CUKAI

Cukai Tembakau untuk Kampanye Anti-Tembakau, Sebuah Ironi!

Tahun 2018, penerimaan negara dari cukai produk tembakau mencapai Rp153 triliun. Angka ini lebih dari 90 persen total penerimaan cukai negara dan mendekati 10 persen dari total seluruh penerimaan negara pada tahun 2018. Sebuah angka yang tak bisa dianggap remeh untuk industri yang terus-menerus dipandang miring oleh banyak pihak.

Dari seluruh penerimaan hasil cukai produk tembakau, pengelolaannya langsung di bawah menteri keuangan. Salah satu skema penyaluran dana penerimaan cukai ini ke daerah-daerah penghasil tembakau, cengkeh, dan industri rokok, adalah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Selain menentukan angka yang diterima tiap daerah, kementerian keuangan juga mengatur alokasi dana sesuai peruntukannya. Ini diatur berdasarkan peraturan menteri keuangan nomor 222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBHCHT.

Salah satu amanat dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa minimal 50 persen dari DBHCHT harus digunakan dalam bidang kesehatan yang mendukung jaminan kesehatan nasional. Sejauh ini, dana DBHCHT paling banyak digunakan untuk pembangunan fasilitas kesehatan di banyak daerah di negeri ini.

Sebagai contoh, provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2018 Jawa Barat menerima dana DBHCHT sebanyak Rp176,8 Milyar dan Rp114 Milyar untuk tahun ini. Dana tersebut lebih dari 50 persennya digunakan untuk membangun rumah sakit di wilayah Pameungpeuk, Garut.

Bagi saya, ini menjadi prestasi tersendiri dari industri rokok dan para perokok yang menjadi penyumbang cukai dalam tiap batang rokok yang diperjualbelikan. Di tengah kampanye buruk yang terus-menerus disiarkan terkait tembakau dan produknya berupa rokok, industri ini malah menyumbang sesuatu yang begitu bermanfaat di banyak negeri.

Sayangnya, dengan kondisi semacam ini, ragam rupa kampanye yang mendeskreditkan tembakau dan rokok masih terus saja disuarakan. Yang lebih menyedihkan, dalam kampanye anti-tembakau ini ada dana DBHCHT yang digunakan. Dana yang diambil secara ‘paksa’ dari para perokok oleh negara, dari hasil membeli produk-produk rokok, digunakan untuk mengampanyekan agar masyarakat menjauhi tembakau dan produk unggulan dari tembakau berupa rokok.

Penggunaan dana DBHCHT untuk kampanye anti-tembakau di Jawa Barat disampaikan langsung oleh Iwa Kurniwa, Sekda Provinsi Jawa Barat. Menurutnya, mereka akan fokus mengampanyekan dampak buruk tembakau di wilayah Jawa Barat bagian selatan.

Ada logika yang aneh di sini. Anda menanam tembakau, kemudian tembakau itu digunakan sebagai bahan baku produksi rokok. Rokok itu kemudian diperjualbelikan. Dalam setiap batang rokok yang diperjualbelikan, negara menarik cukai di sana hingga terkumpul ratusan trilyun rupiah setiap tahunnya. Lalu beberapa bagian dari ratusan trilyun itu, digunakan sebagai dana untuk mengampanyekan agar orang-orang meninggalkan produk rokok. Sebuah ironi yang nyata terjadi di negeri ini.

Bisa dibilang ini adalah aksi bunuh diri. Berusaha membunuh tembakau dengan uang hasil penjualan tembakau. Bunuh diri masal karena kampanye ini pelan-pelan akan membunuh pemasukan utama petani tembakau dan cengkeh, buruh tani, para penjual rokok eceran, dan industri rokok nasional.

Tentu saja kita semua yang masih memiliki akal sehat harus melawan semua itu. Melawan semampu yang kita bisa.