OPINI

FCTC, Modus Perjanjian Internasional untuk Mengontrol Bisnis Nikotin Dunia

“Saya tidak ingin kita sekadar ikut-ikutan atau mengikuti tren, karena sudah banyak negara yang sudah ikut meratifikasi FCTC kemudian kita juga lantas ikut”. (Presiden Jokowi )

Pada saat memimpin rapat terbatas Kabinet Kerja di Kantor Kepresidenan, Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa Indonesia tidak meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC).

Keputusan Jokowi untuk tidak meratifikasi memiliki alasan yang tepat, yakni pemerintah mempertimbangkan kepentingan nasional, terutama dalam menjaga kelangsungan hidup petani tembakau dan buruh yang bekerja di sektor industri tembakau.

Sementara pada aspek kesehatan seperti yang selama ini digaungkan kelompok antirokok yang mendorong pemerintah mengaksesi FCTC, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki kebijakan yang mengatur tentang kesehatan.

FCTC sendiri merupakan perjanjian internasional yang mengatur tentang pengendalian produksi, distribusi dan konsumsi rokok yang dipaksa untuk ditaati oleh negara-negara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

FCTC sendiri di dalamnya berisikan 11 bab dan 38 butir pasal yang membahas tentang pengaturan pengendalian permintaan konsumsi rokok dan pengendalian pasokan rokok. Selain itu, FCTC juga mengatur tentang paparan asap rokok, iklan promosi dan sponsor rokok, harga dan cukai rokok, kemasan dan pelabelan, kandungan produk tembakau, roadmap berhenti merokok, perdagangan illegal rokok hingga penjualan rokok pada anak di bawah umur.

Fenomena perjanjian internasional semacam FCTC ini sudah bukan barang baru lagi  dan menjadi modus operandi menjajah kedaulatan suatu negara. Sebab di era globalisasi, penjajahan negara-negara besar kepada negara berkembang sudah tidak lagi memakai invansi militer, tetapi memakai mekanisme perjanjian-perjanjian bilateral/multilateral atau perjanjian internasional yang di dalam perjanjian tersebut justru menguntungkan satu pihak.

Pada kasus perjanjian FTA (Free Trade Area) misalnya, Indonesia banyak dirugikan. Perjanjian tersebut memuat komitmen pemerintah untuk melindungi investor asing dan investasinya dari berbagai gangguan dan kerugian yang bersifat nonkomersial.

Dalam perjanjian, pemerintah dilarang melakukan nasionalisasi. Jadi, bila pemerintah lalai atau sengaja melakukan nasionalisasi serta gagal menjaga keamanan sehingga menyebabkan kerugian investor asing, investor itu dapat menuntut pemerintah membayar kompensasi. Bahkan, sangat terbuka bagi investor asing itu membawa tuntutannya ke arbitrase internasional.

Lalu dalam konteks FCTC terdapat kepentingan industri farmasi yang bersembunyi di balik badan WHO dengan dalih kemaslahatan kesehatan umat manusia. Padahal kalau memang benar demi kesehatan, mengapa tidak sekalian mendorong perjanjian mengilegalkan tembakau dan produk hasil tembakau di muka bumi ini? Mengapa bunyinya malah jadi pengendalian tembakau? Ini artinya jika dikendalikan, maka akan ada pihak yang mengendalikannya.

Bau busuk dari FCTC ini sudah dapat kita cium. Sangat jelas kepentingan dari FCTC ini akan mengarah kepada dikendalikannya tembakau beserta produk turunannya oleh industri farmasi. Karena memang industri farmasi bernafsu untuk menguasai pasar nikotin di dunia.

Sejak tahun 1960an industri farmasi melakukan berbagai manuver merebut bisnis nikotin yang didominasi oleh industri rokok. Mulai dari mengeluarkan produk-produk penghantar kimiawi zat-zat nikotin, seperti koyo nikotin dan permen nikotin yang tidak laku di pasaran, hingga melakukan kampanye negatif tembakau dengan dalih kesehatan.

Usaha-usaha yang dilakukan awalnya nihil, tapi lama-kelamaan kampanye antirokok membuahkan hasil. Sampai Januari 2015, tercatat sudah ada 187 negara yang menandatangani FCTC.

Indonesia kini menjadi target utama kalangan antirokok dalam mendorong aksesi FCTC. Melihat besarnya peran Industri Hasil Tembakau bagi negara dan kehidupan masyarakat, maka segala upaya pemberangusan terhadapnya perlu ditolak.