OPINI

Praktik Penerapan Kawasan Tanpa Rokok Cederai Hak Konsumen dan Industri Hasil Tembakau

Dilansir pemberitaan Republika.co.id tanggal 02 Desember 2018, 185 rukun warga (RW) di Yogyakarta mendapatkan penghargaan sebagai wilayah bebas asap rokok (istilah lain dari KTR) diinisiasi oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Dari pengakuan Agus Sudrajat sebagai sekretaris Dinas Kesehatan Yogyakarta, bahwa program kawasan bebas asap rokok dimulai sejak tahun 2010. Menurutnya, program ini bukanlah melarang warganya merokok, namun suatu wilayah yang membatasi untuk merokok di sembarang tempat. Program ini ternyata terjadi di daerah lain, seperti Kabupaten Kebumen, mensosialisasikan kawasan bebas asap rokok, mengharapkan tiap-tiap desa membuat Peraturan Desa (perdes).

Realita lapangan, baik penerapan KTR maupun sosialisasi KTR tidak mengindahkan putusan mahkamah konstitusi (MK) dari gugatan atas Pasal 115 ayat 1 Undang-undang kesehatan. Di mana gugatan tersebut mengamanatkan di tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya menyediakan khusus untuk merokok. Karena merokok adalah aktivitas legal, diatur pemerintah.

Selama ini hak perokok (konsumen) dikesampingkan. Banyak tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya belum ada tempat khusus untuk merokok. Kalaupun ada tempat merokok rata-rata tidak manusiawi. Tempatnya sempit, berdesakan, malah terkadang jauh, minim penunjuk arah menuju tempat merokok, dan terkadang ditempatkan dalam ruangan yang telah diatur satu ruangan dengan cafe. Artinya, kalau mau merokok harus membeli sesuatu dari cafe tersebut. Pada intinya perokok dibuat tidak nyaman dalam merokok.

Contoh di Kabupaten Kudus, sebagai sentra industri rokok kretek, aktivitas merokok tidak diperbolehkan di kawasan rumah sakit, di perkantoran, di kawasan universitas dan di tempat lain. Pelarangan tersebut tanpa mempedulikan kewajibannya untuk menyediakan tempat khusus merokok yang layak, seperti amanat putusan MK di atas. Terlihat jelas hak konsumen di kebiri, sedangkan kewajiban tidak dilaksanakan.

Hal yang sangat aneh, peraturan atau undang-undang tidak lain untuk menjaga rasa keadilan, bukan ketimpangan. Kenyataannya lain, satgas KTR dibentuk hanya untuk menindak perokok, dan tidak pernah terlihat menindak atau menegur pengelola gedung agar membuat tempat khusus merokok. Dengan demikian program penerapan KTR atau kawasan bebas asap rokok tujuannya tidak lain untuk pengendalian konsumsi rokok.

Selain itu, penerapan KTR, sangat merugikan keberadaan industri hasil tembakau (IHT). Satu sisi retribusi dan pungutan pajak pemerintah di genjot dan diberlakukan secara tegas, akan tetapi keberadaan hasil tembakau tidak dilindungi.

Kudus salah satu sentra IHT berupa kretek sangat dirugikan adanya KTR. Secara pelan-pelan KTR membunuh keberadaan IHT kretek. Logikaya sederhana, di saat KTR di berlakukan sampai tiap desa, sebagai penguat alasan bagi anti rokok untuk mendesak pemerintah Indonesia mengaksesi Framework convention on Tobacco Control (FCTC), yang selama ini terganjal. Agenda utama FCTC adalah untuk pengendalian tembakau, dan mendorong penghentian konsumsi tembakau, dibawah bayang-bayang world health organization (WHO), rezim kesehatan internasional.

Ketika KTR diterapkan di Kudus, maka sama saja akan membunuh industri kretek pelan-pelan. Jika industri kretek sudah terbunuh, sama saja membunuh perekonomian masyarakat Kudus, baik berdampak secara langsung maupun tidak langsung. Dipastikan dampak langsung dirasakan karyawan industri kretek yang jumlahnya saat ini kurang lebih ratusan ribu, yang harus kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Selain itu, akan berdampak kurangnya pendapatan usaha lain, seperti percetakan, toko klontong, pedagang di pasar, bahkan usaha lain yang berkembang di Kudus.

Pengakuan Abdul Azis, salah satu pedagang pakaian di pasar tradisional kliwon, mengatakan kalau pabrik rokok sepi garapan, pasar ikut sepi pengunjung, sehingga penghasilan sangat berkurang. Sebaliknya, karyawan pabrik rokok banyak garapan, dipastikan pasar ramai pengunjung dan pendapatan meningkat.

Pada dasarnya, KTR sebagai program pengendalian peredaraan tembakau dengan dalih kesehatan. Hal ini berbeda dengan asal usul rokok kretek di Kudus. Racikan tembakau di campur cengkeh inilah menjadi rokok kretek, dan dahulu awal mulanya untuk obat. Rokok kretek ini asli produk Indonesia, sedangkan di luar negeri hanya olahan tembakau saja. Jadi istilah rokok kretek dengan rokok beda jauh. Seharusnya WHO dan rezim kesehatan harus memahami perbedaan rokok kretek dan rokok, sehingga tidak boleh disamakan perlakuannya. Jika rezim kesehatan menghubungkan rokok sebagai sumber penyakit, maka pastilah itu rokok dari tembakau saja, bukan rokok kretek (tembakau dan cengkeh).