November 2018, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, bersama jaringan masyarakat pengendali tembakau mengecam akan menggugat PT KAI jika perusahaan plat merah itu tidak menurunkan iklan rokok di stasiun-stasiun.
Sebagaimana yang banyak dikutip media, Tulus Abadi, seseorang yang tidak pernah sekalipun membela konsumen rokok itu, menganggap manajemen PT KAI setengah hati dalam menanggapi aduan masyarakat (maksudnya YLKI dan lembaga swadaya lainnya). Iklan rokok hanya ditutup kain, disarungi, tidak diberantas sebagaimana keinginan Tulus Abadi.
Track record Tulus Abadi dalam menggugat pemerintah jangan diragukan lagi. Silahkan searching saja keyword “Tulus Abadi menggugat rokok” di mbah google, maka berentet berita soal itu akan muncul. Tapi yasudah, kita maklumi saja pekerjaan Tulus Abadi selain membela konsumen adalah spesialis penggugat rokok.
Kembali lagi pada persoalan ancaman gugatan YLKI terhadap PT KAI. Ancaman itu disambut gembira oleh Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan. Kawan karib Tulus Abadi ini memberikan sumbangsih pasal-pasal untuk menundukkan PT KAI. Menurut Tigor, pihaknya bisa menggugat PT KAI secara perdata dan tuduhan melawan hukum, sebagaimana diatur pada Pasal 1365 dan Pasal 1367 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata bahwa segala perbuatan yang melawan hukum yang merugikan orang lain mewajibjan pelaku untuk melakukan ganti rugi. Pasal ini artinya, muaranya pada ganti rugi.
Logika yang dibangun tigor sejatinya membuat publik bertanya-tanya, apakah memang banyak orang dirugikan jika ada iklan rokok di stasiun? Jangan-jangan cuma kelompoknya sendiri. Atau apakah dengan melihat iklan rokok, seseorang kemudian akan merokok? Nah soal ini tidak bisa disimpulkan secara sederhana.
Dari dulu, jika mau mencermati apapun pasal yang digunakan Tigor untuk menggugat IHT bermuara pada ganti rugi, alias uang. Masih ingat kasus Rohayani, seorang lelaki yang wajahnya mirip dengan model di bungkus rokok? Nah Azas Tigor dari peristiwa itu mengojok-ojoki Rohayani untuk meminta ganti rugi yang sangat banyak.
Sebagai perokok yang baik, kita seharusnya bisa memahami bahwa memang rokok menghidupi jutaan masyarakat Indonesia, termasuk mereka yang membenci kemudian memanfaatkannya menjadi arena perang. Kalau tak ada rokok, kira-kira apa yang akan digugat? Klepon, onde-onde atau sekuteng?
Sepintas, apa yang dilakukan Tulus Abadi dan kelompoknya itu sangat mulia. Tapi, kalo mau jeli gugatan Tulus Abadi soal iklan rokok ini keterlaluan dan cenderung lebay.
Tulus seakan membangun wacana, bahwa rokok memang tidak boleh diiklankan. Sejatinya, apa yang dibawa Tulus ini yang sebenarnya tindakan melawan hukum. Sekalipun rokok sering dicaci, rokok adalah barang legal yang dilindungi undang-undang yang punya kedudukan setara dengan barang legal lainnya.
Mari sejenak kita tengok ke belakang. Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan enam perseorangan warga negara dalam pengujian aturan larangan iklan niaga yang memperagakan wujud rokok dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Putusan tersebut dibacakan Ketua MK Hamdan Zoelva pada sidang Kamis 9 Oktober 2014.
Majelis hakim MK menyatakan, rokok dan tembakau bukan produk ilegal. Karena itu sah bila produk ini dipromosikan dengan menampilkan wujudnya. Selain itu, berlebihan bila menyandingkan rokok sama dengan narkotika.
Dalam perkara bernomor 71/PUU-XI/2014 ini, para pemohon tersebut menguji ketentuan dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c sepanjang mengenai frasa “yang memperagakan wujud rokok” yang berada dalam norma larangan siaran iklan niaga melakukan “promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.”
Tahun 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak judicial review atau uji materi oleh Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyah, beserta Yayasan Lembaga Pemberdayaan Sosial Indonesia terhadap Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pers agar iklan rokok dilarang.
Mahkamah berpendapat sesungguhnya kepentingan para pemohon terkait iklan rokok sudah diakomodir Pasal 46 ayat (3) huruf c Undang-undang Penyiaran dan Pasal 13 huruf c Undang-undang Pers sebagaimana yang digugat.
Dengan catatan, pelarangan iklan yang dimaksudkan pemohon adalah larangan terhadap promosi rokok yang memperagakan wujud rokok dan larangan memuat iklan peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Demikian pula dengan ketentuan Pasal 13 UU Pers juga berisi tentang larangan bagi perusahaan iklan untuk mengiklankan substansi yang dikehendaki para pemohon yang salah satunya adalah larangan mempromosikan rokok yang memperagakan wujud rokok.
Iklan rokok tidak dilarang, namun hanya dibatasi. Kita bisa melihat dengan gamblang, jika perusahaan yang tidak pernah menampilkan produknya dalam iklan adalah perusahaan rokok. Coba deh perhatikan, masa yang dijual rokok yang diiklankan malah soal musik, petualangan dan seabrek pemandangan yang indah-indah. Betapa pemerintah ini menghimpit industri yang sebenarnya telah berkontribusi besar terhadap pembangunan bangsa.
Bagi Tulus, stasiun tidak ramah anak karena masih banyak iklan rokok yang terpasang. Ini adalah lagu lama kaset kusut yang terus digunkan antirokok sebagai salah satu strategi membangun opini pubilk: “Iklan rokok berpengaruh pada anak. Perushan rokok menyasar anak-anak. Maka, iklan rokok harus ditiadakan.”
Hwian Cristianto, seorang peneliti dari Univeristas Surabaya pernah membahas hal itu secara spesifik.
Data-data survei soal meningkatnya perokok anak dari iklan-iklan perusahaan rokok yang dihimpun tidak menunjukkan sebab akibat dari adanya pengaturan iklan rokok tanpa memeragakan wujud rokok dengan hak konstitusional anak. Bukti prevalensi yang menunjukkan peningkatan jumlah anak yang merokok hanya berkorelasi dengan fakta bahwa hak anak hidup dan mempertahankan kehidupannya terancam dari keberadaan produk rokok, bukan karena iklan rokok sendiri. Tidak dapat disimpulkan secara serta merta bahwa peningkatan prevalensi perokok usia anak-anak memiliki hubungan kausalitas dengan iklan rokok tanpa memperagakan wujud rokok.
Jadi, sebaiknya yang memang tidak ada jangan kemudian diada-adakan. Adek saya hampir setiap hari melihat iklan kondom di televisi, tetapi ia tau ada waktunya seseorang mengenakan itu. “Nanti kalau sudah nikah,” katanya.