OPINI

Menghisap Kretek, Langkah Kecil Menjaga Kedaulatan Bangsa

Memilih menghisap rokok kretek itu bukan hanya perkara tentang lidah sebagai indra perasa dapat menikmati rokok kretek. Menghisap rokok kretek bukan hanya perkara kecocokannya dengan segelas kopi hitam yang disandingkan dengan kudapan. Menghisap rokok kretek itu bukan hanya perkara ketika dibakar maka berbunyi kretek-kretek.

Tapi lebih jauh dari itu, menghisap rokok kretek mengandung rasa nasionalisme, rasa cinta tanah air, yang terekspresikan dalam bentuk menggunakan produk buatan dalam negeri, yang dilinting oleh anak negeri, yang mana negara juga menikmati keuntungan dari setiap batang yang dihisap untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Dan mereka yang tidak merokok pun dapat menikmati apa yang diberikan oleh sebatang kretek, melalui pembangunan, fasilitas atau subsidi yang diberikan oleh negara. Karena kretek dan sebagaimana juga ajaran nasionalisme yang tidak mendiskriminasikan orang atau kelompok tertentu.

Hal yang sama juga terjadi pada KH. Agus Salim. Suatu ketika, dalam sebuah perjamuan di istana Buckingham saat penobatan Elizabeth II sebagai ratu Inggris, KH. Agus Salim mengebal-ngebulkan kreteknya. Aroma khas kretek menyebar di ruang perjamuan. “Tuan sedang menghisap apa itu?” tanya seseorang kepada Agus Salim. Agus Salim menjawab: “inilah yang membuat nenek moyang Anda sekian abad lalu datang dan kemudian menjajah negeri kami.”

Agus Salim tidak salah karena kretek memang berunsur cengkeh (Syzgium Aromaticum), tanaman rempah legendaris yang menjadi awal kolonialisme Eropa atas Asia.

Sebelum ada kretek, orang-orang di Nusantara mengenal tradisi nginang; mengunyah sirih yang dicampur dengan cengkeh, tembakau, gambir, dan sebagainya. Namun, kebiasaan orang menginang untuk meludah serta tampilan gigi dan lidah yang berwarna darah dipandang tidak bersih oleh pemerintah kolonial.

Dengan motif ekonomi, pemerintah kolonial menggeser kebiasaan menginang dengan mengisap tembakau yang dibungkus kertas putih. Sepanjang periode politik etis atau politik balas budi Belanda kepada Negara jajahan, tembakau menyelusup kuat-kuat dalam budaya negeri, sedangkan pamor sirih kian merosot.

Meskipun kolonial Belanda berakhir oleh pendudkan Jepang pada 1942-1945, namun dampak tembakau terlanjur mengakar. Bagi generasi muda masa itu, dorongan modernisasi mempengaruhi cara mereka mengadaptasi dan mempertahankan praktik budaya yang berkaitan dengan sirih dan tembakau.

Dari sinilah ilham lahirnya kretek, yang bisa dikatakan sebagai “benda budaya hibrid” khas Nusantara. Hibriditasnya tercermin dari pencampuran simbol budaya dan bahan-bahan dari tanaman asli dengan komoditas yang diperkenalkan kaum kolonial.

Pada awal pengenalannya, kretek disebut “rokok cengkeh”. Nama “kretek” yang berasal dari bunyi rokok ketika dibakar, menghapus rujukan liguistik Belanda. Pendefinisian kretek di luar leksikon Belanda adalah aksi penentangan dan perlawanan aktif terhadap kolonial. (Tulisan Mellisa C. Mitchell dari George Mason University).

Sejarah mencatat, adalah Haji Djamhari dari Kudus yang dipercaya, dalam cerita lokal, sebagai manusia kreatif penemu rokok kretek. Awalnya, Haji Djamhari merasa sakit di bagian dada (sesak nafas), ia lalu mengoleskan minyak cengkeh ke dadanya. Sakitnya pun hilang.

Djamhari lantas merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Kala itu, merokok sudah menjadi tradisi laki-laki. Setelah itu, Djamhari rutin menghisap rokok ciptaannya dan berangsur-angsur penyakit sesak nafasnya sembuh. Berita ini pun menyebar luas, permintaan “rokok obat” meningkat.

Djamhari melayani banyak permintaan rokok cengkeh yang kemudian dikenal dengan “rokok kretek” karena saat dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek.. keretek.. keretek.” Mulanya, Kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering, dijual per ikat. Tiap ikat berisi 10 linting rokok, tanpa selubung kemasan.

Paska Djamhari, rokok kretek tumbuh menjadi industri di tangan Nitisemito, melalui usaha dagang bernama “Tjap Bal Tiga”. Nitisemito, yang buta huruf, merupakan perintis dan menjadi tonggak sejarah tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia. Namanya disebut Bung Karno saat pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila.

Pun, rokok kretek menjadi langgam budaya yang di dalamnya roda ekonomi riil bergerak. Perkebunan cengkeh dan tembakau sebagai bahan dasar rokok kretek menghasilkan tenaga kerja melimpah. Kretek mendorong industri rumah tangga menjadi rokok yang paling digemari dibandingkan “rokok putih”.

Hal yang sama dengan pabrik-pabrik rokok yang tersebar di banyak tempat di Indonesia yang menyediakan lapangan kerja melimpah. Industri rokok dari hulu sampai hilir adalah surga tenaga kerja dan penggerak ekonomi riil Indonesia.

Pada 2015, rokok merupakan penyumbang cukai terbesar dengan kontribusi 96%. Cukai rokok menyumbang 139, 5 Triliun dari total 144,6 Triliun. Namun, belakangan, kontribusi signifikan rokok kretek dalam kebudayaan dan ekonomi Indonesia itu mendapat hantaman yang dahsyat. Industri rokok Indonesia dihantam oleh dua gajah sekaligus, yaitu oleh industri farmasi global dan industri rokok asing.

Industri farmasi melakukan kampanye yang massif bahwa rokok adalah biang dari segala penyakit dan perokok diposisikan sebagai “manusia kriminal” yang harus diisolasi. Diserukanlah Bloomberg Initiative untuk kampanye anti tembakau. Sementara itu, dari sisi lain, industri rokok nasional menjadi sasaran empuk perusahaan-perusahaan rokok raksasa asing. Nyaris, perusahaan-perusahaan rokok besar nasional sudah diakuisisi oleh Asing.

Industri rokok kretek sebagai produk kebudayaan Indonesia dipaksa menjadi korban dua raksasa ; industri farmasi global dan industri rokok asing. Dua-duanya mengincar dan menghabisi secara khusyu” sumber daya rokok kretek Indonesia, yang telah menghidupi hajat hidup orang banyak selama 150 tahun lebih.

Setiap batang rokok kretek yang dihisap akan mampu membuat para petani cengkeh dapat hidup lebih baik, karena tanpa kretek, maka daya serap hasil tanaman cengkeh tak akan sebesar seperti saat ini. Rokok kretek akan menghidupi kembali para buruh linting, pedagang asongan, dan seterusnya, dan seterusnya.

Pada masa sekarang ini, penjajahan telah mengalami satu transformasi bentuk yang jauh berbeda dengan apa yang dulu kita ketahui. Tak ada pendudukan dan kolonisasi bangsa lain secara fisik di negeri ini. Namun bukan berarti penjajahan tidak nyata, karena penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh bangsa asing masih dapat dengan mudah kita lihat dan menjadi satu hal yang legal di dunia ini.

Jeratan hutang luar negeri yang tak akan pernah selesai, intervensi dalam pembuatan regulasi nasional, memberikan uang segar yang besar jumlahnya kepada para individu atau kelompok masyarakat di Indonesia untuk membela kepentingan mereka, mereduksi kesadaran dan perlawanan massa atas penjajahan gaya baru, dan lain sebagainya.

Menghisap produk lokal adalah bentuk sederhana dari perang melawan penjajahan yang ada saat ini. Karena pada hakekatnya, penjajahan gaya baru yang sekarang ini ada adalah untuk kepentingan penguasaan sumber ekonomi dan pasar. Dan 270 juta orang adalah sebuah pasar yang menggiurkan bagi berjalannya roda ekonomi para bangsa penjajah tersebut.

Dengan menghisap kretek, kita telah mencintai produk lokal yang nilai lebihnya juga akan kembali ke negara kita, bukan ke negara lain. Dengan menghisap kretek pula, kita telah melakukan penghormatan atas sebuah kebudayaan dan produk kebudayaan yang diciptakan oleh nenek moyang kita.

Cukup dengan hal yang sederhana saja dahulu kita berjuang untuk negeri kita, setelah kita mampu melakukan itu, baru kemudian kita tingkatkan nilai perjuangan kita dalam bentuk yang baru sesuai dengan kemampuan kita. Namun menyadari bahwa mencintai dan menggunakan produk dalam negeri adalah bentuk sederhana dalam keseharian yang bisa dikatakan sebagai sebuah nasionalisme