logo boleh merokok putih 2

Aturan Pengendalian Tembakau Melemahkan Ketahanan Politik Bangsa

Tema ini mungkin agak menjemukan bahkan mungkin kurang  menarik bagi pembaca. Tetapi bagaimanapun tema ketahanan adalah salah satu bagaimana cara negara menjaga stabilitas dan eksistensi  kedaulatan bangsa. Permasalahan ketahanan politik dan pengendalian tembakau di Indonesia pastilah berhubungan dengan regulasi dan kebijakan pemerintah, satu hal yang sangat membosankan. Tetapi  sekiranya ada informasi mengenai ketahanan politik yang belum terbiasa didengar berkaitan dengan agenda pengendalian tembaku di Indonesia.

Selama ini, ketahanan hanya dimaknai dan dipahami sebagai wilayah bahasan aparatur negara. Artinya hanya aparat pemerintah yang berhak berbicara dan menentukan ketahanan negara. Sedangkan dimensi ketahanan sangat luas, tidak hanya mempertahankan wilayah berbasis teritori  dari segi keamanan saja, namun banyak dimensi yang harus di pertahankan demi menjaga martabat bangsa.

Yang dimaksud ketahanan politik  dalam tulisan ini diartikan sebagai kondisi dinamika kehidupan politik bangsa terkait keuletan, ketangguhan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan hidup politik bangsa dan negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam hal ini, pemerintahan berfungsi sebagai penentu kebijakan harus serasi, selaras dengan keinginan masyarakat dan realita kehidupan. Perbedaan pendapat pasti ada, tetapi pemerintah harus mampu mengakomodir semua aspirasi masyarakat.  

Kebijakan pemerintah tersebut belum ditemukan dalam mengatasi permasalahan pertembakauan di Indonesia. Selama ini, regulasi atau aturan tentang pertembakauan, ujungnya bertujuan untuk agenda pengendalian tembakau yang menjurus terhadap pengendalian rokok kretek.

Rokok kretek berbeda dengan rokok non kretek. Selama  komposisi rokok didalamnya campuran tembakau dan cengkeh itulah rokok kretek dan asli Indonesia. Kali pertama ditemukan, kretek bukan sekedar rokok untuk relaksasi dan rekreasi, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai obat. Ditemukan sudah ratusan tahun (lebih dari 130 tahun), dari hasil kreatifitas anak bangsa yang mampu memberikan penghidupan banyak orang.

Bertahun-tahun keberadaan rokok kretek memberikan kesejahteraan bagi masyarakat petani tembakau, petani cengkeh, ratusan ribu pekerja pabrik rokok yang didominasi kaum hawa, bahkan sampai menyumbang jutaan penduduk Indonesia melalui sumbangan dana jaminan kesehatan.

Celakanya, leading sector agenda pengendalian pertembakauan di Indonesia didominasi rezim kesehatan dan menjadi agen kepentingan asing.  Berbagai kebijakan anti rokok dan anti tembakau bertitik tolak dari paradigma kesehatan. Agenda utamanya mendorong pemerintah Indonesia mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sederhananya, FCTC merupakan kesepakatan internasional yang telah di tunggangi industri farmasi dunia.

Paradigma kesehatan untuk agenda pengendalian pertembakauan, telah menyusup dalam ranah kebijakan, baik melalui undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri sampai pada peraturan di tingkat daerah.  

Melalui UU kesehatan, tembakau dan turunannya diperlakukan dan diletakkan serupa dengan bahan terlarang dan dikategorikan sebagai zat adiktif (zat yang mengandung unsur ketergantungan jika dipakai), yang harus diatur dan dibatasi produksi, peredaran dan penggunaannya.

Regulasi turunannya berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau. PP ini ditandatangani oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono, pada tanggal 24 Desember 2012 atau bertepatan hari libur kerja.

Terbitnya PP No.109/2012, terang-terangan hendak membumihanguskan industri kretek. Hal tersebut terlihat besar muatannya justru tidak mengatur persoalan kesehatan, tetapi mengatur mengenai tataniaga, pembatasan dan pengekangan perdagangan, pelarangan promosi dan iklan, mengatur kandungan tar dan nikotin. PP ini jelas berpeluang membunuh industri kretek nasional secara perlahan.

Pelabelan tembakau sebagai zat adiktif, suatu bentuk tipu muslihat yang disuarakan rezim kesehatan dunia dan industri farmasi multinasional untuk mengambil alih pasar nikotin. Selanjutnya rezim kesehatan nasional dan pegiat anti rokok nasional ikut serta menyuarakan kepentingan rezim kesehatan dunia dan kepentingan industri farmasi multinasional, agar pemerintah secepatnya mengaksesi FCTC.

Inilah menjadi agenda mereka kedepan, dibungkus dengan isu-isu yang berkembang selama ini. Seperti rokok berdampak pada kemiskinan, rokok sebagai wabah penyakit, dan lain sebagainya, yang kemudian mengarah agar cukai rokok dinaikkan setinggi mungkin.  Hasil dari cukai digunakan untuk kegiatan kesehatan, salah satunya; pembangunan rumah sakit, pengadaan alat dan fasilitas kesehatan di rumah sakit, membayar defisit jaminas kesehatan berupa BPJS, bahkan sampai untuk membeli alat transportasi motor dan mobil operasional.

Ada juga regulasi berupa Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR), ditertibkan didaerah-daerah namun pelaksanaannya tidak diimbangi dengan ketentuan amanat putusan Mahkamah Konstitusi gugatan atas pasal 115 ayat 1 UU kesehatan, yang mengharuskan menyediaakn ruang dan fasilitas khusus untuk merokok.     

Sebelum PP No. 109/2012 dan Perda KTR muncul, terlebih dahulu terdapat peraturan Kementrian Keuangan  No. 200/PMK.04/2008, menerapkan aturan yang memberatkan bagi industri kecil dan menengah terutama yang berhubungan dengan persyaratan lokasi/tempat industri. Seperti, tempat industri tidak boleh berhubungan langsung dengan tempat tinggal, tidak berhubungan langsung dengan lokasi lain yang tidak dimintakan izin sebagai bagian dari pabrik, mempunyai akses jalan besar, dan luas pabrik tidak boleh kurang dari 200m2.

Aturan Kementrian Keuangan di atas, sangat menyulitkan bagi industri menengah dan kecil. Karena mulanya industri berada didalam rumah (home industry), dengan aturan tersebut, mereka harus keluar dari rumah dan membangun industri lagi. Akibatnya, banyak industri kecil dan menengah gulungtikar, tidak mampu memenuhi aturan tersebut.

Aturan-aturan di atas hanya sebagian dari sekian banyak aturan tentang pertembakauan. Inti semua aturan pertembakauan yang ada di Indonesia adalah hasil intervensi asing, melalui paradigma kesehatan dan rezim kesehatan sebagai penggerak utama anti tembakau dan rokok kretek.

Munculnya aturan-aturan di atas, salah satu contoh lemahnya politik deplomasi negara Indonesia di mata asing. Aturan-aturan pertembakauan yang ada, hanya melemahkan sektor pertembakauan dalam negeri. Bahkan aturan tersebut cenderung mengendalikan peredaran tembakau dan hasil olahannya berupa kretek.

Sedangkan kretek adalah warisan lelehur dan sudah mendarah daging menjadi budaya masyarakat Indonesia. Belum lagi, pungutan pajak berupa cukai, sebagai salah satu sumber utama pemasukan kas negara, yang selanjutnya mampu untuk membayar defisit jaminan kesehatan.

Keberadaan kretek mampu menggerakkan ekonomi pinggiran/pedesaan dan kota kecil. Keterlibatan masyarakat pada sektor kretek jumlahnya begitu besar, sebagai petani cengkeh dan tembakau yang berada di tiap sudut kota di seluruh Nusantara, pegawai pabrik industri kretek, dan masih banyak lagi sektor lain sebagai dampak multiplier effect adanya industri kretek.

Pada intinya, semua kebijakan dan regulasi yang diterapkan di Indonesia terkait masalah pertembakaun adalah produk titipan kepentingan asing. Yang belum disadari penuh oleh pemanggku kebijakan (pemerintah), apalagi kebijakan pertembakauan didominasi rezim kesehatan. Kondisi inilah, sangat merendahkan harga diri, harkat dan martabat bangsa Indonesia.  

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).