Keputusan pemerintah menambal defisit BPJS dengan cukai rokok memberikan uforia tersendiri bagi para kretekus. Layaknya musafir di tengah panas gurun yang mendapatkan seteguk air. Perokok
Di jagat media sosial misalnya, uforia itu terasa amat menggembirakan. Jutaan orang mengungkapkan kebanggaan mereka akan aktivitas merokok yang selama ini dianggap buruk dan merugikan negara, nyatanya memberi sumbangsih besar terhadap sektor kesehatan bangsa.
Uforia itu adalah hal lumrah. Selama ini para perokok dimarjinalkan, diberi ruang merokok yang ala kadarnya, dan bahkan pernah diancam tak mendapat layanan kesehatan dari negara.
Cukai rokok menambal defisit BPJS bagi perokok adalah sebuah apresiasi ghaib, yaitu apresiasi yang mungkin tidak akan pernah keluar dari mulut para pegiat kesehatan, apalagi mereka yang getol menyuarakan dan mendorong pemerintah untuk meratifikasi FCTC.
Di sisi yang berbeda, fakta menarik ini menjadi tamparan keras bagi mereka para anti rokok. Sebagai manusia normal, seharusnya mereka malu karena barang yang ingin mereka berangus dari negeri ini ternyata malah membiayai sektor yang mereka geluti: kesehatan.
Mau faktanya seperti apa, para antirokok memang manusia-manusia yang teguh pendirian. Mereka pantang untuk menerima takdir jika rokok adalah berkah bagi negara, sebaliknya mereka harus mengkritik kebijakan presiden tersebut.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), misalnya, mengkritik keras kebijakan pemerintah itu. Mereka menganggap, pemanfaatan pajak rokok yang selama ini menjadi pendapatan daerah yang akan digunakan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan dianggap tidak efektif.
Bagi mereka, sebagaimana yang diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Ilham Oetama Marsis, terkait penggunaan cukai rokok harus dibuat peraturan tersendiri. Maksudnya adalah, Ilham Oetama ingin menyampaikan, defisit BPJS dikarenakan banyak orang sakit ketimbang yang bayar BPJS, dan dari sekian banyak orang sakit itu adalah perokok.
Ilham berpandangan langkah yang lebih tepat dilakukan pemerintah adalah penanganan terlebih dahulu terhadap dampak kesehatan yang timbul dari konsumsi rokok. Caranya bisa dilakukan dengan pembatasan operasional pabrik rokok, hingga peningkatan harga pasaran rokok.
Ungkapan itu tentu saja bisa kita raba bermuara ke mana. Ya, ke pengendalian tembakau atau bahasa kasarnya pembunuhan industri kretek dari bumi Nusantara ini. Hal itu diyakini bisa membuat jumlah konsumsi rokok berkurang, dan klaim kesehatan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan untuk keluhan-keluhan yang terkait dengan konsumsi rokok juga berkurang.
Kesimpulannya, jika pabrik-pabrik rokok dibatasi produksi, maka diharapkan orang penyakitan akan berkurang. Jika orang penyakitan berkurang, maka BPJS pasti punya keuntungan yang lebih besar dan tak perlu khawatir ditambal cukai rokok apabila mengalami defisit. BPJS tidak boleh ditambal cukai rokok, karena yang demikian akan mengakibatkan lunturnya marwah para pegiat kesehatan, tapi kalau cukai rokok untuk kampanye kesehatan, ya ndak apa-apa.
Seharusnya, para antirokok tak perlu malu. Para perokok ikhlas dan selalu gembira dapat berkontribusi terhadap pembangunan serta kesehatan bangsa. Mari bersuka cita bersama, tak perlu ada dusta di antara kita.