OPINI

Nasib Industri Hasil Tembakau: Hidup Diganggu, Mati Tak Mau

Sepanjang tahun 2018 kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT) tidak bagus-bagus amat. Kenaikan cukai sebesar 10,04 persen di tahun 2018 menjadi beban bagi pabrikan. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan baik pada level nasional maupun daerah yang turut membebani kondisi IHT, seperti salah satunya Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR).

IHT merupakan salah satu industri yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian negara. Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2017 saja penerimaan cukai dari sektor industri hasil tembakau mencapai Rp 147,7 triliun, meningkat 7,1% dibanding tahun 2016 sebesar Rp 137,9 triliun. Selanjutnya, pada tahun 2016, nilai ekspor rokok menembus US$ 784 juta, meningkat menjaadi US$ 866 juta di 2017.

Menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Haryanto, secara fiskal kontribusi IHT mencapai 61,4 persen. Lalu secara persentase penerimaan negara, kontribusi IHT mencapai 9 sampai 11 persen dari total penerimaan negara.

Artinya, sektor IHT masih menjadi tulang punggung bagi perekonomian negara. Namun meskipun berkontribusi besar, bukan berarti IHT mendapatkan kelonggaran agar dapat berkembang. Sebaliknya secara kebijakan, IHT justru tidak diberikan ruang agar tumbuh berkembang.

Hal ini diibaratkan frasa “benci tapi rindu”. Bahkan menurut ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, kebijakan mengenai IHT memang sengaja didesain agar dibuat penurunan.

Kesehatan selalu menjadi dalih bagi pembatasan IHT. Kita masih bisa berdebat mengenai dalih kesehatan ini, Tapi dalih tersebut seakan menafikan kebermanfaatan IHT bagi negara dan masyarakat.

Perda KTR Membunuh Industri Hasil Tembakau

Aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan nomor 36 tahun 2009 hanyalah menyebutkan wilayah-wilayah ditetapkannya KTR. Barulah pada Peraturan Pemerintah (PP) 109 tahun 2012 aturan mengenai KTR diperluas lagi dengan penjabaran : Kawasan Tanpa Rokok merupakan ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan Produk Tembakau.

Dari penjelasan PP tersebut, jika dilihat hanya dari pengertian umumnya, maka memang terlihat KTR menjadi aturan bagi pembatasan dan pelarangan aktivitas Industri Hasil Tembakau (IHT).

Namun jika kita melihat lagi penjabaran aturan KTR pada pasal-pasal selanjutnya, justu salah kaprah jika tafsir KTR dengan kaku ditafsirkan sebagai penetapan wilayah yang melarang adanya aktivitas IHT.

Pada pasal 50 PP 109 tahun 2012 dijelaskan bahwa “Larangan kegiatan produksi, menjual, mengiklankan, dan mempromosikan Produk Tembakau tidak berlaku bagi tempat yang digunakan untuk kegiatan penjualan Produk Tembakau di lingkungan Kawasan Tanpa Rokok”.

Melihat pasal ini, maka tidak boleh jika Perda KTR melarang-larang untuk menampilkan display produk hasil tembakau di rak-rak minimarket.

Lalu pada pasal  51 juga dijelaskan bahwa “Kawasan Tanpa Rokok khusus untuk point tempat umum dan tempat umum lainnya diharuskan menyediakan tempat khusus untuk merokok”.

Point penyediaan tempat khusus merokok, ini juga ditekankan pada hukum perundang-undangan di atasnya, yakni di pasal 115 Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009.

Artinya, dalam lingkup KTR, perokok masih memiliki hak untuk mendapatkan akses aktivitas merokoknya, tentunya dengan pembagian ruang, hanya di tempat khusus merokok.

Perda KTR juga sangat agresif dalam melarang-larang aktivitas merokok dengan juga disertai ancaman sanksi yang berlebihan, seperti dipenjara maupun dikenakan denda yang besar. Meski sangat agresif, tapi penerapan perda KTR sangat abai terhadap hak penyediaan tempat khusus merokok.

Perda KTR yang pada dasar spiritnya adalah menyoal pembagian ruang antara perokok dan bukan perokok, kini menjelma menjadi alat untuk mematikan Industri Hasil Tembakau di Indonesia.