CUKAIOPINI

Di Balik Protes Antirokok terhadap Alokasi Pajak Rokok Daerah untuk JKN

Sejak kemarin kelompok antirokok sedang ribut-ribut menyoal penerbitan Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) Nomor 53 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Permenkes tersebut di dalamnya berisikan, pemerintah pusat mengambil kembali pajak rokok untuk menutup defisit JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

Kelompok antirokok menganggap Permenkes Nomor 53 Tahun 2017 mencederai hak Pemerintah Daerah dalam mengelola pajak rokok. Landasan argumentasi yang mereka bangun adalah pajak rokok merupakan hak pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Baca: Cukai Rokok Penyangga Jaminan Kesehatan Negara

Sekilas memang tidak terlihat ada yang janggal dari protes kelompok antirokok atas Permenkes Nomor 53 Tahun 2017, sebab kebijakan mengambil pajak rokok dari daerah untuk menambal defisit JKN merugikan pemerintah daerah. Dana pajak rokok daerah ini biasa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk berbagai macam program pembangunan daerah, termasuk alokasi 50% untuk pelayanan kesehatan masyarakat.

Namun tentu kita tidak bisa begitu saja percaya terhadap antirokok, manuver yang dilakukan antirokok pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Dalam isu Permenkes ini mereka punya kepentingan. Apa kepentingannya?

Kelompok antirokok telah melakukan blunder besar dengan kampanye “Rokok Membebani JKN”. Awalnya kampanye ini cukup berhasil untuk menggiring opini bahwa bobolnya anggaran JKN disebabkan oleh para perokok. Meskipun data yang mereka pakai hanyalah asumsi-asumsi semata, namun asumsi ini terus diteriakkan berulang-ulang agar publik dapat mengamini.

Hingga kemudian BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara JKN mengalami defisit anggaran terus-menerus setiap tahunnya. Sejak 2014 BPJS Kesehatan sudah mengalami defisit anggaran mencapai Rp3,3 triliun. Angka itu membengkak menjadi Rp5,7 triliun tahun 2015 dan 9,7 triliun pada 2016. Lalu pada 2017 BPJS Kesehatan kembali mengalami defisit sebesar Rp 9,75 Triliun.

Rokok yang sejak dulu di kambing hitamkan atas bobolnya anggaran JKN, justru dana pajaknya malah dipakai untuk menyelamatkan defisit BPJS Kesehatan. Aneh memang, satu sisi ada kelompok yang teriak-teriak bahwa rokok menjadi beban bagi JKN, di sisi lainnya pemerintah malah membutuhkan kontribusi rokok bagi keberlangsungan JKN.

Sejak ditetapkannya pajak rokok dimanfaatkan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan, kampanye antirokok jadi tidak laku. Publik berbondong-bondong mengapresiasi kedermawanan perokok atas kontribusinya bagi JKN. Begitupun dengan pemerintah juga semakin membutuhkan kontribusi pajak rokok.

Dampak lainnya dari blunder kampanye antirokok adalah kini mereka tidak bisa lagi utak-atik dana pajak rokok bagi kepentingan kampanye pengendalian tembakau, terutama dana pajak rokok daerah.

Baca: Menafsir Keputusan Pemerintah Tidak Menaikkan Tarif Cukai Rokok 2019

Kalau diperhatikan secara seksama, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini memberikan celah bagi antirokok untuk menggarong dana pajak rokok. Sebab dalam juknis pelaksanaan yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan, kampanye pengendalian tembakau masuk ke dalam komponen pelayanan kesehatan masyarakat. Artinya antirokok bisa ikut menggunakan dana pajak rokok ini untuk kampanye pengendalian tembakau.

Tapi kini setelah keluar Permenkes Nomor 53 Tahun 2017, kelompok antirokok tidak punya slot untuk menikmati dana pajak rokok. Pemerintah pusat menafsirkan pelayanan kesehatan dengan prioritas terhadap pembiayaan JKN. Sehingga komponen pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak jelas seperti kampanye bahaya merokok dieliminir.

Jadi tidak ada yang salah dari keputusan pemerintah untuk memprioritaskan 50% dana pajak rokok daerah yang digunakan untuk pelayanan kesehatan diarahkan untuk pembiayaan JKN.

Ini lebih jelas ketimbang digarong oleh kelompok antirokok yang selalu menyerukan demi kepentingan kesehatan masyarakat, tapi pada kenyataannya justru jargon tersebut mereka gunakan sebagai legitimasi mengambil dana pajak rokok.