Produk alternatif tembakau seperti vape menjadi tren terbaru yang digandrungi masyarakat. Vape atau rokok elektrik naik pamor setelah dihembuskan isu bahwa mengkonsumsi vape dianggap lebih aman ketimbang mengonsumsi rokok konvensional, sebutlah kretek.
Isu lebih sehat tersebut terus-menerus dihembuskan kepada masyarakat, sehingga banyak penikmat rokok konvensional yang pindah menjadi ‘vapers’ (sebutan bagi penikmat vape). Bahkan bukan hanya perokok, banyak juga dari kalangan non-perokok yang memutuskan memilih menjadi vapers ketimbang perokok.
Kemunculan vape sebenarnya sangat lumrah di era yang penuh inovasi ini. Kami pun para penikmat kretek biasa-biasa saja dengan fenomena produk alternatif tembakau. Jauh sebelum tren vape muncul di tengah masyarakat, di Eropa dan Amerika bahkan sudah lebih dulu muncul tren produk alternatif tembakau macam koyok nikotin atau permen karet nikotin.
Namun ketika isu produk alternatif, dalam hal ini vape diisukan lebih sehat ketimbang rokok konvensional, tentu ceritanya menjadi lain. Kami kretekus merespon dan tidak tinggal diam. Sebab hal tersebut sudah sampai pada konteks menyentuh eksistensi kami.
Maka, mari kita bedah apakah benar produk alternatif macam vape ini lebih sehat?
Sebelum masuk kepada hasil-hasil riset kesehatan termutakhir, kami ingin menyinggung bahwa fenomena kemunculan produk alternatif tembakau, baik itu koyok nikotin, permen nikotin, hingga vape, dalam konteks global kita sebut sebagai Nicotine War atau Perang Nikotin.
Perang Nikotin adalah peperangan memperebutkan nikotin antara “zat nikotin alami dalam tembakau” yang diwakili oleh industri rokok versus “senyawa mirip nikotin” dan “sarana pengantar nikotin” yang diwakili oleh industri farmasi.
Kretek dan rokok konvensional lainnya merupakan produk konsumsi yang mengandung nikotin yang dihantarkan secara alami melalui tembakau tanpa perantara apapun.
Sementara vape, koyok nikotin atau permen nikotin merupakan produk konsumsi yang mengandung nikotin yang dihantarkan melalui perantara, seperti dipanaskan dulu seperti uap atau mengekstraksi tembakau dan zat-zat lainnya dengan sedemikian rupa.
Lalu bagaimana dengan riset termutakhir mengenai produk alternatif tembakau?
Para peneliti Harvard mengungkapkan bahwa pengguna vape beresiko mengidap penyakit bronchiolitis obliterans atau lebih akrab disebut sebagai ‘popcorn lung’. Kandungan kimia di dalam vape secara sistematis menghancurkan saluran udara paru-paru terkecil.
Ada juga hasil temuan terbaru dari para ahli kesehatan di Jepang yang menemukan bahwa kandungan formalin dan asetaldehida dalam uap yang dihasilkan beberapa cairan rokok elektronik lebih berbahaya dibandingkan rokok biasa.
Penelitian yang ditugaskan oleh Kementerian Kesehatan Jepang ini menemukan karsinogen dalam uap yang dihembuskan usai menghisap rokok yang disebut vape ini. Misalnya kandungan formaldehyde, sebuah zat yang biasa ditemukan dalam bahan bangunan dan pembalseman cairan, tingkat karsinogen lebih tinggi dibandingkan dalam asap rokok biasa. Lalu, asetaldehida juga ditemukan pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan rokok tembakau.
“Bahkan, dalam salah satu merek rokok elektronik ditemukan 10 kali tingkat karsinogen dibandingkan satu batang rokok biasa,” tutur seorang peneliti dari National Institute of Public Health, Jepang dr. Naoki Kunugita seperti dilansir laman Daily Mail
Itu baru dari hasil riset kesehatan, belum jika melihat faktor risiko berbahaya lainnya, seperti meledaknya alat vapor atau kandungan logam berbahaya yang ada di alat vapor.
Alat vapor dapat meledak. Ledakan dapat terjadi karena pemanasan berlebih dari baterai lithium ion yang digunakan untuk menggerakkan vape. Ledakan ini berbahaya dan dapat membunuh.
Kejadian meledaknya vape ini pernah terjadi menimpa vapers bernama Kenneth Barbero dari Albany. Kenneth menjadi korban ledakan vape dan mengalami luka parah. Dalam sebuah wawancara, Kenneth menjelaskan bahwa ledakan itu merobek lidahnya, tangannya yang mengalami luka bakar dan beberapa giginya hilang.
Ledakan seperti itu tidak akan pernah terjadi dan tidak akan pernah menghantui kretekus. Sebab mengonsumsi kretek tidak memerlukan daya listrik apapun. Mengonsumsi kretek sama dengan mengonsumsi tembakau secara alami, dan jangan lupakan komponen cengkeh dan rempah lainnya yang juga terkandung di dalam kretek.
Maka jika melihat fenomena bahayanya mengonsumsi produk alternatif tembakau macam vape dari kacamata riset kesehatan dan pengalaman korban, sungguh miris rasanya jika kampanye ‘lebih sehat’ masih dihembus-hembuskan kepada masyarakat.
Walaupun terdapat riset kesehatan yang menunjang kampanye ‘lebih sehat’ tersebut, tentu riset tersebut belum kredibel, sebab sebuah produk bisa dikatakan berbahaya atau berisiko tidak hanya dilihat dari riset pendek saja. Dampak kesehatan akan terlihat bukan dalam kurun waktu 1-2 tahun. Dalam kurun waktu puluhan tahun barulah dampak kesehatan bisa terlihat.
Kretek sebagai produk konsumsi yang telah ada sejak berabad-abad lamanya, memiliki pembuktian bahwa produk ini terus bertahan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. Artinya dari sisi kesehatan, masyarakat sudah mengetahui apa risiko dalam mengonsumsinya dan memberikan dampak apa saja kepada tubuh manusia.
Sementara vape yang kelahirannya baru seumur jagung, belum pantas untuk meneriakkan slogan “produk alternatif tembakau lebih sehat ketimbang kretek atau rokok konvensional”. Karena slogan mereka masih mitos dan belum bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.