PERTANIAN

Merokok Adalah Hiburan Masyarakat Desa

Bagi orang desa seperti saya, merokok menjadi hiburan sederhana yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang berpikir kota.

Di Jakarta yang sibuk ini, saya mengamati geliat kehidupan para pekerja yang ketika berangkat dan pulang terjebak kemacetan. Tingkat stres orang-orang Jakarta sangat tinggi, sebagaimana survei yang dirilis oleh perusahaan asal Inggris, Zipjet, bahwa Jakarta menempati posisi ke enam dari 150 kota dunia dengan tingkat stres paling tinggi.

Dengan tingkat stres yang begitu tinggi, dapat dimaklumi jika tempat hiburan menjamur di kota ini. Mulai dari alam sampai wisata malam. Pengunjung pasar dan mall membludak ketika hari libur tiba, begitu juga dengan tempat-tempat wisata lainnya.

Hampir sepuluh tahun saya di sini, dengan segala lara dan duka. Saya menyimpulkan, tempat hiburan selain menjadi obat badan letih dan otak stres, juga menjadi semacam tolak ukur kemapanan. Kaum menengah ke atas, atau mereka yang tidak dinilai miskin, menjadikan tempat perbelanjaan sebagai tempat relaksasi untuk menyegarkan kepala. Dari situ, banyak orang dan peneliti menyimpulkan, jika orang-orang tidak mampu berkunjung di tempat-tempat hiburan dan perbelanjaan, dianggap sebagai warga miskin. Inilah yang kemudian memunculkan istilah, kaya dan miskin.

Pola pikir kaum kota ini ternyata juga berpengaruh terhadap segala hal yang mereka lakukan, termasuk menentukan siapa si miskin dan siapa si kaya. Kebanyakan orang-orang kota menganggap, masyarakat desa karena tidak pernah ke mall dan tempat hiburan lainnya, dianggap sebagai masyarakat miskin. Sudah miskin, merokok pula. Lengkap sudah.

Yang paling mencengangkan, survei BPS pernah merilis bahwa kemiskinan masyarakat desa disebabkan oleh rokok. Saya dapat menerka-nerka, kesimpulan penelitian tersebut disandarkan pada hal yang sangat sederhana; mereka merokok tapi tidak pernah keluar untuk berbelanja atau bermain di pusat-pusat perbelanjaan, seperti orang-orang kota lakukan atau para peneliti itu lakukan.

Tentu saja saya tidak sepakat dengan logika semacam ini. Saya orang desa. Saya tau kekayaan orang desa tidak dalam bentuk uang untuk berbelanja ke sana ke mari. Saya berani bertaruh, semiskin-miskinnya orang desa tidak dapat dicap miskin begitu saja.

Meski mereka tidak memiliki uang miliaran di rekening, tetapi mereka memiliki aset yang sangat banyak. Semiskin-miskinnya orang desa, mereka memiliki aset tanah yang amat luas. Jika diuangkan, berapa kira-kira nilai aset tersebut? Lalu melabeli masyarakat desa dengan kemiskinan, bukannya sebuah penghinaan yang perlu dijelaskan lebih dalam lagi?

Rokok juga tidak dapat dijadikan sebab orang-orang desa tidak pernah menimbun uang, sebagaimana para elit perkotaan lakukan. Coba bayangkan, seharian di sawah, bergelut dengan panas dan hujan. Ketika senja baru pulang. Rokok dan jagongan di tengah bau dedauan dan suara jangkrik menjadi hiburan. Jangankan mau main ke mall setelah seharian di ladang, wong puskesmas saja kadang jauhnya tidak ketulungan.

Coba deh kita pikir lagi, bukannya pedesaan adalah tempat hiburan bagi orang kota? Setiap kali ada kesempatan liburan agak panjang, pasti orang-orang kota menjadikan desa sebagai tempat rekreasi yang paling murah dan memanjakan mata. Berarti, masyarakat desa sebenarnya mampu berekreasi setiap hari.

Jadi, apakah masyarakat desa adalah orang-orang miskin dibandingkan orang-orang kota? Orang-orang desa tau, dibanging berbelanja dan mejeng di mall, lebih baik merokok, karena di sana negara menuai keuntungan, karena di sana letak kenikmatan yang hanya dapat dipahami para pelakunya. Mari renungkan sambil menghisap kretek asli Indonesia.