Pulau Madura di Jawa Timur, sudah sejak lama menjadi salah satu wilayah sentra perkebunan tembakau di negeri ini. Selain ketersediaan lahan dan kondisi tanah yang sangat cocok ditanami beberapa jenis tanaman tembakau, Pulau Madura juga dikenal sebagai asal para petani tembakau ahli.
Keahlian orang-orang dari Pulau Madura menanam tembakau sempat dimanfaatkan oleh kolonial Belanda ketika mereka mengembangkan perkebunan-perkebunan tembakau di beberapa tempat di negeri ini. Orang-orang Madura dikirim ke Deli Serdang dan wilayah Tapal Kuda (Jember, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo dan Banyuwangi) untuk dipekerjakan di kebun-kebun tembakau yang baru dibuka Belanda.
Dalam konteks kiwari, industri hasil tembakau saat ini membutuhkan sekitar 85 persen produk tembakau lokal sebagai bahan baku. Ini tak lepas dari produksi utama industri hasil tembakau yang merupakan produk rokok kretek yang hanya ada dan diproduksi di negeri ini.
Dari sekian banyak sentra perkebunan tembakau yang memasok kebutuhan tembakau lokal sebagai bahan baku industri, Pulau Madura menyumbang sebanyak 30 hingga 33 persen dari total luas area perkebunan tembakau di Indonesia, sekitar 60.000 hingga 70.000 hektare dalam lima tahun belakangan.
Dahulu, saat belum ada kontrol ketat dan belum ada permintaan khusus terkait spesifikasi kualitas daun tembakau yang dihasilkan petani, di Pulau Madura, ada begitu banyak jenis tembakau lokal yang ditanam. Tiap wilayah memiliki jenis tembakau lokalnya masing-masing. Setelah ada kontrol langsung dari Departemen Pertanian yang diwakili oleh Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITTAS) dan terutama ada spesifikasi tertentu yang diminta pihak pabrikan rokok terhadap kualitas tembakau yang dihasilkan, pengembangan tembakau lokal jenis unggulan mulai dilakukan.
Tiga jenis tembakau varietas lokal yang banyak dikembangkan dan ditanam di Pulau Madura kini karena memenuhi standar kualitas yang diminta adalah tembakau jenis Prancak-95, Cangkring-95, dan Prancak N-1.
Prancak-95 dan Cangkring-95 adalah dua varietas yang mula-mula dikembangkan oleh BALITTAS dari berbagai varietas lokal yang ada. Dua tembakau ini resmi dikeluarkan berdasar keputusan dari SK Mentan No.731/Kpts/TP.240/7/97 dan SK Mentan No.732/Kpts/TP.240/7/97. Sedangkan untuk varietas Prancak N-1, merupakan kembangan dari Prancak-95 yang disilangkan dengan tembakau oriental agar menghasilkan aroma yang kian khas dan bisa memenuhi kebutuhan produksi rokok kretek berkadar nikotin rendah. Prancak N-1 resmi dikeluarkan lewat keputusan SK Mentan No.320/Kpts/SR.120/5/2004.
Prancak-95 memiliki tampilan tanaman berbentuk kerucut. Daunnya berbentuk bulat telur. Tepi daun berbentuk rata. Dalam satu pohon menghasilkan 12 hingga 18 helai daun. Varietas tembakau ini mulai berbunga antara 54 dan 74 hari masa tanam. Usia panen mulai dari 84 hingga 104 hari selepas masa tanam. Dalam satu hektare lahan yang ditanami tembakau jenis ini, mampu menghasilkan tembakau rajangan sebanyak 813 kilogram. Indeks mutu mencapai 83,47 dengan ketahanan terhadap penyakit sangat tinggi.
Cangkring-95 seperti Prancak-95 dalam tampilan keseluruhan tanaman, Ia berbentuk kerucut. Daun tengah berbentuk lonjong dengan tepian-tepian rata. Jumlah daun dalam satu tanaman berkisar antara 12 dan 17 helai daun. Usia berbunga varietas ini terjadi antara 51 dan 68 hari selepas masa tanam. Usia panen dimulai saat usia tanaman 81 hari dan berakhir pada usia tanaman 94 hari. dalam satu hektare lahan yang ditanami tembakau varietas ini, mampu menghasilkan tembakau rajangan sebanyak 667 kilogram. Indeks mutu pada angka 81,84 dan sangat tahan terhadap penyakit.
Yang terakhir, adalah tembakau varietas Prancak N-1. Tampilan tanaman persis seperti pendahulunya, berbentuk kerucut. Daunnya pun juga serupa dengan pendahulunya Prancak-95 namun dengan tepian yang lebih bergelombang. Dalam satu tanaman, jumlah daun mencapai 13 hingga 15 helai. Usia berbunga terjadi pada 56 hingga 58 hari pasca tanam. Usia panen terjadi pada 84 hingga 90 hari usai penanaman. Tembakau varietas Prancak N-1 mampu menghasilkan 892 kilogram tembakau rajangan per hektare. Tembakau jenis ini cukup tahan terhadap penyakit.
Tentu saja seiring berjalannya waktu dan perkembangan selera rokok kretek dari para kretekus di negeri ini akan juga memicu pembaharuan-pembaharuan pada jenis-jenis tembakau lokal. Selain itu, kualitas daun yang dihasilkan, ketahanan terhadap penyakit, dan terutama kuantitas produksi tembakau per hektare juga dijadikan acuan dalam mengembangkan varietas-varietas baru tembakau yang plasma nuftahnya diambil dari varietas lokal yang sudah ada. Jadi kita tunggu saja perkembangan dinamis dari pertanian tembakau di negeri ini. Dan tentu saja kita semua harus terus selalu optimis.