logo boleh merokok putih 2

Paradigma Ramah Lingkungan

Paradigma Ramah Lingkungan || Tak bisa dipungkiri, krisis dan bencana lingkungan hidup saat ini sedang melanda dunia, termasuk Indonesia. Kerusakan lingkungan secara kasat mata mudah ditemui di berbagai tempat dengan tingkat kerusakan yang bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang berat. Pemanasan global dan perubahan iklim menyelimuti bumi mengakibatkan bencana-bencana turunan terjadi, mulai dari banjir, kekeringan, mencairnya es di kutub, tanah longsor hingga gagal panen.

Menurut Sony Keraf dalam buku Filsafat Lingkungan Hidup, krisis dan bencana lingkungan yang terjadi, disebabkan oleh kesalahan perilaku manusia dalam bersikap terhadap lingkungan hidup. Kesalahan perilaku manusia, disebabkan oleh kesalahan cara pandang atau paradigma berpikir. Karena itu, untuk mengatasi krisis dan bencana lingkungan hidup global, dibutuhkan perubahan perilaku yang hanya bisa terjadi dengan melakukan perubahan paradigma berpikir.

Paradigma antroposentrisme dengan manusia sebagai titik utama dari segala sesuatu, yang mengakibatkan alam semesta hanya dianggap sebagai objek yang sah untuk dieksploitasi tanpa batasan tanpa memandang kaidah-kaidah subjektivitas alam semesta yang memiliki nilai intrinsik sebagai sesuai yang hidup, menjadikan krisis dan bencana lingkungan memungkinkan terjadi seperti sekarang ini. Paradigma antroposentrisme inilah yang menjadikan manusia bersikap eksploitatif terhadap alam, memandang alam sebatas sebagai komoditas untuk meraup keuntungan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan manusia semata.

Sejak abad pencerahan hingga terjadinya revolusi industri di Inggris, sudut pandang manusia dalam memperlakukan alam semesta hanya sebatas pada pemenuhan-pemenuhan yang bersifat mekanistis. Alam semesta objek yang mati, ibarat mesin yang terus menerus dieksploitasi. Paradigma mekanistis ini tak lagi relevan karena berimbas pada kerusakan alam, krisis dan bencana lingkungan yang semakin jelas terjadi. Oleh karena itu paradigma memandang alam semesta dengan pendekatan mekanistis harus diganti dengan paradigma organis-sistemis. Manusia harus membangun pola hubungan yang baru dengan alam, bukan lagi menganggapnya sebagai mesin yang terus menerus dieksploitasi, melainkan sebagai sebuah sistem kehidupan yang harus dirawat dan dimanfaatkan dengan azas saling menguntungkan.

Prinsip Manusia Berwawasan Lingkungan

Agar dapat membangun prinsip sebagai manusia yang berwawasan lingkungan, sebagaimana uraian pada pendahuluan, cara pandang baru terhadap alam semesta dan lingkungan sekitar harus benar-benar diubah, alam semesta sebagai sebuah sistem kehidupan yang utuh dan menyeluruh serta terintegrasi satu dengan yang lainnya, bukan lagi mendikotomikan antara manusia dengan lingkungan sekitar sehingga manusia bisa mengeksploitasi lingkungan tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang mungkin terjadi.

Fritjof Capra dalam buku Titik Balik Peradaban, mengungkapkan pandangannya tentang cara pandang baru yang ramah lingkungan, atau yang ia sebut dengan istilah “melek ekologi” atau ecoliteracy, yang berisikan prinsip-prinsip ekologis sebagai landasan dalam membangun masyarakat modern saat ini. Untuk menuju masyarakat modern yang berkelanjutan, menurutnya, harus ada penataan ulang dalam sistem ekonomi, sosial, politik, bisnis dan pendidikan bahkan hingga sistem kehidupan sehari-hari. Semua itu harus ditata ulang berdasarkan pada prinsip-prinsip ekologis yang diambil dari prinsip-prinsip alam sebagai sebuah sistem kehidupan, yang atas dasar prinsip-prinsip itu alam telah berhasil mempertahankan dirinya selama jutaan tahun lamanya. Artinya jika kita sungguh-sungguh berniat membangun masyarakat modern yang berkelanjutan, menurut Capra, tidak ada jalan lain selain memiliki kesadaran ekologis dan ecoliteracy untuk menerapkan prinsip-prinsip survival yang diterapkan alam semesta hingga jutaan tahun.

Ide tentang membangun kapasitas pemimpin yang berwawasan lingkungan secara khusus ataupun manusia yang berwawasan lingkungan secara umum, pertama-tama haruslah mengubah paradigma dan sudut pandang serta pola pikir manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta. Selanjutnya pengenalan dan penerapan prinsip-prinsip ekologis dan ecoliteracy dalam segala lini kehidupan harus mulai diusahakan penerapannya, dan proses pengenalan prinsip-prinsip ekologis dan ecoliteracy ini harus dimulai sejak dini dengan membangun proses edukasi, proses pendidikan yang “melek lingkungan”.

Selain itu, dalam tahap selanjutnya, sebagai pengejawantahan paradigma sistematis-organis dalam berinteraksi dengan alam semesta, pola hidup bioregionalisme patut diterapkan. Pola hidup bioregionalisme mengajak hidup mengikuti keniscayaan dan kesenangan yang disajikan oleh sebuah tempat khusus yang khas dan unik yang telah menyatu dengan hidup setiap orang sejak lahir. Hidup di tempat berarti hidup sesuai dan dengan menjaga daya dukung dan daya tampung alam sekitar sebagai sebuah keniscayaan hukum alam, yang karena itu selalu membangun pola hidup secara ekonomi dan ekologis harmonis, serasi dan seimbang dengan alam sekitar.1

Secara konservasi, bioregionalisme juga mengajak untuk hidup dengan berusaha menormalisasi lokasi-lokasi yang telah rusak akibat eksploitasi di masa lalu. Sebuah gerakan untuk kembali menjadi penduduk asli dari sebuah tempat dengan menyadari adanya hubungan ekologis khusus yang terjalin dengan alam sekitar. Ini berarti memahami dan mengembangkan aktivitas sosial ekonomi yang memperkaya kehidupan sembari terus berusaha agar hidup tetap ramah terhadap lingkungan, menguntungkan kedua belah pihak, antara manusia dan lingkungannya, menerapkan prinsip-prinsip ideal manusia yang berwawasan lingkungan.

Prinsip-prinsip hidup di atas, dalam bahasa sederhana dan sudah diterapkan sejak turun-temurun di kehidupan masyarakat dan masih bisa dirasakan hingga saat ini adalah pola hidup berbasis kearifan lokal berdasarkan daerah dan wilayah masing-masing. Memang terdapat perbedaan baik sedikit ataupun banyak di tiap daerah yang memiliki kearifan lokalnya, namun, dalam perbedaan-perbedaan itu, tetap terkandung prinsip-prinsip hidup yang ramah lingkungan.

Pola hidup yang berwawasan lingkungan juga bisa dilihat dari penyikapan manusia terhadap keinginan dan kebutuhan, mampu membedakan dengan baik dan jelas antara keinginan dan kebutuhan. Selama manusia masih terus menuruti keinginan-keinginan yang tak ada habisnya, eksploitasi berlebihan terhadap alam akan terus menerus terjadi hingga sumber daya yang ada benar-benar habis. Namun saat keinginan-keinginan itu sudah bisa ditinggalkan, dan kehidupan selanjutnya dilandaskan azas sesuai kebutuhan, pola hidup ramah lingkungan dan mewujudkan manusia yang berwawasan lingkungan bisa terwujud dengan baik.

Kesimpulan

Membangun kapasitas pemimpin muda yang berwawasan lingkungan dan juga manusia yang berwawasan lingkungan, tentu saja bukan perkara yang mudah, perlu usaha-usaha ekstra untuk mewujudkannya. Yang pertama-tama dilakukan adalah dengan mengubah paradigma dalam memandang alam semesta, dari mekanistis menuju organis-sistemis. Tidak sekedar menjadikan alam sebagai objek yang terus menerus dieksploitasi namun mencoba hidup bersinergi dengan alam.

Selanjutnya adalah dengan menumbuhkan kesadaran kehidupan ekologis dan ecoliteracy, dengan prinsip-prinsip kehidupan ekologis yang harus diterapkan adalah prinsip interdependensi, prinsip daur ulang, prinsip kemitraan, prinsip fleksibilitas, prinsip keragaman, prinsip energi terbarukan dan prinsip keseimbangan dinamis.

Yang terakhir adalah dengan kembali menggali kearifan lokal yang ada pada tiap-tiap komunitas dan tiap-tiap masyarakat. Kearifan lokal yang bernilai positif untuk mengembangkan kehidupan yang berwawasan lingkungan yang sesungguhnya sudah sejak lama diterapkan namun perlahan ditinggalkan karena pengaruh pola pikir berbasis materi yang ditularkan dari dunia luar.

Dan akhirnya, kesemuanya itu hanya bisa terwujud dengan proses pendidikan yang berbasis lingkungan, sistem edukasi dan pendidikan kepada masyarakat sejak dini, mulai dari jenjang pendidikan tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi, juga dalam keseharian terus menerus harus didengungkan lagi dan lagi, agar pembangunan kapasitas pemimpin muda yang berwawasan lingkungan bisa tercapai, juga pembangunan manusia keseluruhan yang berwawasan lingkungan bisa diraih dengan baik, lagi-lagi harus ditekankan, karena pembangunan ini dari akar rumput, dari desa ke desa, maka untuk mencapai hasil maksimal, kearifan lokal harus bersinergi dengan sistem pendidikan dan edukasi untuk membangun kapasitas pemimpin muda berwawasan lingkungan.

Catatan:

1 Dikutip dari buku yang ditulis oleh Dr. A. Sony Keraf yang berjudul “Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan”, penerbit PT Kanisius, tahun 2014.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)