logo boleh merokok putih 2

Mungkinkah Konversi Tanaman Tembakau dengan Tanaman Lain?

Pada 2017, Direktorat Perkebunan Republik Indonesia menyebutkan bahwa perkebunan tembakau yang ada di Indonesia memiliki hamparan seluas 209.095 hektare. Hamparan tersebut tersebar di sentra-sentra tembakau di Pulau Sumatera, Jawa dan Madura, Bali dan Lombok, dan Sulawesi.

Dari 209.095 hektare perkebunan tembakau memproduksi tembakau sebanyak 198.296 ton. Angka-angka tersebut terus bertambah setiap tahunnya mulai dari 1967–sejak kali pertama direktorat perkebunan mendata–hingga 2017. Diperkirakan luasan lahan serta jumlah produksi tembakau tahun ini kembali meningkat.

Masih berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Perkebunan Republik Indonesia, luasan lahan dan produksi tembakau tahun 2017 tersebut dikelola oleh 589.506 Kepala Keluarga. Jika satu KK terdiri dari tiga orang, maka jumlah penerima manfaat langsung dari perkebunan pertanian lebih dari 1,5 juta jiwa. Sebuah angka yang sama sekali tidak sedikit dan tak bisa diabaikan.

Dari cukai saja, sumbangsih langsung perkebunan tembakau dan industri hasil tembakau mencapai lebih dari Rp160 trilyun. Dana tersebut dikelola langsung oleh kementerian keuangan yang salah satu peruntukannya disalurkan lewat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Setidaknya sejak 2010, pemerintah lewat kementerian pertanian mencetuskan ide konversi tanaman tembakau dengan pertimbangan utama produk tembakau terutama rokok dapat mengganggu kesehatan dan berefek buruk bagi manusia. Dengan alasan tersebut, berbagai tanaman pengganti diusulkan sebagai pengganti tanaman tembakau. Di antaranya pohon wijen, dan beberapa jenis tanaman palawija.

Lalu yang menjadi pertanyaan utamanya adalah, apakah tanaman-tanaman yang diusulkan tersebut betul-betul mampu menggantikan tanaman tembakau?

Setidaknya ada empat faktor penting yang mesti dipertimbangkan dengan baik terkait usulan konversi tanaman tembakau dengan tanaman lainnya. Yang pertama adalah faktor ekonomi. Selanjutnya faktor kondisi tanah dan masa penanaman tembakau. Yang ketiga adalah faktor pasar untuk distribusi. Dan yang terakhir, yang paling berpengaruh adalah faktor sosial budaya pertanian tembakau.

Pada 2017, kementerian pertanian mengakui bahwa sejauh ini belum ada tanaman yang mampu menggantikan keuntungan ekonomis tanaman tembakau dengan waktu tanam dan luasan lahan yang sama dengan tanaman tembakau. Meskipun terkesan untung-untungan dalam menanam tembakau, namun keuntungan yang didapat dari tanaman tembakau memang begitu menjanjikan. Ini tentu saja membikin para petani yang biasa menanam tembakau enggan mengganti tanaman mereka.

Dalam pertanian tembakau, kondisi tanah tempat tembakau ditanam memiliki kekhasan masing-masing yang pada akhirnya terkait erat dengan kondisi tanaman dan kualitas tembakau yang ada. Jika kondisi tanah semacam ini, dengan karakteristik yang khas, apakah bisa tanaman lain ditanam di sana dan mampu menghasilkan tanaman yang sehat dan produktif laiknya tembakau? Sejauh ini jawabannya tidak ada.

Tembakau pada umumnya ditanam di akhir musim hujan, kemudian tumbuh berkembang pada musim kemarau yang terik, dan dipanen ketika musim kemarau belum akan berakhir. Ini yang menjadi kekhasan lainnya. Sulit mencari tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dan bisa ditanam dalam waktu yang relatif singkat pada musim kemarau

Terbiasa menanam tembakau membikin petani tembakau sudah membangun jaringan pasar untuk menjual tembakau yang mereka produksi. Serapan tembakau yang tinggi membikin petani bergairah dalam bertani tembakau. Jika tembakau diganti tanaman lain apakah ada pasar yang bisa langsung menyerap tanaman pengganti itu. Yang semakin memberatkan, membuka pasar baru untuk komoditas baru cukup berat. Sudah barang tentu para petani tembakau akan kesulitan jika mereka menanam komoditas baru sebagai pengganti tembakau. Dan lagi-lagi, keuntungan yang bisa diraih belum tentu bisa paling tidak menyamai hasil yang didapat dari tembakau. Apalagi sampai melampaui. Sepertinya sangat berat.

Pertanian tembakau, di sentra-sentra tembakau nasional, banyak yang sudah berlangsung sejak jauh-jauh hari, sejak bangsa ini belum meraih kemerdekaannya. Mereka yang menanam tembakau kini, sejak leluhur mereka sudah menanam komoditas itu. Keahliannya diturunkan dari generasi ke generasi, sudah mengurat-mengakar dalam kehidupan sosial keseharian dan melebur dalam kebudayaan masyarakat di sekitar pertanian tembakau. Mengganti tanaman tembakau dengan tanaman lain, ini juga berarti mengubah kehidupan sosial dan mencoba mencerabut kebudayaan masyarakat setempat yang menanam komoditas tembakau. Bukan hal mudah dan memang sama sekali tidak mudah melakukannya. Bukan tidak mungkin perlawanan demi perlawanan akan terus dilakukan.

Yang semakin aneh, skema penggantian tanaman tembakau dengan tanaman lainnya salah satu metode pembiayaannya menggunakan sumber dana dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Yang artinya, menggunakan uang dari keuntungan produksi industri tembakau untuk mengganti tanaman tembakau dengan tanaman lain. Sebuah skema yang unik sekaligus lucu. Menggelikan.

Saya kira, selama empat faktor tersebut belum bisa diantisipasi dengan baik, tembakau masih akan terus ditanam dan tumbuh di bumi nusantara. Dan memang kami meyakini, bagaimana pun usaha yang dilakukan untuk pelan-pelan menyingkirkan tanaman tembakau, tanaman tembakau terus akan tumbuh, hidup dan menghidupi banyak manusia di Indonesia.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)