OPINI

Nasib Cengkeh Tanpa Rokok Kretek

Dalam lima tahun terakhir, produksi cengkeh nasional berkisar antara 80.000 ton dan 120.000 ton. Pulau Sulawesi menjadi wilayah dengan produksi tertinggi di Indonesia, mengalahkan Kepulauan Maluku yang menjadi wilayah pohon-pohon cengkeh berasal. Selain Sulawesi dan Kepulauan Maluku, hampir di seluruh pulau besar di negeri ini, cengkeh ditanam oleh petani-petani Indonesia.

Dari total produksi cengkeh nasional, hingga saat ini 93 persen diserap industri rokok kretek nasional. Sisanya terbagi untuk kebutuhan ekspor, industri kuliner, minyak wangi, dan farmasi. Rokok kretek yang menjadi ciri khas rokok Indonesia, begitu perpengaruh mendongkrak kembali produksi dan harga cengkeh setelah dahulu cengkeh sempat berjaya untuk kemudian meredup pada awal abad 20.

Tingginya produksi dan harga cengkeh akibat permintaan tinggi industri rokok kretek, sampai membikin orde baru merampok seluruh keuntungan perdagangan cengkeh lewat skema tipu-tipu dan monopoli BPPC. Pernah ada masanya, karena besarnya keuntungan bertani cengkeh, petani-petani dari Sulawesi pergi ke Jakarta untuk cukur rambut, lalu pulang lagi ke kampung mereka.

Semua itu terjadi karena keberadaan cengkeh dalam batang-batang rokok kretek yang diisap perokok.

Sekarang, mari saya ajak Anda sedikit melihat gerakan anti-rokok yang salah satu kampanyenya adalah agar pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC. Salah satu konsekuensi yang wajib dilakukan jika pemerintah meratifikasi FCTC, industri rokok tidak boleh menggunakan cengkeh sedikit pun dalam produksi rokok mereka. Ini berarti, tak ada rokok kretek. Mati.

Lalu akan dikemanakan 93 persen produksi cengkeh nasional yang diserap industri rokok kretek jika FCTC diratifikasi?

Ketika rezim orba lewat sekma BPPC-nya memonopoli perdagangan cengkeh, para petani cengkeh banyak menebangi pohon-pohon cengkeh mereka. Ada pula yang sampai membakar pohon-pohon cengkeh mereka. Sisanya, menelantarkan kebun cengkeh mereka.

Ketika itu, petani betul-betul terpukul. Akibat ulah BPPC, harga cengkeh tersisa lima hingga sepuluh persen saja dari harga jual sebelum BPPC ada. Perekonomian mereka jatuh. Hampir dua juta orang menerima dampak langsung.

Itu terjadi 25 hingga 26 tahun lalu. Kini, jika pemerintah meratifikasi FCTC, kegoncangan yang akan dialami petani cengkeh Indonesia bukan tak mungkin akan lebih besar dibanding 25 tahun lalu. Karena, hingga hari ini, belum ada jaminan yang lebih meyakinkan sekaligus menguntungkan dibanding yang diberikan oleh industri rokok kretek kepada petani cengkeh untuk terus berproduksi.

Saya kira, nasib cengkeh tanpa rokok kretek bukan sekadar memengaruhi petani cengkeh saja, namun juga memengaruhi kemandirian dan kedaulatan negeri ini, memengaruhi kemaslahatan masyarakat Indonesia.