Lagi, tak bosan-bosannya kelompok antirokok mendorong isu kenaikan harga rokok. Dulu mereka pernah mencoba melempar isu tersebut kepada publik dengan bumbu hoax, akhirnya isu harga rokok naik menjadi Rp 50.000 sempat menjadi perbincangan publik. Meskipun gagal karena ending kampanyenya adalah publik mengolok-olok antirokok karena telah menciptakan membuat narasi kebohongan. rokok
Tapi antirokok bukanlah tipikal kelompok yang pantang menyerah. Pelan-pelan mereka kembali menata ulang strategi agar isu kenaikan harga rokok dapat mencapai keberhasilan, disambut baik oleh publik lalu direalisasikan oleh pemerintah melalui kenaikan cukai.
Dan kini mulai terlihat antirokok kembali bergerak untuk menciptakan isu tersebut. Kali ini nominal kenaikan harga rokok bukan Rp 50.000/bungkus melainkan lebih tinggi lagi sampai dengan Rp 70.000/bungkus.
Strateginya pun berubah, antirokok mendorong isu ini secara perlahan, lebih sabar, dan tidak terburu-buru. Fokus sasaran dari kampanye ini lebih ditargetkan kepada pemerintah, bukan kepada opini publik. Mungkin mereka belajar dari kegagalan kampanye harga rokok naik Rp 50.000 pada 2 tahun silam.
Meski demikian, antirokok harus tahu bahwa publik belum melupakan kekonyolan kampanye mereka 2 tahun silam. Mana bisa kita melupakan hoax yang sempat membuat geger bahkan sampai ada yang benar-benar percaya dengan memborong rokok sebelum harganya naik. Meskipun pada akhirnya publik kesal karena merasa dibohongi oleh isu hoax yang diciptakan oleh antirokok.
Isu harga rokok naik sebesar Rp 70.000 ini bermula dari hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mengenai dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok.
Dari hasil survei tersebut, kelompok antirokok mempublikasikan secara massif lewat media-media dengan target opinion leader kepada pemerintah. Harapannya agar pemerintah dapat merespon hasil survei yang didesain seakan-akan sebagai suara masyarakat sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam kebijakan pengendalian tembakau, terutama mengenai kenaikan cukai.
Lalu apa respon dari pemerintah?
Bea Cukai yang menjadi target opinion leader kampanye antirokok mengenai harga rokok Rp 70.000 memberikan respon yang negatif terhadap kampanye tersebut. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi menegaskan ketidak sepakatannya jika harga rokok naik terlalu tinggi. Sebab hal tersebut akan memicu meningkatnya peredaran rokok ilegal.
“Yang concern kesehatan ingin naik setinggi-tingginya, ada yang bilang Rp 70.000 per pack, dengan harga seperti itu akan meningkatkan peredaran rokok ilegal, karena prinsip suplai demand ini akan terjadi efek,” ujar Heru pada Kamis (23/8/2018).
Heru juga menjelaskan kenaikan tarif CHT harus memperhatikan lima aspek, yaitu perlindungan kesehatan, perlindungan industri, perlindungan petani tembakau, aspek penerimaan, dan aspek pengawasan atau pengendalian.
Dengan lima aspek tersebut, dapat kita ketahui bahwa pemerintah tidak bisa begitu saja diintervensi mengenai kenaikan harga rokok. Pemerintah dalam hal ini memiliki tugas dan fungsi dalam perlindungan terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT).
Lagipula bukankah selama ini aspek perlindungan kesehatan sudah diakomodir dalam kebijakan IHT? Di setiap kebijakan IHT selalu ada aspek perlindungan kesehatan. Bahkan sampai ada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang langsung menjadi payung hukumnya (UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan PP 109 Tahun 2012).
Melihat respon negatif dari pemerintah mengenai isu kenaikan harga rokok ini, tentu akan menarik melihat manuver apa yang akan dilakukan oleh antirokok ke depannya. Semoga saja mereka tidak kembali menciptakan hoax, karena dengan tensi hoax dan perdebatan politik menjelang pemilu saja kita sudah muak, apalagi jika ditambah dengan hoax antirokok.