Saya suka cengengesan sendiri kalau mendengar kampanye antirokok mengenai harga rokok di Indonesia murah. Sebab untuk mendompleng isu ini, mereka memakai logika hitung-hitungan sederhana, yang semua orang tahu kalau itu tidak tepat. Begini logika yang biasa dipakai antirokok tersebut:
Harga sebungkus rokok di Indonesia berkisar Rp 15 ribu – Rp 25 ribu. Harga rokok di Indonesia masih lebih murah dibandingkan dengan harga rokok di Australia yang berkisar 10 dollar atau setata dengan Rp 100 ribu. Berdasarkan perbandingan nominal harga tersebut, maka harga rokok di Indonesia akan terlihat lebih murah.
Logika hitung-hitungan sederhana tersebut kemudian di hembuskan berulang-ulang kepada publik melalui kanal-kanal media massa dan media sosial. Karena logikanya sederhana, maka publik mudah menangkap. Sebagian orang akhirnya terperangkap ke dalam logika tersebut (bahkan pemerintah).
Padahal ada kalkulasi lain yang sengaja disembunyikan oleh antirokok, yakni pendapatan perkapita dan daya beli seseorang.
Saya mau cerita mengenai pengalaman saya di Vietnam, sebuah cerita yang kemudian saya pahami di kemudian hari bahwa untuk menentukan keterjangkauan harga suatu produk konsumsi, maka kita tidak sekedar membanding-bandingkan nominal mata uang negara satu dengan negara lain, tapi juga memahami variabel pendapatan dan daya beli masyarakatnya.
Ceritanya begini, sewaktu saya berkesempatan berkunjung ke Vietnam, satu hari saya jalan dengan teman yg berasal dari Jepang. Kami berdua memesan taksi. Saya terkaget-kaget ketika melihat argo taksi di Vietnam dimulai dengan harga 30 ribu dong atau setara dengan Rp 40 ribu. Lantas saya berkata kepada teman Jepang saya bahwa tarif argo taksi di Vietnam sangat mahal. Mendengar kata ‘mahal’ teman saya cengengesan.
Sambil cengengesan dia bilang ke saya bahwa itu masih murah. Di Jepang tarif argo taksi dimulai dengan harga Rp 60 ribu.
Kemudian saya nyeletuk, “berarti biaya hidup di Jepang sangat mahal ya”.
Dia menjawab “Tergantung, kalau kamu menghitung dengan pendapatanmu di Indonesia tentu mahal, tapi kalau mengukurnya dengan pendapatan saya di Jepang, itu tidak mahal,” ujarnya dengan santai.
Bagi masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rata-rata Rp 1,5 juta – Rp 3,7 juta (diambil berdasar UMR terendah dan tertinggi) maka harga sebungkus rokok sebesar Rp 20 ribu jelas sangat mahal. Tapi bagi masyarakat Jepang seperti teman saya yang berpenghasilan Rp 70 juta sebulan, harga rokok seharga Rp 100 ribu tidak mahal bagi mereka.
Artinya, logika yg dipakai oleh antirokok hanya berdasarkan logika perbandingan saja. Mereka tidak memakai indeks keterjangkauan yang diukur melalui “rasio Price Relative to Income (PRI)” atau rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.
Melihat variabel yang sengaja dihilangkan oleh antirokok dalam kampanye rokok di Indonesia sangat murah, jelas terlihat bahwa antirokok mempunyai keinginan menggiring opini publik untuk menyepakati harus ada kenaikan harga setinggi-tingginya bagi produk rokok.
Dan antirokok melakukannya dengan segala macam upaya, meskipun harus membohongi publik.