logo boleh merokok putih 2

Tembakau Penerus Kehidupan

Selain falsafah hidup Satu Tungku Tiga Batu-nya orang Fakfak yang legendaris, budaya Fakfak, Papua Barat, juga menghormati tamu. Ini bagian dari falsafah hidup menjaga keseimbangan Tungku kehidupan. Orang Fakfak akan menganggap orang yang datang sebagai “mereka yang kembali.” Bukan tamu.

Di sisi luar Balai Kampung Purwahab Tonggoh yang menghadap ke laut, saya melihatnya sedang asik menghisap rokok lintingan daun Nipah. Pada masing-masing kedua tangannya, pak Musa Hindom (80-an tahun) memegang Pandoki (daun Nipah) dan Mahituni (tembakau Fakfak) dalam dompet kecil anyaman yang cantik.

“Boleh saya ikut duduk di sebelah, pak?”

“Silahkan, anak.” Ujarnya dengan senyum hangat.

Pak Musa menawarkan Pandoki dan Mahituni ke saya. Beliau seperti sudah menebak rasa penasaran saya. Kami lalu berbincang.

Menawarkan Pandoki dan Mahituni bagi tamu adalah penghormatan. Apalagi bila kemudian disusul oleh Mehak (seduhan kopi setinggi 3 jari dalam cangkir besi kecil), sempurnalah penghormatan itu.

Secara adat dan budaya, masyarakat Fakfak mesti punya tanaman kopi dan tembakau. Selain untuk keperluan rumah tangga, juga untuk keperluan adat.

Hampir dalam setiap upacara adat, yang akan melibatkan semua orang dari latar belakang agama masing-masing, akan ada ritual Mehak. Semua orang akan minum kopi dari cangkir-cangkir besi kecil.

Dalam ritual Mehak, untuk membicarakan satu persoalan misalnya, orang harus bicara jujur dari hati ke hati. Ritual itu akan didampingi Pandoki yang merupakan kesatuan dengan Mehak.

Ada fungsi kultural Mahituni lain yang lebih gawat lagi: Penerus Kehidupan. Kalau di luar orang berisik menganggap Tembakau bisa membunuh, di adat Fakfak sebaliknya: tanpa Tembakau kehidupan sulit berlanjut. Begini ceritanya.

Bagi setiap lelaki yang akan melamar seorang perempuan untuk dinikahi, maka si lelaki harus menyiapkan satu blek Tembakau yang berat bersihnya 8 kilogram.

Oleh si Mama calon mertua, Tembakau itu akan dijual dan uangnya untuk membeli “Gelang Belakang Sakit.” Itu gelang emas yang biasa juga disebut “Gelang Portugis.”

Kenapa disebut Gelang Belakang Sakit? (Orang Papua memang juara tanpa tanding untuk urusan memberi istilah menggunakan bahasa Indonesia).

Bagi setiap perempuan yang mengandung anaknya selama 9 bulan, pasti merasakan sakit atau ngilu pada pinggang bagian belakang. Nah, untuk mengganti rasa sakit itulah gelang itu dijadikan syarat melamar. Agar si Mama merasa senang dan legawa melepas anaknya. Dari sanalah nama itu, pun.

“Kapan saya bisa menikmati Mehak dan Pandoki, pak Musa?”

“Anak Saleh harus ke Kampung saya di Werba.”

“Berapa jauh dari sini, Pak?”

“1-2 jam saja jalan kaki.”

Pak Musa Hindom, di usianya yang 80-an selalu berjalan kaki dari Kampung ke Kampung.

Semua aspek filosofis kultural di atas saling terkait dan masih hidup dalam kepercayaan dan adat orang Fakfak. Sekeras apapun budaya dari luar menghajarnya. Tungku itu harus tetap seimbang dengan Tiga Batu penopangnya. Ya, ini soal menjaga Keseimbangan Hidup.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis