REVIEW

Cengkeh: Dulu, Kini dan Nanti (2)

Belajar dari sejarah panjang pasang-surut cengkeh sejak masa penjajahan dulu, pertanyaan ini sama sekali tak bisa dijawab hanya dengan logika pasar atau nalar ekonomi murni. Kebijakan politik sangat pekat mewarnai nasib benda yang pernah menjadi rebutan berbagai bangsa dan kalangan ini.

Dan, itulah yang sangat mencengangkan pada sikap pemerintah negeri ini. Sejak dulu, kebijakan pemerintah nyaris hanya memperlakukan cengkeh tak lebih dari sekadar barang jualan yang hanya diperhatikan jika harganya memang memungkinkan untuk memungut cukai, retribusi atau pajak lebih besar.

Baca: Cengkeh: Dulu, Kini dan Nanti

Minat dan perhatian mereka pada benda ini hanyalah pada besarnya rente ekonomi yang dapat mereka peroleh. Sampai sekarang pun, nyaris tak ada sama sekali kebijakan bersengaja dan berpandangan jauh ke depan untuk melindungi jenis tanaman yang –oleh keberadaan muasal dan sifat alamiahnya—justru sangat patut menjadi salah satu ‘warisan alam dan budaya khas Nusantara’.

Sama sekali tak ada konservasi, proteksi atau subsidi. Bahkan pembinaan yang sangat elementer pun alpa, misalnya, dalam hal kebutuhan perbaikan teknis budidaya, perluasan lahan, penyediaan bibit, sampai ke penyediaan prasarana dan sarana khusus untuk kelancaran tataniaga yang lebih menguntungkan bagi petani lokal.

Apalagi dalam hal pengembangan. Para anggota tim ekspedisi cengkeh ini menemui kesulitan, jika tak ingin disebut gagal, menemukan para peneliti dan pakar khusus di bidang percengkehan, bahkan di kampus-kampus perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penelitian di jantung daerah penghasil cengkeh utama itu sendiri.

Baca: Nasib Cengkeh Tanpa Rokok Kretek

Kecuali segelintir peneliti dan pakar sejarah ekonomi dan politik rempah-rempah secara umum, sumber-sumber informasi di Universitas Hasanuddin di Makassar, Universitas Tadulako di Palu, Universitas Sam Ratulangie di Manado, Universitas Khairun di Ternate, dan Universitas Pattimura di Ambon, menggelengkan kepala jika ditanyai tentang keberadaan pakar khusus mengenai tanaman cengkeh atau pala.

Seorang dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura di Ambon[1] juga mengakui belum ada seorang pun rekannya, termasuk dirinya sendiri, yang secara terus-menerus dan tekun melakukan riset dan pengembangan tanaman cengkeh.

Para mahasiswa Fakultas Pertanian –yang umumnya semakin berkurang jumlahnya dan kian jadi minoritas di beberapa perguruan tinggi tersebut– juga tak ada yang mengaku berminat melakukan riset untuk menjadi pakar khusus mengenai cengkeh di masa depan.

Dibandingkan dengan berbagai jenis tanaman perdagangan atau tanaman industri lainnya –terutama kayu dan selama beberapa tahun juga kelapa sawit dan kakao– risetriset ekosistem, agronomi, dan biokimia tentang cengkeh nyaris tak pernah terdengar, termasuk riset pengembangan produk olahan dari bahan baku cengkeh.

Padahal, misalnya, kebutuhan zat eugenol dari cengkeh –sebagai bahan baku untuk pengobatan dan penahan rasa sakit– sebagian besarnya masih diimpor. Bahkan, cengkehnya itu sendiri, sampai sekarang pun, sebagiannya masih tetap diimpor.

Lebih ironis lagi adalah fakta bahwa hampir semua pemerintah daerah penghasil cengkeh utama cenderung semakin mempersempit ruang hidup tanaman yang justru pernah mengharumkan nama daerah mereka. Dengan satu perkecualiaan di Sulawesi Utara, khususnya wilayah Minahasa sebagai penghasil cengkeh terbesar sejak beberapa tahun terakhir, luas lahan tanaman cengkeh semakin terancam oleh konsesi-konsesi besar baru pertambangan dan perkebunan besar kelapa sawit, terutama di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Maluku.

Peneliti hukum dan sejarah Maluku Utara[2] bahkan dengan tegas mengakui bahwa pemerintah daerahnya belum pernah mengeluarkan satu peraturan daerah pun, khusus untuk perlindungan dan pelestarian tanaman cengkeh. Selain melupakan sejarah masa lalu, pemerintah di daerah-daerah tersebut tak tergerak oleh fakta bahwa ratusan ribu warga mereka, para petani lokal, sampai sekarang pun masih sangat bergantung kehidupan dan kesejahteraannya dari cengkeh.

Salah satu ungkapan populer yang ditemui di manamana pun di daerah itu adalah: “Anak saya bisa jadi sarjana karena cengkeh…”. Atau, seperti kata Pak Tua Yan Kulinog, salah seorang perintis pertama perkebunan cengkeh di pedalaman Minahasa: “Tahun 1977, hanya dengan 250 kilogram cengkeh, saya sudah membeli mobil Datsun, sedan pertama di daerah ini waktu itu….”[3]

Baca: Menyelisik Ragam Manfaat Cengkeh

Lagi-lagi ironis. Tak banyak dari anak-anak yang dibesarkan oleh hasil tanaman cengkeh orangtua mereka itu yang akhirnya memilih untuk melanggengkan usaha tani cengkeh. Sebagian besar mereka malah menjadi pegawai negeri sipil, menjadi bagian dari mesin birokrasi yang justru makin tak akrab dan kian melupakan cengkeh.

Catatan-catatan dan gambar-gambar yang terangkum sepanjang buku ini menegaskan semua ironi tersebut. Meskipun lebih merupakan sketsa-sketsa ringkas –sesuatu yang disengaja untuk membuatnya lebih mudah dicerna oleh semua kalangan– tulisan-tulisan dan gambar-gambar itu menampilkan banyak hal yang mencengangkan, menghentak, kadang menggetarkan.

Tulisan-tulisan dan gambargambar itu merekam nuansa sejarah perkembangan cengkeh dalam beragam aspek dan dimensinya, menggugah kembali kesadaran kita tentang salah satu warisan alam kita yang sangat berharga. Agar kita tak terusan-terusan menjadi pecundang, tertulah serapah para leluhur: “Bak pungguk merindukan bulan, punai di tangan dilepaskan”!

Tulisan ini adalah kata pengantar yang ditulis oleh Roem Topatimasang dalam buku Ekspedisi Cengkeh


[1] Dr. Dominggus Male, pers.comm,, 28 Agustus 2013.

[2] Dr. Sahril Muhammad, wawancara tanggal 16 September 2013, di Ternate

[3] Wawancara tanggal 5 September 2013, di Desa Wioi.