OPINI

Ironi Penanganan Rokok Ilegal di Indonesia

Pada bulan Juni 2018, di Jenewa, Swiss, terjadi kesepakatan bersama dari beberapa negara, untuk memerangi perdagangan rokok gelap (ilegal). Kesepakatan tersebut populer dengan sebutan protokol, yaitu perjanjian international untuk menghilangkan perdagangan rokok gelap dan produk tembakau ilegal lainmnya.

Dalam kesepakatan protokol terdapat tiga poin langkah untuk memerangi perdagangan rokok gelap, yaitu; mencegah perdagangan rokok gelap, mempromosikan penegakan hukum, dan menyediaakan dasar hukum untuk kerjasama internasional.

Pada bulan Agustus 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta ke Dirjen Bea dan Cukai agar peredaran rokok ilegal ditekan hingga di bawah 4 persen.  Permintaan Menteri Keuangan ini, diungkapkan saat acara memusnahkan 16,8 juta batang rokok ilegal di Pelabuhan Tanjuk Perak, Surabaya.

Permintaan Menteri Keuangan tersebut ditindaklanjuti dengan penindakan rokok ilegal dibeberapa tempat, seperti di Tangerang Selatan, Kudus dan daerah lain.  Pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, Dua tahun terakhir, sejak 2016 hingga 2018, bea cukai sudah berhasil memusnahkan 2,2 juta batang rokok ilegal.  Dinyatakan rokok ilegal, karena kedapatan menggunakan pita cukai palsu. Selama dua tahun tersebut, pengakuan Heru Pambudi pada tempo.com, telah berhasil menambah kas negara sebesar Rp 4 miliar.

Fakta di lapangan, rokok ilegal yang beredar ada dua macam, yaitu tanpa pita cukai, atau memakai pita cukai palsu. Masifnya peredaran rokok ilegal, karena adnya kebijkan pemerintah, terutama pajak cukai selalu naik. Kenaikan cukai, memicu banyak indstri kecil tidak sanggup membeli pita cukai.

Tabel:

Kenaikan Cukai dari tahun 2013-2018

No Tahun Kenaikan (%)
1 2013 8,5
2 2014 tidak naik
3 2015 10
4 2016 11,19
5 2017 10,54
6 2018 10

  Data: diolah KNPK 2018

Terhitung mulai tahun 2013 sampai 2018 rata-rata kenaikan cukai per-tahun 6,7%.  Kenaikan inilah, paling utama mempengaruhi masifnya peredaran rokok ilegal. Disatu sisi, pemerintah melalui kenaikan cukai bertujuan untuk mengendalikan pertembakauan. Disisi lain, pemerintah menggenjot penerimaan negara melalui cukai.

Dari dua tujuan pemerintah tersebut, sudah tidak sinkron. Fakta di lapangan, kenaikan cukai justru merugikan pemerintah. Pertama; aktifitas merokok kretek di Indonesia menjadi budaya yang mengakar di tengah- tengah masyarakat. Bahkan satu satunya warisan budaya, yang telah berhasil ikut andil dalam pengentasan kemiskinan dan ikut menopang defisit BPJS.

Adanya Industri hasil tembakau (IHT), keterserapan tenaga kerja cukup banyak, dari hulu sampai hilir. Ada petani tembakau, petani cengkeh, buruh tani tembakau dan cengkeh, karyawan pabrik dan multiplayer effect juga sangat besar, seperti pedagang, percetakan, jasa transportasi dan lain –lain. Hampir semua lini usaha di sentra pertanian dan IHT, sangat di pengaruhi adanya perdagangan rokok kretek di Indonesia.

Sehingga tujuan pemerintah untuk pengendalian pertembakauan di Indonesia sangat ironi. Kalaupun terwujud, pemerintah belum tentu  siap menanggung konsekwensinya. Belum lagi, dewasa ini, alakosi pungutan pajak melalui cukai rokok, masih dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan, seperti untuk kesehatan, pembangunan infrastruktur dan sebagainya.

Kedua; semakin cukai dinaikkan, maka peredaran rokok ilegal semakin banyak, dan akan merugikan pemerintah. Alasanya, cukai semakin naik, harga rokok menyesuaikan (semakin naik).  Sedangkan pendapatan ekonomi masyarakat secara umum tidak ikut naik. Untuk mensiasati hal tersebut, masyarakat perokok, akan mencari rokok dengan harga yang murah. Satu-satunya rokok dengan harga murah, adalah rokok tanpa pita cukai atau rokok dengan pita cukai palsu, bahkan tidak sedikit nantinya masyarakat perokok membuat rokok sendiri dengan cara “tingwe’ (nglinting dewe/melinting sendiri).