyak disebabkan karena harga rokok di Indonesia terlampau murah. Padahal sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menargetkan penurunan prevalensi perokok anak usia di bawah 18 tahun sebesar 1 persen setiap tahunnya.

Baiklah, andaikan saja jumlah yang disebut oleh Ibu Santi adalah benar, maka tentu ada ketidakberesan dalam penegakan peraturan di lapangan. Karena sudah jelas dinyatakan bahwa PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau terhadap Kesehatan melarang penjualan rokok kepada anak-anak dibawah umur 18 tahun, meski kita juga sama-sama tau rokok bukanlah zat adiktif.

Jadi, terkesan Ibu Santi tidak melihat pemerintah sebagai pengatur tegulasi dengan kembali menyalahkan industri rokok dalam hal ini. Jika Ibu Santi mau bijak sebetulnya ada hal yang belum dilakukan dalam menegakkan peraturan ini.

Mari kita simak implementasinya di lapangan. Seperti diketahui,di minimarket-minimarket yang sudah sampai ke kampung-kampung sudah ada peringatan dilarang menjual rokok kepada anak dibawah umur 18 tahun. Mereka menempelkan peringatan itu biasanya di meja kasir. Tapi, sementara di warung-warung yang diusahakan secara mandiri oleh masyarakat memang tidak ditemui adanya peringatan ini. Pada titik inilah sekiranya pemerintah mau jujur, sosialisasi inilah yang tidak pernah dilakukan oleh pihak pemerintah sendiri. Sosialisasi peraturan dilarang menjual rokok kepada anak dibawah 18 tahun tidak pernah disosialisasikan kepada pemilik warung.

Saya yakin seandainya pemerintah melakukan sosialisasi, bahwa dengan alasan apapun anak dibawah 18 tahun dilarang membeli rokok, niscaya seluruh pemilik warung akan mengikutinya. Artinya disini penegakan peraturan itu mensyaratkan sosialisasi kepada masyarakat. Jangan sampai karena pemerintah tidak melaksanakan tugasnya yaitu sosialisasi, kemudian pemerintah justru menghambat akses atas produk legal bagi mereka yang sudah cukup umur. Benar, bahwa sosialisasi kepada pemilik warung adalah hal yang memakan waktu dan tenaga, tapi bukankah pemerintah dan seluruh aparaturnya diberi amanat untuk menjalankan fungsi tersebut. Saya yakin pasti bisa, tinggal pemerintah mau apa tidak saja.

Ya, memang membatasi distribusi produk adalah cara paling mudah untuk melakukan hal itu, tapi seberapa efektifkah peraturan instan yang dikeluarkan akan memberi dampak penyadaran bagi masyarakat? Bukankah regulasi instan selalu kembali kepada pengingkaran?

Ya, memang untuk menarik simpati banyak kalangan, isu anak selalu dikedepankan untuk kampanye anti-rokok. Dan ini bukan yang pertama.

Isu anak dan rokok adalah senjata paling ampuh untuk menarik simpati masyarakat kepada kampanye anti-rokok. Beberapa tahun lalu pada saat pembahasan RPP Tembakau sebagai konsekuensi dari UU Kesehatan Pasal 113-116 yang tak kunjung disahkan oleh pemerintah, pada momen itu muncul kisah Aldi Rizal, balita dari Musi Banyu Asin yang terbiasa merokok. Kisah Aldi dieksploitasi besar-besaran termasuk ekspos oleh media asing yang sangat gencar. Kasus Aldi Rizal seolah mempertontonkan kepongahan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat Indonesia dari bahaya rokok. Padahal dibalik ekspos kabar tentang Aldi Rizal hanya ada satu kepentingan, disahkannya RPP Tembakau sebagai PP.

Pada saat itu memang terjadi tarik ulur. Tapi tarik ulur pembahasan RPP tersebut bukan pada masalah penjualan rokok kepada anak dibawah umur dan wanita hamil. Tarik ulur paling kuat adalah pasal tentang bahan tambahan yang memasukkan eugenol yaitu senyawa kimiawi kandungan cengkeh. Jika pasal tersebut tidak dicabut niscaya kretek akan lenyap dari Indonesia karena apa yang disebut rokok di Indonesia mempunyai ciri khas yaitu adanya unsur cengkeh. Selain pasal tentang kandungan eugenol ada satu pasal lagi yang menjadi tarik ulur. Pasal tersebut mengatur pengalihan tembakau untuk produk selain rokok yang di Indonesia tidak ada industri yang bisa menyerapnya. Sementara, dalam pasal pelarangan penjualan untuk anak dibawah umur 18 tahun atau larangan merokok di sekolah dan rumah sakit, sama sekali tidak ada tarik ulur apapun.

Kini RPP Tembakau telah menjadi hukum formal dengan nama PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dalam peraturan ini tercantum larangan menjual rokok kepada anaka dibawah umur 18 tahun di pasal 25 huruf b. Melalui pembahasan RPP dapat kita lihat bahwa pihak pro-tembakau tidak mempunyai pretensi apapun dengan perlindungan anak di Indonesia. Toh sebagai produk legal tentu sah-sah saja dijual kepada siapapun dan dimanapun, tapi toh semua produsen kretek menyepakati pemabatasan ini guna mendukung menciptakan lingkungan yang sehat untuk tumbuh kembangnya anak. Dengan demikian melalui PP 109/2012 tentu sudah cukup perangkat aturan perihal pembatasan itu.

Oleh karena itu isu anak yang lagi-lagi diangkat oleh antirokok sebaiknya disudahi saja. Saya curiga, isu anak ini sekadar modus pengalihan isu dari kegagalan tatakelola pemerintah mengurus soal vaksin untuk anak-anak, sehingga selama tigadasawarsa lebih vaksin palsu merajalela di pasar dan baru terbongkar.Saran saya, mending bekerjalah lebih giat lagi untuk membangun kesadaran masyarakat guna mewujudkan Indonesia yang sehat, berkeadilan, dan berkebudayaan.

Apakah Rokok di Indonesia Murah?

Seperti artikel yang diterbitakan boleh merokok beberapa hari lalu, jika rokok dilihat dari segi nominal memang terasa sangat kecil alias murah. Tetapi, dalam menilai persoalan ini, kita tidak boleh hanya melihat satu aspek nilai tersebut.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, menguji apakah benar rokok di Indonesia seperti yang digemborkan oleh antirokok, yaitu harga rokok sangat murah. Sebaliknya, Yustinus mengatakan harga rokok di Indonesia masih sangat tinggi, alias mahal.

Yustinus membandingkan harga rokok di Indonesia dengan negara-negara seperti, Tiongkok, Hongkong, Australia, Singapura Malaysia, Myanmar dan Vietnam.

Penilaian tersebut berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income(PRI), yakni rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.

Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan juga mengatakan harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Faktor daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir ini menjadi acuannya.

Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi, sebelumya menyatakan harga jual sebatang rokok di Indonesia merupakan yang tertinggi setelah dibandingkan dengan pendapatan per kapita per hari masyarakat.

“Secara nominal harga rokok di Indonesia memang relatif lebih rendah daripada Singapura atau negara maju lain. Tapi kalau kita bandingkan secara relatif terhadap pendapatan per kapita per hari, sebenarnya harga jual satu batang rokok kita termasuk yang tertinggi,” ucapnya.

Bila harga rokok benar-benar harus dinaikkan, seperti tuntutan para antirokok, tentu saja dampak buruknya mengenai hulu hingga hilir dunia pertembakauan, mulai dari petani, buruh, sampai pengasong .

Jadi, jika pengen jutaan rakyat gigit jari dan negara mengalami kerugian besar, ya monggo naikkan harga rokok. Bahkan kalo perlu, larang petani menanam tembakau, tapi jangan sampe rokok asing masuk Indonesia, biar sekalian bersih negara ini dari rokok. Begitu!

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).