PERTANIAN

Cengkeh dan Kelapa di Kepulauan Anambas

Di sisi tenggara Pulau Matak, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, berdiri Desa Piabung. Rumah-rumah warga mayoritas menjorok ke laut. Tiang-tiang pondasi rumah tertanam ke dasar laut. Dari kejauhan, rumah-rumah yang dominan berbahan kayu dengan atap seng itu terlihat mengambang di lautan.

Ragam bentuk terumbu karang terlihat jelas di dasar laut. Bagan-bagan ikan tertambat di tengah laut. Perahu-perahu nelayan terparkir di sisinya. Sekali dua, perahu pompong dan perahu cepat berlalu lalang di lautan sempit pada celah antara dua atau lebih pulau-pulau kecil.

Di barat desa, kontur perbukitan mendominasi. Perbukitan di Pulau Matak, juga di pulau-pulau kecil di seberang laut sebelah timur Desa Piabung pohon-pohon kelapa dan cengkeh berselang-seling menghadap laut. Kantor Desa Piabung menjadi satu dari sedikit bangunan yang berada di perbukitan. Dikelilingi pohon-pohon kelapa dan cengkeh.

Sepekan lalu kali pertama saya berkunjung ke Desa Piabung. Lansekap laut berpadu dengan perbukitan dan rumah-rumah warga yang menjilat laut membikin saya takjub. Lima hari saya keliling Pulau Matak dan beberapa pulau lain di Kepulauan Anambas dengan sajian pemandangan yang menyenangkan. Di Desa Piabung saya tinggal dalam waktu paling lama dibanding desa-desa lainnya.

Mengendarai sepeda motor matic, Agus, 45 tahun, salah seorang penduduk Desa Piabung membonceng saya menyusuri desa. Kami berbincang di atas sepeda motor. Juga ketika kami berhenti di satu-satunya kios yang menyediakan jasa fotokopi di desa.

Agus berprofesi sebagai nelayan. Ia menangkap ikan-ikan karang, juga memiliki sebuah bagan berukuran sembilan kali sembilan meter untuk menangkap ikan teri yang biasa disebut bilis oleh warga desa. Selain sebagai nelayan, Agus juga memiliki 70 batang pohon cengkeh berusia di atas 20 tahun dan satu setengah hektar kebun kelapa.

Kebun cengkeh dan kebun kelapa Ia beli dari hasil menjual ikan yang Ia tangkap di laut. Pelan-pelan Ia menabung untuk membeli kebun cengkeh dan kebun kelapa. “Kalau hasil dari laut, untuk keperluan sehari-hari, Mas. Kebun kelapa dan terutama cengkeh, itu untuk tabungan yang kami dapat sekali setahun di musim panen. Cengkeh saja sih. Kelapanya tidak.” Ujar Agus menerangkan.

Saya belum pernah membaca penelitian ilmiah yang menyebutkan bahwa pohon cengkeh yang ditanam menghadap laut lebih baik dibanding pohon cengkeh yang tidak menghadap laut. Namun, berdasar pengalaman Komang Armada, dan petani cengkeh lainnya di Desa Munduk, Bali, pohon cengkeh yang ditanam menghadap laut menghasilkan bunga lebih baik dibanding yang tidak.

Pohon-pohon cengkeh di Kepulauan Anambas, termasuk di Desa Piabung, hampir seluruhnya menghadap laut. Kondisi geografis Kepulauan Anambas menjamin itu. Pulau-pulau berukuran kecil dengan bukit terjal menjulang di tengah pulau menjamin angin laut rutin bertiup ke arah pohon-pohon cengkeh. Beberapa pohon cengkeh bahkan ditanam hanya berjarak kurang dari 20 meter saja dari bibir pantai.

Tahun lalu, ketika hampir seluruh perkebunan cengkeh di Indonesia mengalami gagal panen karena faktor cuaca, di Kepulauan Anambas, itu tidak terjadi. Panen berlangsung sebagaimana biasa. Bisa jadi faktor dekat laut penyebabnya. Sayang belum ada penelitian ilmiah yang meneliti tentang itu.

Saya lalu berjumpa dengan Hawari di kedai kopi miliknya yang terletak di bibir pantai di ujung Desa Piabung. Ia juga seorang nelayan dan pemilik kebun cengkeh dan kelapa. Menurut Hawari, sudah sepuluh tahun terakhir harga cengkeh kering per kilogram berkisar antara Rp85 ribu dan Rp110 ribu.

Selain membersihkan rumput, tak ada perawatan lain untuk kebun cengkeh. Tidak ada pemupukan dan rupa-rupa perawatan lainnya. Kebun cengkeh didiamkan begitu saja hingga musim panen tiba. Ketika musim panen tiba, para pemetik berbondong-bondong datang. Dari Desa Piabung, desa sekitar, pulau-pulau lain di Kepulauan Anambas, dan juga para pemetik dari Pulau Jawa.

Untuk menjual hasil panen, para pemilik cengkeh tak perlu repot-repot membawa hasil panen mereka ke pembeli. Para pembeli datang sendiri ke desa membeli cengkeh-cengkeh milik petani.

Yang menarik di musim panen, banyak pemilik kebun yang menyedekahkan seluruh hasil cengkehnya untuk siapa saja yang mau memanen. Bukan satu dua pemilik kebun yang melakukan itu. Banyak. Banyak sekali. “Kami enggan serakah. Kami harus berbagi. Hasil ikan dari laut seringkali sudah berlimpah bagi kami. Jadi, biarlah cengkeh di kebun untuk mereka yang lebih membutuhkan. Allah membenci orang yang serakah. Kami tak mau dibenci.” Ujar Hawari kepada saya.

Lain cengkeh lain pula kelapa. Sudah cukup lama buah kelapa dari pohon-pohon kelapa yang jumlahnya tak kalah banyak dengan pohon cengkeh tidak dipanen dengan maksimal. Warga mengambil kelapa seperlunya saja. Untuk santan, dan keperluan memasak lain. Mereka enggan memanen kelapa karena harga jualnya sangat rendah.

Dahulu, selain hasil laut dan bunga cengkeh, buah-buah kelapa juga menjadi sumber pemasukan warga di Kepulauan Anambas. Kondisi ini menjamin kesejahteraan masyarakat. Buah-buah kelapa yang dipanen kemudian diolah menjadi kopra untuk kemudian dikirim ke berbagai tempat sebagai bahan baku ragam bentuk produk bernilai jual tinggi. Terutama setelah diolah menjadi minyak.

Buku-buku IPS semasa sekolah dahulu kerap menyebut bahwa Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kopra terbesar di dunia. Itu dulu. Dulu sekali. Setelah kampanye jahat berdalih kesehatan yang menyebut minyak kelapa buruk bagi kesehatan pengonsumsinya, kopra tak laku dijual. Kebun-kebun rakyat terbengkalai. Lalu masuk perkebunan sawit milik perusahaan-perusahaan besar pemilik modal. Untuk mendukung ekspansi kebun sawit, mereka bilang minyak sawit jauh lebih sehat dibanding minyak kelapa.

Kini, ilmu pengetahuan membuktikan sebaliknya. Namun kelapa masih berharga rendah karena ekspansi perkebunan sawit, juga ketergantungan industri dengan minyak sawit berharga murah membikin minyak sawit masih menjadi unggulan. Dahulu atas nama ilmu pengetahuan kelapa disingkirkan. Perkebunan rakyat terbengkalai. Kini saat ilmu pengetahuan membuktikan sebaliknya, tak banyak yang berani bicara. Lagi-lagi kuasa modal berada di belakang semua ini.

Titimangsa 13 hingga 15 September 2018, di Nusa Dua Bali lewat forum APACT dan usaha mendorong penerapan FCTC di negeri ini, apa yang sudah dilakukan terhadap kelapa mulai masif hendak pula dilakukan terhadap cengkeh. Lagi-lagi kesehatan menjadi alasan. Ada pola yang begitu mirip di sini, antara penyingkiran kelapa dahulu dan upaya penyingkiran cengkeh kini. Pertama kesehatan dijadikan alasan. Kedua, yang sepertinya juga akan terjadi kepada cengkeh seperti kepada kelapa, kepemilikan lahannya. Kelapa juga cengkeh, mendekati 100 persen milik masyarakat. Saya menduga, seperti juga kelapa, kesehatan dijadikan alasan untuk menghancurkan cengkeh. Padahal, faktor penguasaan lahan dan terutama ekonomi menjadi latar belakangnya. Jika cengkeh sudah tersingkir laiknya kelapa, pelbagai upaya pemilik modal menguasai lahan dan terutama transaksi ekonomi yang menjanjikan dari cengkeh, akan lekas dicari komoditas penggantinya. Seperti sawit menyingkirkan kelapa.

Di Kepulauan Anambas, juga di banyak tempat lainnya tempat pohon-pohon kelapa dan cengkeh tumbuh berdampingan, erat, rapat, pelajaran itu bisa kita dapat. Kelapa sudah dikalahkan. Cengkeh masih bertahan. Dan saya kira, pelajaran berharga dari komoditas kelapa mesti diambil sebanyak-banyaknya. Agar cengkeh tak bernasib laiknya kelapa.