Rokok mau tidak mau menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Dalam sebatang rokok, ada proses yang panjang yang dimulai dari petani tembakau, cengkih, industri rokok, buruh pabrik rokok, pedagang, dan akhirnya sampai pada konsumen.
Tak heran jika munculnya aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) akan menuai polemik atau pro kontra di masyarakat, karena berkaitan dengan budaya itu sendiri yang meliputi pencaharian, petani sampai industri rokok.
Doktor sosiologi Universitas Padjadjaran (Unpad) itu mengatakan, petani tembakau di Indonesia sangat besar jumlahnya, antara tersebar di Jabar seperti Sumedang, Garut, kemudian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan lainnya. Mereka bertani dalam puluhan dekade silam.
Dengan ketersediaan sumber daya alam itu, menurut Budi, Indonesia masuk dalam kategori mayarakat perokok berat.
Sementara kedudukan para petani tembakau dalam sistem sosial mirip petani padi, yakni merasa cukup berpenghasilan dari hasil pertaniannya. Tak sedikit para petani tembakau yang kondisi ekonominya pas-pasan.
“Jadi bila larangan merokok ini ketat, banyak yang akan kena dampak dengan peraturan itu,” kata Budi Rajab, dalam Media Diskusi “Kawasan Tanpa Asap Rokok: Menyoal Kawasan Tanpa Rokok, Mengatur dan Bukan Menyingkirkan” di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, Selasa (31/7/2018).
Ia menjelaskan, tembakau merupakan komoditas bertingkat yang memerlukan sistem pengolahan di sektor pertaniannya maupun di industri. Dalam sistem ini terdapat buruh tani, buruh industri, perusahaan, pedagang, sampai konsumen.
Namun Budi melihat peraturan tentang KTR yang diterapkan di beberapa daerah di Indonesia dalam bentuk peraturan daerah (perda) cenderung bersifat tidak jelas, mutlak, dan tertutup atau ekslusif. Bahkan yang menonjol dalam perda lebih berupa larangan yang kemudian memicu polemik.
Ketidakjelasan itu tampak dari sisi hierarki. Contohnya, Raperda KTR Kota Bogor yang dinilai tidak mengacu pada aturan tentang rokok yang lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Aturan KTR di daerah, lanjut Budi, tidak diperjelas dengan siapa eksekutor atau pihak yang memberi sanksi. Menurutnya, eksekutor perda KTR lebih mengandalkan pihak kepolisian atau Satpol PP yang jumlah personelnya terbatas.
Lalu, peraturan itu dinilai mutlak dan tertutup, tidak bertahap. Padahal penerapan peraturan penting dilakukan secara bertahap, sebab aplikasi di lapangan tidak semudah membalikan telapak tangan. Aturan juga tidak spesifik karena cenderung merembet ke industri sampai petani tembakau.
Mestinya, aturan fokus pada seputar merokok dengan mengatur kawasan tanpa rokok dan kawasan untuk merokok.
Sehingga peraturan tersebut akan memberatkan masyarakat, bahkan menimbulkan penolakan. Budi lalu membandingkan dengan peraturan tentang rokok di luar negeri di mana peraturan rokok diterapkan khusus pada sisi penjualan.
Misalnya, tidak boleh menjual kepada orang yang belum mencapai umur 18 tahun.
“Di sana pemilik rokok sadar tidak akan memberi rokok pada anak yang belum berusia 18 tahun,” katanya. “Jadi ada kesadaran penjual rokok, bukan pada anaknya. Atau kalau beli alkohol, harus dalam umur sekian. Penjualnya yg diatur, bukan pada peminumnya. Di kita semua selalu diatur dengan perda, padahal perda itu harus fokus,” katanya.
Aturan rokok di luar negeri bersifat terbuka dan tidak ekslusif. Pemberi sangksi atau eksekutornya ialah masyarakat sendiri sehingga meringankan beban kerja aparat penegak hukum. Contohnya pedagang yang diberi kewenangan untuk melakukan sanksi, yakni berupa penolakan tegas terhadap pembeli rokok yang belum cukup umur.
Budi yang juga perokok, menuturkan kondisi kampusnya yang menerapkan aturan kawasan tanpa rokok.
Ia menilai peraturan di kampusnya bersifat tertutup sehingga ia harus membikin sendiri kawasan merokok. “Peraturan di kita tertutup, misalnya aturan merokok dan tidak merokok tidak jelas,” katanya.
Ia menilai, perda-perda tentang rokok tidak memasukkan situasi sosial di masyarakat. Contohnya, dilema yang terjadi di masyarakat petani atau buruh industri rokok kurang diakomodir. Padahal memasukkan dilema penting untuk melahirkan aturan yang seimbang dan berkeadilan.
“Rokok sangat dilema karena menyangkut orang banyak. Maka pembuat aturan di Indonesia tak melihat dilema ini, seperti petani tembakau, buruh yang terdampak besar. Padahal dalam membuat aturan pertama yang dilihat ialah dilemanya,” ungkap Budi.
Secara historis, kata Budi, aturan tentang rokok di Indonesia terbilang baru. Di masa lalu, Indonesia tak mengenal peraturan larangan merokok. Bahkan di masa Orde Baru yang banyak menerapkan berbagai larangan, termasuk larangan berambut gondrong, kata Budi, tidak mengatur larangan merokok.
“Orang tua kita tak secara langsung melarang anaknya merokok. Kalaupun ada, larangannya bukan bersifat negatif atau biologois seperti penyakit, tapi mereka melarang karena anaknya belum kerja dan belum punya uang sendiri, hanya sebatas itu,” tuturnya.
Beda dengan di Eropa di mana merokok diatur secara ketat dan dikaitkan dengan masalah kesehatan atau biologi, bahwa merokok dapat menyebabkan penyakit yang mematikan.
“Di kita secara antropologi tidak seperti itu. Bahkan di kita ada istilah uang rokok untuk orang yang membantu,” katanya.
Baru pada pertengahan 80-an di Indonesia muncul persoalan politis terhadap rokok, terutama dari kalangan agama. Di masyarakat muslim, setidaknya ada dua pandangan terhadap rokok, yakni makruh dan mubah. Dua hukum ini berpengaruh pada rokok. Selanjutnya, aturan rokok masuk ke ranah eksekutif sampai muncul kebijakan atau aturan yang hingga kini terus berpolemik.