logo boleh merokok putih 2

Memaknai Lebih Adil Kawasan Tanpa Rokok

Aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) masih menjadi polemik di tengah masyarakat. Pada level kebijakan, aturan KTR yang pada mulanya memiliki spirit pembagian hak ruang antara perokok dan bukan perokok justru malah menjadi alat mendiskriminasi perokok. Bahkan lebih luas lagi mendeskriditkan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Secara eksplisit aturan Kawasan Tanpa Rokok yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan nomor 36 tahun 2009 hanyalah menyebutkan wilayah-wilayah ditetapkannya KTR. Barulah pada Peraturan Pemerintah (PP) 109 tahun 2012 aturan mengenai KTR diperluas lagi misal, larangan kegiatan menjual, mengiklankan, dan mempromosikan Produk Tembakau.

Meskipun secara aturan sudah memiliki payung hukum yang jelas, point permasalahannya ada di penjelasan mengenai makna KTR itu sendiri. Sebab banyak penafsiran yang berbeda-beda mengenai KTR.

Dalam PP 109 tahun 2012, Kawasan Tanpa Rokok dijabarkan sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan Produk Tembakau.

Dari penjelasan tersebut jika dilihat hanya dari pengertian umumnya, maka memang terlihat KTR merupakan wilayah yang melarang aktivitas IHT di dalamnya. Namun jika kita melihat lagi penjabaran aturan KTR pada pasal-pasal selanjutnya, justu salah kaprah jika tafsir KTR saklek ditafsirkan sebagai penetapan wilayah yang melarang adanya aktivitas IHT.

Pada pasal 50 PP 109 tahun 2012 dijelaskan bahwa “Larangan kegiatan produksi, menjual, mengiklankan, dan mempromosikan Produk Tembakau tidak berlaku bagi tempat yang digunakan untuk kegiatan penjualan Produk Tembakau di lingkungan Kawasan Tanpa Rokok”.

Lalu pada UU nomor 36 tahun 2009 pada pasal 115 dan PP 109 tahun 2012 pada pasal 51 juga dijelaskan bahwa “Kawasan Tanpa Rokok khusus untuk point tempat umum dan tempat umum lainnya diharuskan menyediakan tempat khusus untuk merokok”.

Artinya aturan KTR tidak mutlak melarang adanya aktivitas IHT di dalamnya. Misal, pada kasus larangan display rokok di minimarket pada Kota Bogor dan Kota Depok tidak dibenarkan sama sekali, karena memang minimarket adalah tempat usaha yang di dalamnya terdapat aktivitas penjualan, iklan, dan promosi.

Soal pembatasan ruang aktivitas merokok juga di dalam regulasi yang memayungi KTR sangat menekankan adanya penyediaan ruang merokok di tempat umum dan tempat umum lainnya. Dengan ini kita bisa mengatakan bahwa aturan KTR juga mengakomodir hak perokok untuk mendapatkan akses ruang mengonsumsinya.

Pembagian hak atas ruang ini yang tidak menjadi pemahaman bersama bagi masyarakat. Sebab publik melulu dicekoki dengan informasi melarang total aktivitas merokok di area KTR.

Perokok sangat mendukung aturan KTR yang mengatur larangan merokok di fasilitas kesehatan, rumah ibadah, fasilitas pendidikan anak, angkutan umum, dan tempat bermain anak. Itu diperlukan agar persoalan menghormati hak bukan perokok dan edukasi anak di bawah umur dapat ditegakkan.

Tapi lagi-lagi perlu ditekankan agar menjadi peringatan bagi pembuat kebijakan dan pengetahuan bagi publik, bahwa perokok juga mempunyai hak atas akses merokok di dalam KTR. Karena sejatinya KTR merupakan peraturan win-win solusion agar perokok dan bukan perokok sama-sama mendapatkan haknya.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Azami

Azami

Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek