Kepulan asap rokok di pagi hari ditemani segelas wedhang kopi, menjadi ritual wajib bagi sebagian besar kalangan di negeri ini. Bagi penikmat rokok sejati, serasa ada yang kurang jika setelah sarapan tak nyumet rokok, bahkan mulut akan terasa pahit. Di tengah isu naiknya harga rokok yang sedang moncer akhir-akhir ini, eksistensi ritual ini seakan mendapat tantangan. Akan tetapi, rokok akan tetap setia menemani dan memberi inspirasi untuk mengawali beratnya aktivitas sehari-hari.
Kebiasaan merokok memang telah mengakar di setiap lapisan masyarakat dan menjadi saksi perjalanan bangsa ini. Tembakau, bahan utama rokok, merupakan komoditas ekspor utama masa cultuurstelsel (sistem tanam paksa 1830-1870). Dengan luas 286 bahu, tembakau menjadi komoditi yang menduduki posisi keempat secara luas tanah dibawah gula, indigo, dan teh. Produksinya meningkat pesat sejak tahun 1860-an, terutama di pesisir timur Sumatera. Pada 1930, tembakau bersama komoditas ekspor penting lainnya seperti kopi, gula, dan teh menyumbangkan sekitar 930,5 juta gulden bagi pemerintah kolonial.
Tak berlebihan kiranya jika menjadikan rokok sebagai sumber insipirasi bagi lahirnya ide-ide kreatif. Memang tak semua orang mengamini pernyataan ini. Banyak kegiatan lain yang dapat mendatangkan insipirasi. Mengasingkan diri, bersemedi, yoga, bahkan ketika sedang bebersih di kamar mandi. Namun, rokok mengambil posisi sentral bagi lahirnya sebuah inspirasi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Mengutip sebuah pernyataan dari Mark Hanusz, seorang mantan bankir, yang karyanya menjadi sebuah ensiklopedi sejarah kretek (rokok) Indonesia. “Kretek means many things to many people. For some, it is a way to release tension or fend off hunger pangs”. Ketika tekanan dalam otak dapat dibuang bersama klepusan rokok, niscaya inspirasi akan datang menghampiri sebagai pengganti. Stres dan beban di kepala akan berkurang. Terhibur oleh hisapan batang rokok akan menciptakan perasaan rileks dan rumitnya permasalahan sehari-hari sejenak akan terlupakan.
Orang-orang besar di negeri tak ayal lagi adalah para perokok sejati. Sultan Agung, raja terbesar Mataram, adalah perokok kelas berat. Ketika mengontrol para prajurit berlatih perang, raja senantiasa merokok didampingi seorang abdi yang selalu siap menyalakan lagi rokok raja apabila kedapatan mati. Agus Salim, tokoh SI (Sarekat Islam), merupakan penikmat rokok sejati. Dalam acara penobatan Ratu Elizabeth II, dia menghampiri Pangeran Philip yang saat itu terlihat masih canggung karena usia yang muda dan menyodorkan kretek seraya mengatakan “inilah sebabnya 300 atau 400 yang tahun lalu bangsa paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya” untuk sekadar menghilangkan kecanggungan Pangeran Philip.
Para mahasiswa yang terhimpun dalam Perhimpunan Indonesia, tahun 1927, tak lepas dari hidangan rokok kelobot yang dijadikan sebagai identitas nasional di dalam pertemuan-pertemuan antar mahasiswa dari beberapa kota di Belanda seperti Den Haag, Leiden, Delft, Rotterdam, dan Wageningen. Pramoedya Ananta Toer, pengarang yang karyanya menjadi nominasi Nobel, merupakan seorang perokok sejati. Hal itu terlihat, paling tidak, dari sebuah sampul buku tentang dirinya berjudul Saya Ingin Lihat Semua ini Berakhir, karya August Hans den Boef dan Kees Snoek. Terlihat Pram, begitu ia sering disapa, sedang menulis menggunakan mesin ketik lawasnya sambil mulutnya menyesap sebatang rokok kretek.
Menaikkan harga rokok, di satu sisi, dapat dianggap menjadi alat untuk mengurangi atau bahkan mematikan lahirnya inspirasi. Rokok melulu dianggap, dari segi kesehatan, merugikan penghisap dan orang di sekitarnya. Akan tetapi, beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa rokok erat kaitannya sebagai fungsi pencipta inspirasi. Kebesaran Mataram mungkin tak akan menjadi kisah yang nyata terjadi dan menjadi tradisi kisah yang selalu diwarisi dari generasi ke generasi jika Sultan Agung bukan perokok sejati, meski anggapan ini mungkin terlalu berlebihan. Para founding fathers negeri ini mungkin tak akan dapat mendobrak benteng kolonialisasi jika bukan perokok sejati. Karya Pramoedya Ananta Toer berupa tetralogi (Buru) mungkin tak akan pernah kita nikmati, tanpa batang demi batang rokok yang ia sesapi. Berpikirlah bijak dalam menyikapi isu ini, karena setiap lapisan masyarakat di negeri ini, dari wong cilik hingga kaum priyayi, membutuhkan rokok hanya untuk sekadar relaksasi dan menumbuhkan inspirasi.