CUKAI

Rokok: Menimbang Antara Isu Kesehatan dan Kedaulatan Nasional

Di Indonesia, permasalahan rokok merupakan perdebatan panjang menyangkut mau dikemanakan isu ini sebenarnya. Karena bagaimanapun berbagai pendapat mempunyai alur argumentasi yang berbeda-beda terkait resolusi permasalahan rokok itu sendiri. Begitu kompleksnya isu yang terkait permasalahan rokok ini menuntut penegasian isu-isu yang lain demi memahami apa sebenarnya yang terjadi di balik polemik permasalahan rokok di negeri ini, sehingga konteks permasalahan rokok di Indonesia bisa dilihat dari sudut yang lebih mendasar.

Sejauh ini di Indonesia terdapat dua kutub besar yang kontradiktif satu sama lain. Pertama, kelompok yang memandang bahwa rokok harus dilihat dari perspektif kesehatan. Kelompok ini berpendapat bahwa kadungan tembakau yang terkadung di dalam rokok sangat berbahaya bagi kesehatan penghirup asapnya. Hal ini berarti bahwa tidak hanya perokok aktif saja yang berisiko terkena penyakit dampak dari menghirup asap tersebut, akan tetapi juga perokok pasif atausecond-hand smoker juga berpeluang besar terkena penyakit yang ditimbulkan asap rokok tersebut.

Implikasinya adalah pemerintah sebagai sebuah entitas negara harus melakukan proteksi terhadap warga negaranya melalui sebuah mekanisme kontrol penggunaan rokok tersebut dalam bentuk regulasi. Regulasi yang selama ini ditempuh mulai dari hulu ke hilir misalnya kontrol tanaman tembakau sebagai bahan dasar pembuatan rokok, cukai yang diterapkan terhadap produk rokok, sampai pengaturan target usia konsumen yang harus dilindingi dari konsumsi rokok itu sendiri.

Menurut Profesor Muhadjir, guru besar Fisipol UGM dalam diskusi mingguan MAP Corner-Klub MKP (selasa, 8 Januari 2013) mengatakan bahwa sebenarnya fokus regulasi mengenai konsumsi rokok di Indonesia baik di level nasional maupun di daerah adalah untuk melindungi perokok pasif atau secondary smokers tapi bukan perokok aktif. Karena bagaimanapun urusan merokok kerap kali bersinggungan dengan hak asasi manusia, hanya saja perlidungan dilakukan terhadap kelompok usia tertentu yang dirasa belum secara matang dalam memilih untuk memutuskan menjadi perokok aktif misalnya saja usia kanak-kanak. Jadi, regulasi terutama di daerah baik itu perda atau pergub/perbub bukanlah mengatur atau melarang rokok sampai dalam tahap zero consumption, akan tetapi lebih kepada pengendalian atau kontrol terhadap penggunaan rokok itu sendiri.

Sementara kelompok kedua memandang bahwa isu rokok ini jangan hanya dipandang dari perspektif kesehatan saja, akan tetapi ada hal mendasar yang jauh lebih penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kelompok pertama ini sebenarnya sangat menyoroti bagian dari regulasi yang meyakini bahwa kontrol terhadap penggunaan rokok itu salah satunya bisa dengan cara mengubah kultur masyarakat yang menanam tembakau sebagai bahan dasar rokok itu sendiri.

Kelompok yang diwakili oleh para petani tembakau yang tergabung dalam beberapa asosiasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di daerah menilai bahwa, kebijakan pemerintah terhadap kontrol tembakau dapat merugikan petani tembakau yang secara turun temurun sudah menanam tembakau bahkan sejak negara ini belum diproklamasikan.

Perjuangan mereka jelas yakni, konversi tanaman tembakau ke komoditas lainnya sulit dilakukan karena komoditas tembakau memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi dan menjanjikan jika dibanding dengan nilai jual komoditas unggulan lainnya. Bagi mereka, tembakau merupakan simbol kesejahteraan yang diwariskan dari leluhur mereka yang sulit untuk dihilangkan. Lebih menarik lagi, kelompok kedua ini menuding ada agenda besar korporasi global dibalik di balik kampanye global anti rokok.

Gugun el-Guyani salah seorang aktivis dan pengurus LPBH Nahdlatul Ulama DIY mengatakan bahwa ada kepentingan korporasi rokok global seperti Philip Morris, Imperium, British Tobacco, Japan tobacco Company dan sebagainya. Kepentingan mereka bisa dilihat dalam salah satu poin dalam WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada tahun 2003 yaitu tentang pengaturan kadar tar dan nokotin dalam rokok. Poin ini berpeluang besar terhadap penyeragaman kadar tembakau melalui mekanisme kontrol kadar kandungan tembakau.

Permasalahannya adalah bisa saja tembakau jenis virginia akan disamakan dengan tembakau lokal Indonesia yang belum tentu sama kandungannya. Bahkan mungkin saja tembakau di Indonesia jauh lebih sehat dalam arti kadar kandungan tar dan nikotinnya lebih rendah dari tembakau yang dipakai di dalam rokok seperti Philip Morris dan lain-lain.

Mungkin hal inilah yang paling ditakutkan oleh korporasi rokok besar global tersebut. Bayangkan saja jika informasi ini diketahui secara umum, tentu saja para perokok akan lebih memilih rokok nasional dalam hal ini kretek dari pada rokok dari luar negeri yang kadar kandungan tar dan nikotinnya lebih tinggi. Akibatnya produk mereka akan kalah bersaing dengan rokok kretek produksi nasional.

Salah satu penelitian ilmiah yang mendukung adalah penelitian oleh Dr. Sutiman dalam karya beliau “Defend Kretek”yang menyatakan bahwa Kandungan kretek Indonesia sama sekali tidak sama dengan rokok asing karena lebih rendah kandungan tar dan nikotinnya. Terlebih lagi dalam satu batang kretek masih dicampur lagi dengan cengkeh dan kapulaga yang menyebabkan jumlah tembakau dalam satu batang tidak sebanyak satu batang rokok pada umumnya. Intinya adalah merokok satu batang kretek akan ‘masih lebih baik’ karena kandungan tar dan nikotin dalam tembakau lebih sedikit daripada kadar tar dan nikotin yang terkandung dalam sebatang rokok dari luar negeri tersebut.

Lebih jauh lagi, tulisan Wanda Hamilton dalam “Nicotine War” menyatakan dengan gamblang bahwasanya kampanye anti-rokok global erat hubungannya dengan kepentingan korporasi farmasi global. Artinya banyaknya organisasi donor internasional yang mengglontorkan dana jutaan dolar bukanlah semata-mata untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengurangi jumlah perokok, akan tetapi ada hidden agenda berupa infiltrasi ide bahwa rokok itu membawa efek negatif dan perlu penanganan medis untuk menyembuhkannya. Peralatan dan obat-obat medis tersebut sudah tidak perlu dipertanyakan lagi darimana asalnya.

Negara-negara berkembang pada akhirnya mau tidak mau harus membeli peralatan dan obat-obat medis tersebut dari korporasi farmasi global dengan harga yang tentu saja sangat tinggi. Dengan jumlah perokok di Indonesia yang tinggi di Asia, tentu saja hal ini akan menjadi pasar tak bertuan yang menunggu para conquistadorēs(penakluk) untuk menjadi tuannya. Sekarang, siapa yang akan lebih diuntungkan?

Pada akhirnya, tulisan ini sama sekali bukanlah sebagai raison d’être bahwa rokok itu tidak seharusnya diregulasi oleh pemerintah, hanya saja pemerintah harus lebih bijak terkait kebijakan pengaturan pengendalian rokok di Indonesia. Komoditas tembakau sebagai bahan utama rokok harus di lihat dari berbagai dimensi, bukan hanya dilihat dari angle kesehatan semata.

Pemerintah harus melihat lebih dalam lagi permasalahan ini sebelum menyusun regulasi-regulasi yang terkait tentangnya, terlebih melihat ketidabberdayaan negara dalam memenuhi kesejahteraan masyarakat seutuhnya. Sungguh tidak bijak rasanya jikalau negara merenggut sumber kesejahteraan warga negaranya sementara di sisi lain negara itu sendiri belum mampu memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya.

Pertanyaan yang sangat menggelitik untuk direnungkan kita bersama adalah, selain tembakau, apalagi komoditas unggulan di Indonesia yang bisa menjadi tuan rumah bagi negerinya sendiri? Garam? Cabai? Daging?

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Wanasaba