Beberapa hari lalu, Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) merilis hasil survei terkait dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka mengklaim sebagian besar responden penelitian, yang menurut mereka tidak hanya dari non-perokok, mendukung kenaikan harga rokok.
Salah satu anggota Tim Peneliti PKJS-UI membeberkan data yang terdengar spektakuler. Menurutnya, 88 persen responden mendukung adanya kenaikan harga rokok. 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60.000 dan Rp 70 ribu perbungkus dan sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila harga rokok naik menjadi 70.000 per bungkus.
Sebentar, harga rokok sebenarnya sudah mahal sejak lima tahun terkahir, harganya kurang terjangkau oleh masyarakat. Jika data penelitian itu dibaca secara nominal tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, seperti daya beli masyarakat, memang harga rokok di Indonesia terasa sangat murah.
Sebagaimana yang diungkapkan Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea Cukai, Deni Surjantoro, jika harga rokok dilihat secara nominal absolut memang murah, tetapi kalau mempertimbangkan daya beli masyarakat, harga rokok sudah mahal.
Tak hanya itu, dilansir dari Okezone.com, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menganggap rokok di Indonesia sangat murah adalah logika yang salah kaprah. Berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) atau kemampuan daya beli masyarakat, harga rokok relatif terhadap pendapatan masyarakat Indonesia tergolong tinggi, yaitu 2,9%. Di Singapura misalnya, harga rokok yang kita anggap mahal ternyata masih dalam jangkauan penduduk Singapura.
Semakin terdengar dramatis, penelitian Komnas Pengendalian Tembakau dan PKJS-UI itu menemukan adanya kecenderungan perokok aktif pada responden yang memiliki penghasilan keluarga kurang dari Rp 2,9 juta sebesar 44,61 persen dan Rp 3 juta sampai 6,9 sebesar 41,88 persen. Hal itu lebih tinggi dibangingkan responden yang memiliki penghasilan keluarga lebih dari Rp 7 juta dengan presentase harganya sebesar 30,91.
Data ini dimaksudkan untuk membenarkan Survei Susenas Badan Statistik Nasional (BPS), bahwa rokok adalah sebab kemiskinan. Terkait survei BPS ini, sbenarnya telah dibantah oleh banyak pihak. Salah satunya Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati. Menurut Enny, rokok bukan sebab kemiskinan, penyebab utama melonjaknya kemiskinan karena pemerintah tidak dapat menyediakan lapangan kerja formal.
Soal kemiskinan, apabila diruntut terdapat dua faktor utama terkait tingkat dan penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Pertama, terjadi inflasi komoditas bahan pokok yang menjadi kebutuhan, seperti beras. Kedua, Upah buruh tani per hari naik 1.42% pada September 2015 Rp 47.559 dibanding maret 2016 menjadi 48.235. (https://m.detik.com 03/01/2017)
Apabila nilai tukar petani (NTP), dari harga produksi petani naik lebih besar dari pada kenaikan konsumsi petani. Pendapatn petani naik lebih besar disbanding dengan kenaikan konsumsi, artinya pendapatan lebih besar dari pada pengeluaran. Maka angka kemiskinan akan menurun.
Sebaliknya, jika NTP lebih kecil dari pada kenaikan konsumsi (pengeluaran petani lebih besar dari pada pendapatan), maka akan berpengaruh terhadap meniningkatnya kemiskinan di Indonesia. Karena mayoritas masyarakat miskin bekerja pada sektor pertanian.
Jadi rokok bukan penyebab orang menjadi miskin. Penyebab utama kemiskinan adalah inflasi bahan pokok dan rendahnya upah buruh. Memang rokok berpengaruh terhadap kenaikan pengeluaran, tapi tidak bisa sebagai ukuran penyebab kemiskinan.
Secara umum faktor utama kemiskinan bukan rokok, tapi di pengaruhi adanya inflasi bahan pokok, rendahnya upah buruh petani miskin dan lapangan pekerjaan. Persepsi merokok bagi orang miskin yang merokok adalah bentuk relaksasi dan rekreasi. Belum ada pengganti rokok untuk relaksasi dan rekreasi yang cocok dan sesuai kebutuhan perokok miskin.
Bagi orang kaya, harga rokok di Indonesia tentu saja terasa sangat murah, tetapi bagaimana bagi orang-orang cilik? Merokok adalah hak konstitusional dan setiap perokok sudah tau risiko yang ditimbulkan dari segala sesuatu yang mereka konsumsi.
Jadi, kalau membenci rokok yang sudah berkontribusi besar terhadap pendapatan negara, ya tidak usah usil. Karena merokok atau tidak adalah hak setiap warga negara Indonesia.
Satu hal yang perlu antirokok ketahui, kaya miskin bagi para perokok itu bukan seberapa jumlah uang dalam rekening dan dompet, tetapi bagaimana hati dapat sumeleh menerima segala hal yang telah diberikan Tuhan, tanpa sedikitpun mengurasi usaha untuk mencari penghidupan. Banyak orang yang uangnya berjibun, tapi mereka merasa miskin, sehinga korupsi dan mengerjakan hal-hal yang tidak baik dianggap keabsahan untuk menutup “rasa miskinnya”.