Salah satu sektor industri yang memberikan sumbangsih besar terhadap penerimaan negara adalah Industri Hasil Tembakau (IHT). Sejak era kolonial, Industri Hasil Tembakau memang sudah menjadi primadona, utamanya dalam mendongkrak perekonomian.
Peraturan cukai rokok mulai tertera secara tertulis pada masa kolonial. Cukai tembakau di masa kolonial diatur melalui Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, kemudian Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan terakhir Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang Tabaksaccijns Ordonnantie (Ordonansi Cukai Tembakau).
Bukan tanpa sebab rokok dikenakan cukai, pada masa itu hasil tembakau sudah terlihat menguntungkan. Rakyat menyukai rokok sebagai produk konsumsi. Selain itu, rokok juga menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat. Apalagi di Indonesia terdapat produk hasil tembakau yang khas, yaitu kretek.
Akar sejarah kretek bersumber dari seorang bernama H. Djamhari di Kudus. Berkat penemuan kreatifnya yang mencampur tembakau dan rajangan cengkeh. Hasil racikan tersebut, kemudian ia manfaatkan untuk menyembuhkan penyakit sesak dadanya.
Atas penemuan H. Djamhari, kretek menjadi terkenal di masyarakat. Puncaknya adalah ketika seorang bernama Nitisemito (disebut sebagai raja kretek) mulai mengindustrialisasikan kretek. Nitisemito mendirikan pabrik kretek pertama dengan merek Bal Tiga.
Seiring waktu, muncul perusahaan rokok kretek, dari kelas teri hingga kakap. Penelitian Van der Reijden pada 1935 melaporkan, di Kudus saja pada 1932 sudah ada 165 pabrik. Maka, kretek Jawa menjadi saingan rokok putih impor.
Van der Rijden sendiri menyatakan bahwa pada 1931 produksi rokok putih mencapai 7.100.000.000 batang per tahun. Sedang produksi rokok kretek 6.422.500.000 batang. Maka, pada saat industri kretek tumbuh, ia menjelma menjadi pesaing rokok putih impor.
Lantas, pemerintah kolonial ambil sikap dan membedakan cukai produk rokok putih dan asli ini, dengan mengeluarkan Staadsblad Nomor 427 Tahun 1935, yang mengatur soal harga eceran minimum rokok putih, untuk tak menekan industri rakyat kecil. Dengan ini kretek dianggap sebagai komoditas unggulan dan penyerap tenaga kerja, serta menyumbang cukai untuk kas negara.
Seiring perkembangan zaman, cukai rokok atau sektor IHT menjadi tulang punggung bagi perekonomian negara. Ini dibuktikan dengan penerimaan negara dari cukai rokok sejak 10 tahun terakhir semakin meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren positif ini sejak 2007 dengan total penerimaan dari cukai sebesar Rp44,68 triliun dan terus bertambah hingga Rp150 triliun di tahun 2017.
Cukai rokok menyumbang hingga mencapai rata-rata proporsi setiap tahunnya terhadap cukai negara mencapai 95 persen. Cukai rokok juga secara rata-rata proporsi menyumbang sekitar 9-11 persen terhadap total keseluruhan penerimaan negara.
Jika sektor migas seringkali digadang-gadang sebagai sektor yang memberikan keuntungan bagi Indonesia, justru kekayaan negara ini ada di sektor perkebunan dan industri pengolahan, salah satunya Industri Hasil Tembakau.
Bayangkan jika IHT menyumbang 9-11 persen terhadap penerimaan negara, sektor minyak dan gas bumi (migas) hanya mampu menyumbang 6 hingga 7 persen bagi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) secara keseluruhan.
Pemerintah mengetahui hal ini, bahwa sektor IHT merupakan primadona bagi pendapatan negara. Tapi masalahnya, kenapa kemudian pemerintah seperti enggan untuk memberikan proteksi dan ruang pengembangan bagi sektor ini. Justru hal yang dilakukan pemerintah malah membuat kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif bagi sektor IHT.