OPINI

Pemerintah Harus Perhatikan Prinsip Keadilan dalam Penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Setidaknya dalam empat hingga lima tahun belakangan, penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di beberapa tempat di negeri ini marak dilakukan. Pemerintah daerah setingkat kotamadya dan kabupaten di beberapa tempat sudah mengeluarkan peraturan daerah mengenai KTR ini.

Dalam peraturan yang berlaku setidaknya ada delapan titik yang menjadi prioritas untuk ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok. Ke delapan titik itu: fasilitas pelayanan kesehatan; tempat belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; tempat umum; dan tempat lain yang ditentukan.

Beberapa tempat jelas definisinya, beberapa lainnya masih bias dan berpotensi memicu perdebatan. Fasilitas kesehatan, fasilitas belajar mengajar, tempat ibadah, angkutan umum, ini cukup jelas. Namun tempat umum, juga tempat lain yang ditentukan, belum terdefinisikan dengan baik dan potensial memicu perdebatan panjang. Butuh kriteria yang jelas untuk menetapkan kawasan itu sebagai KTR.

Di luar potensi perdebatan mengenai beberapa tempat yang bisa ditetapkan menjadi KTR, secara prinsip sesungguhnya penetapan KTR baik. KTR bisa menjadi jalan tengah yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Mereka yang merokok, dan mereka yang tidak merokok.

Keberadaan KTR membantu melindungi mereka yang merasa terganggu dengan asap rokok. Keberadaan KTR juga dapat mengontrol para perokok ‘nakal’ yang merokok sembarangan dan mengabaikan etika. Keberadaan KTR saya rasa, membantu kampanye kami agar para perokok menjadi perokok santun.

Ini dari satu sisi, manfaat penetapan KTR bagi mereka yang tidak merokok. Sedang bagi para perokok, penetapan KTR juga semestinya bermanfaat. Salah satunya ya mengajak para perokok santun dalam menjalani aktivitas merokok mereka.

Sayangnya, selama ini, tafsir KTR selalu dimonopoli sebagai ajakan untuk berhenti merokok. KTR melulu diklaim sebagai kemutlakan untuk tidak boleh merokok sama sekali sembari terus mengampanyekan keburukan-keburukan rokok yang terus menerus diulang meskipun bantahan untuk semua itu sudah disampaikan berdasar data dan fakta.

Satu yang kerap dilupakan, dan ini betul-betul mencederai hak para perokok, adalah kewajiban menyediakan tempat khusus merokok di wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai KTR. Keberadaan KTR dimaksudkan untuk memenuhi hak non-perokok untuk bisa menghirup udara bersih tanpa asap rokok (meskipun tidak bebas asap kendaraan bermotor yang lebih berbahaya).

Tetapi apakah sudah sebatas itu saja? Tentu saja tidak. Karena ada hak perokok pula di sana. Dan undang-undang serta peraturan sudah mengakomodasi itu dengan adanya ketentuan yang mengharuskan keberadaan kawasan ruang merokok di KTR. Dan ini yang masih kerap diabaikan.

Tentu saja kita tidak ingin pemenuhan hak satu pihak dengan mencederai hak pihak lain. Sayangnya ini yang terjadi kini. Banyak tempat-tempat yang ditetapkan sebagai KTR sama sekali tidak menyediakan ruang khusus merokok.

Jikapun ada tempat khusus merokok yang disediakan, kebanyakan dari tempat itu sangat tidak manusiawi. Di bandara, dan sedikit di stasiun misalnya, ruang khusus merokok ditempatkan di sudut sempit yang panas dengan luas ruang begitu sempit dan hampir seluruhnya tertutup. Kadang masih ditambah diletakkan di dekat toilet yang aromanya naudzubillah setan. Sedikit sekali yang sudah memenuhi kelayakan seperti di Bandara Ngurah Rai dan Stasiun Malang misal.

Sekali lagi, penetapan KTR di tempat-tempat yang sudah ditentukan saya kira merupakan solusi yang bisa saling menguntungkan pihak non-perokok dan perokok. Tetapi ada syarat keadilan di dalamnya. Sayangnya prinsip keadilan itu kini belum benar-benar terlihat.