PERTANIAN

Pangeran Diponegoro, Rokok Klobot dan Perlawanan Simbolis

Dari sekian banyak tokoh nasional yang merokok, ada tiga tokoh yang selalu mendapat sorotan lebih besar dibanding lainnya terkait aktivitas merokok mereka. Yang pertama Ir. Soekarno. Foto-foto beliau merokok dan berbagi bara api dengan perdana menteri India dalam sebuah konferensi beredar luas dan kerap dijadikan ikon oleh para perokok. Selain dengan perdana menteri India, foto-foto presiden Soekarno yang sedang asyik merokok dengan tokoh-tokoh dunia lainnya banyak beredar hingga saat ini. rokok klobot

Selanjutnya ada Haji Agus Salim. Singa podium, seorang poliglot, diplomat ulung, dan salah satu tokoh partai besar di era pemerintahan Presiden Soekarno. Haji Agus Salim memang perokok aktif. Kegemarannya merokok membuatnya kian terkenal dengan diplomasi rokok yang Ia lakukan ketika mendapat undangan ke Istana Buckingham di Inggris. Berkat diplomasi rokok yang Ia lakukan, suasana yang sebelumnya kaku dan formal mendadak berubah cair dan santai. Karena itu juga harkat dan martabat bangsa terangkat.

Tokoh yang ketiga adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Panglima pertama angkatan bersenjata Indonesia ini dikenal memimpin pasukan gerilya dalam keadaan sakit. Ia harus ditandu sepanjang perjalanan gerilya menghadapi agresi militer Belanda. Satu yang tak pernah lepas darinya adalah sepaket tembakau rajangan dan daun jagung yang dikeringkan sebagai bekal sepanjang perjalanan gerilya. Jenderal Soedirman dan rokok tingwe seakan tak pernah bisa dipisahkan.

Jauh sebelum ketiga tokoh tersebut dikenal dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini, dan juga dikenal sebagai perokok aktif, Pangeran Diponegoro sudah memulainya. Memulai perjuangan kemerdekaan bangsa melawan penjajah, juga biasa menjadikan tembakau sebagai teman setia perjuangannya.

Pangeran Diponegoro dikenal akan kegigihannya berperang melawan penjajah Belanda dalam Perang Jawa antara tahun 1825-1830. Strategi ofensif yang dilakukan Pangeran Diponegoro membuat penjajah Belanda sempat keteteran dan hampir menelan kekalahan. Lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785, Pangeran Diponegoro adalah keturunan Sultan Hamengkubuwono III, Ia lahir dari seorang ibu yang menjadi salah seorang selir Sultan. Karena lahir dari rahim seorang selir, Diponegoro menolak ketika ayahnya memintanya menjadi penerus yang memegang tampuk kekuasaan di Kesultanan Yogyakarta. Di masa mudanya, Pangeran Diponegoro lebih senang belajar agama dan bergaul dengan rakyat biasa tak jauh dari kediaman eyangnya di Yogya.

Kekejaman penjajah Belanda terhadap penduduk jajahan di Pulau Jawa pada khususnya dan di Nusantara pada umumnya membuat Pangeran Diponegoro melawan semua itu secara terbuka. Berbagai macam perlawanan Ia lakukan dengan Perang Jawa selama lima tahun menjadi puncaknya.

Adalah Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford yang meneliti sosok Pangeran Diponegoro selama lebih dari 30 tahun. Salah satu hal menarik yang Ia sampaikan hasil temuannya meneliti sosok Pangeran Diponegoro adalah kebiasaan Pangeran Diponegoro merokok klobot dan mengunyah sirih. Rokok klobot adalah rokok yang terbuat dari rajangan tembakau dan digulung menggunakan daun jagung yang dikeringkan. Beberapa jenis rempah lain juga kerap ditambahkan dalam ramuan rokok klobot.

Kebiasaan merokok klobot dan mengunyah sirih yang dilakukan Pangeran Diponegoro saya kira bukan sebatas hobi belaka. Ada unsur perlawanan di sana, perlawanan terhadap penjajah. Kala itu penjajah Belanda sudah cukup lama mengenalkan rokok pipa ke Nusantara, sembari mengenalkan rokok pipa, mereka mengampanyekan agar masyarakat meninggalkan kebiasaan merokok klobot dan mengunyah sirih yang dianggap perilaku jorok dan primitif.

Ludah dari orang-orang yang merokok klobot dan menyirih, serta tampilan mulut dan bibir mereka dianggap kotor dan merusak pemandangan. Aktivitas merokok klobot dan menyirih dicemooh, penertiban-penertiban dilakukan, kemudian mengisap tembakau dengan pipa diperkenalkan untuk mengganti kebiasaan merokok klobot dan menyirih masyarakat. Pada akhirnya, kebiasaan merokok klobot dan menyirih dijadikan simbol perlawanan dan penolakan terhadap penjajah Belanda.

Bentuk perlawanan menggunakan rokok klobot dan sirih yang paling terkenal dan tercatat dalam sejarah adalah apa yang dilakukan oleh I Gusti Ketut Jelantik, seorang patih di Bali. Ia meludahkan sirih ke surat izin berlayar Belanda sebagai bentuk pernyataan perang kepada pihak Belanda. Pada masa itu, sirih dan aktivitas menyirih adalah bentuk ekspresi kemarahan terhadap kolonial Belanda.

Hal ini tentu saja disadari oleh Pangeran Diponegoro. Maka, selain melakukan perlawanan terbuka lewat peperangan-peperangan yang Ia lakukan, Pangeran Diponegoro juga melakukan perlawanan dalam bentuk simbolis dengan merokok klobot dan menyirih sekaligus, menolak mentah-mentah ajakan penjajah untuk meninggalkan kebiasaan itu dan menggantinya dengan merokok pipa.

Saya rasa, apa yang sudah dicontohkan oleh Pangeran Diponegoro, masih relevan dilakukan kini. Rokok kretek sebagai warisan budaya nasional keberadaannya terus menerus dirongrong lewat berbagai peraturan yang dibuat dan sengaja dibuat-buat untuk mematikan pertanian dan industri kretek. Jika dahulu Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan simbolis dengan tetap merokok klobot sembari menyirih, kini kita sebagai generasi penerusnya, sudah selayaknya mencontoh beliau, melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang terus menerus berusaha menyingkirkan keberadaan rokok kretek. Perlawanan paling relevan tentu saja dengan tetap menjadikan rokok kretek sebagai pilihan utama ketika hendak merokok.