logo boleh merokok putih 2

Perokok, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Terus Dinista

Perokok adalah pahlawan tanda jasa, sebab mereka berjasa memperbesar pendapatan negara melalui cukai, tetapi tidak meminta pamrih apapun apalagi pengembalian uang”.

Sepintas ucapan Presiden Jancukers, Sudjiwo Tedjo, itu terlihat sangat sederhana dan besar gurauannya. Tetapi, jika ditelaah lebih mendalam, ucapan itu nyatanya menampar pemerintah yang sering semena-mena terhadap para perokok yang telah berjasa besar kepada bangsa ini.

Industri hasil tembakau melalui kreteknya memberikan sumbangan besar pemasukan negara. Setiap tahun, negara mengeruk ratusan triliun dari sektor industri ini. Rp103,6 triliun pada tahun 2013; Rp112,5 triliun pada tahun 2014; Rp139,6 triliun pada tahun 2015; Rp141,7 triliun pada tahun 2016; dan Rp149,9 triliun pada tahun 2017.

Belum lagi, kabar yang masih hangat berseliweran di dunia maya, defisit BPJS pun ditambal oleh cukai rokok. Jokowi sebagaimana yang diberitakan oleh media, telah melakukan teken Perpres cukai rokok guna menambal defisit jaminan kesehatan masyarakat Indonesia tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum, para antirokok tiba-tiba buta melihat fakta yang sedemikian mulia. Mereka terus melakukan penggempuran terhadap industri ini, melalui kampanye-kampanye yang “jilehi”, mengada-ada, dan terus mereproduksi kengawuran demi kengawuran meski telah banyak fakta dan referensi yang menumbangkan data-data mereka. Dengan segala kebencian dan kampanye yang dibalut kemulian, mereka ingin menghilangkan industri hasil tembakau ini dari bumi Indonesia, bahkan dunia.

Tentu saja mereka menerima, ketika sektor kesehatan nyatanya selalu disuntik oleh cukai rokok. Tangan mereka selalu terbuka menerima pundi-pundi amal yang diberikan dari sektor yang hulu hingga hilirnya di kelola oleh masyarakat kita sendiri. Tapi apakah mereka mengakui kalau industri hasil tembakau ini berjasa besar terhadap bangsa dan negara? Jelas tidak, mereka akan bilang, “Sudah tepat kalau cukai rokok harus banyak digunkan untuk kesehatan, karena banyak orang penyakitan di negeri ini rata-rata perokok!”

Parahnya lagi, pernah santer beredar, para kretekus diancam tidak akan mendapatkan pelayanan kesehatan jika mereka masih merokok. Sebuah diskriminasi yang tidak tau diri dan sangat tidak bermartabat.

Meski sudah banyak penelitian bahwa risiko penyakit bisa datang dari manapun, dari segala barang yang kita konsumsi, selalu saja rokok adalah kambing hitam yang  senantiasa disalahkan. Mereka akan terus ngotot, karena prinsip mereka adalah “kebohongan yang disuarakan terus-menerus akan menjadi kebenaran yang diimani oleh publik”.

Tak berhenti sampai situ, antirokok juga mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan guna menekan para perokok. Seperti aturan kawasan tanpa rokok. Aturan ini sebenarnya baik jika dilaksanakan tidak berat sebelah. Payahnya, aturan ini hanya sebagai landasan formal saja. Ruang merokok tidak disediakan dengan baik, cenderung ala kadarnya dan di tempatkan di tempat yang tidak manusiawi. Padahal, merokok atau tidak sama-sama dilindungi undang-undang.

Para perokok juga dilabeli sebagi orang-orang penyakitan. Mereka menutup mata, jika masih banyak orang-orang tua, di desa-desa, yang masih giat bekerja di sawah dan ladang-ladang, meski mereka merokok. Antirokok juga terus menutup mata, jika banyak orang yang tidak merokok yang terserang penyakit rupa-rupa, padahal mereka tidak merokok.

Tapi, beruntunglah menjadi perokok. Mereka senantiasa terjaga kewarasannya, di tengah isu miring dan kebohongan terhadap lintingan emas hijau ini. Mereka selalu lapang dada di hujatan dan diskriminasi kaum antirokok, karena perokok paham berbakti kepada bangsa tidak perlu kebanyakan ngomong dan beretorika seakan membela kemulian demi bangsa dan negara.

Perokok cukup duduk diam sembari menikmati kretek dan segalas kopi, karena dari sanalah pembangunan bangsa berjalan tanpa intervensi dari orang asing. Terimakasih perokok, teruslah merokok, karena negara membutuhkanmu.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Rinanda

Rinanda

Hobi jalan-jalan dan jajan. Bercita-cita punya butik.