OPINI

Kretek dalam Pusaran Budaya Bangsa Indonesia

Merokok itu sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi masyarakat, jauh sebelum Indonesia merdeka. Banyak cerita atau kisah tentang kretek di tengah-tengah masyarakat bangsa ini, mulai sebagai alat untuk meraup keuntungan, alat komunikasi, sebagai teman sampai menjadi simbol pergerakan.

Kretek, Simbol Perlawanan Roro Mendut

Siapa yang tidak pernah mendengan cerita tentang Roro Mendut?, di telinga masyarakat Indonesia, kisah Roro Mendut tidak asing lagi.  Perempuan yang mempunyai paras wajah cantik, dan digandrungi kaum adam terutama kalangan putra kerajaan. Informasi kecantikan Roro Mendut tersebar seantero Nusantara, tidak satupun pria meragukan kecantikannya.  Bahkan kisah dan cerita kecantikan Roro Mendut tercatat dalam buku Babad Tanah Jawi.

Diperkirakan pada tahun 1627, pada saat panglima perang Sultan Agung Mataram bernama Tumenggung Wiraguna berhasil menumpas pemberontakan di kota Pati, sebagai imbalanan atas keberhasilannya, mendapat hadiah wanita pujaan pria bernama Rara Mendut dari Kasultanan Agung Mataram.  Roro Mendut menolak dipinang Tumenggung Wiraguna, dan secara terang-terangan memilih pria lain dambaannya. Akibatnya, Roro Mendut harus membayar pajak setiap harinya kepada kerajaan Mataram.

Bisa dibayangkan, betapa bingungnya Roro Mendut saat itu. Uang dari mana, ia hasilkan untuk bayar pajak tiap hari demi bisa bersama kekasihnya. Ternyata Roro Mendut tidak hanya cantik tetapi cerdas dan kreatif, bisa membaca peluang bisnis saat itu. Ide cermerlang muncul dengan berdagang/berjualan rokok lintingan yang direkatkan dengan air ludahnya, dan sebelum menjualnya, rokok lintingan di sulut dahulu dan dihisap bekas bibir merahnya. Kemudian baru dijual ke pembeli yang berdesakan berjejer antri.

Entah dari mana ide menjual rokok itu muncul. Yang jelas saking larisnya, kewajiban pajak Roro Mendut terpenuhi. Dan mungkin keadaannya akan lebih parah, jika saat itu Roro Mendut tidak berdagang rokok. Tidak akan terpenuhi kewajiban pajaknya.

Dengan rokok, hidup Roro Mendut terselamatkan. Adanya rokok,  Roro Mendut bebas dari belenggu kekuasaan. Berkat rokok, Roro Mendut terkengan, mengisi rubik informasi sejarah begitu kuatnya budaya merokok di  Indonesia.

Baca: Kretek Pusaka Nusantara

Kretek, Teman Perjuangan  Diponegoro

Semasa berjuang melawan penjajah, yang harus dilakukan Diponegoro berpindah-pindah dari kota satu ke kota lain. Strategi perlawanan Diponegoro, kemudian sebagai basis strategi perang gerilya. Strategi yang menjadi idola dan kebanggaan tentara Indonesia. Dengan bergerilya, tentara Indonesia mampu mengecoh kekutan lawan yang lebih besar jumlahnya.

Lain itu, tenyata banyak cerita, Diponegoro saat berperang ditemani rokok. Ia dan pasukannya gemar merokok. Bahkan ketika tidak ada rokok, Pangeran Diponegoro rela hanya megunyah daun sirih yang diracik dengan kapur dan pinang.

Kebiasaan ini, juga dialami oleh pengikut /pasukan perang Pangeran Diponegoro. Bagi mereka, rokok teman sejati, menemani disetiap perjalanan mereka. Rokok menghilangkan depresi mereka, sebagai hiburan saat jauh dari keluarga demi berjuang melawan penjajah. Rokok menumbuhkan percaya diri mereka, lebih berani melawan penjajah walaupun hanya dengan serba keterbatasan, pasukan jumlah terbatas, alat perang terbatas dan lain sebagainya.

Baca juga: Pangeran Diponegoro, Rokok Klobot dan Perlawanan Simbolis

Kretek Sebagai Jati Diri Bangsa

Salah satu “pendiri bangsa” bernama KH. Agus Salim menghisap kretek dengan asapnya di kebal-kebulkan keudara, disaat ada perjamuan di Istana Buckingham ketika penobatan Elizabeth II sebagai Ratu kerajaan Inggris. Aroma khas keluar dari asap rokok kretek, tercium orang yang berada di ruang perjamuan. Sehingga memancing salah satu orang yang datang dalam perjamuan, dengan berkata; “tuan sedang menghisap apa itu?”.  Sentak KH. Agus Salim menjawab, “ inilah yang membuat nenek moyang anda sekian abad lalu datang dan kemudian menjajah negeri kami”.

Jawaban KH. Agus Salim, faktanya memang benar. Rokok kretek tidak lain ada tambahan cengkeh (suzygium aromaticum).  Tanaman legendaris menjadi rebutan dan sumber keuntungan kolonialisme Eropa atas Asia termasuk Indonesia.

Cengkeh adalah salah satu tanaman yang diperebutkan bangsa-bangsa dunia, sampai melegalkan penjajahan.  Dalam simpulan perjalanan ekspedisi cengkeh tahun 2013, Kepala Suku begitu julukan bagi Putut Ea, mengatakan “ jika saja tak pernah ada cengkeh dan pala di Maluku, mungkin sejarah kepulauan Nusantara ini akan berbeda sama sekali”.

Simpulan Putut EA, sebagai salah satu pembenar perkataan  KH. Agus Salim. Mungkin, jika tanaman cengkeh tidak ada, fakta sejarah akan berbeda, tidak ada penjajahan di bumi Nusantara ini.

Baca Juga: Mengisap Kretek, Langkah Kecil Menjaga Kedaulatan Bangsa

Kretek untuk Berteman dan Menjalin Persaudaraan

Teringat apa yang pernah dilakukan Menteri Sosial dan Lingkungan Hidup, saat melakukan pendekatan pada suku anak dalam di Jambi. Tidak lain ia adalah Khofifah menteri perempuan yang energik. Saat itu Khofifah bertanggungjawab dalam mengatasi masalah pendidikan dan kesejahteraan masyarakat suku anak dalam di Jambi.  

Kebijakannya membuat fenomenal, selain bahan makanan, dan bantuan lain, khofifah juga membawa rokok.  Yang kemudian ada yang mengggugat dari anti rokok, tetapi sebagai Menteri, Khofifah tentunya sudah mengkaji secara mendalam. Dengan kecerdasannya , Khofifah menjawab dengan tegas dan lugas, “jangan sok tahu kehidupan mereka, kenali apa yang menjadi ritme kehidupan mereka. Sangat bijaksana kalau kita semua pergi kesana, sehingga tahu adat istiadatnya juga. Tolong kalau ingin mengerti tentang kultur jangan hanya dari kacamata Jakarta. Saya pun ingin mengajak anda kesana, turun kesana, sapalah mereka”.

Khofifah memberikan pelajaran bagi anti rokok. Tidak boleh sok tahu, apalagi selama ini antirokok hanya berasumsi, tanpa melihat fakta dilapangan. Khofifah juga menganjurkan agar lebih mengenal adat-istiadat, budaya dan tradisi masyarakat, tidak boleh melakukan hegemoni kultural, sebab keberagaman adat-istiadat dan budaya merupakan kekayaan negeri.

Pelajaran Khofifah sangat mendalam dan bercirikhas Nusantara. Sebgaai Menteri  Sosial tentunya lebih berpengalaman apa yang dibutuhkan bangsa ini agar tetap jaya, bersatu dan utuh. Kenali perbedaan, hormati perbedaan, junjung tinggi budaya yang berbeda.  Apa yang telah dilakukan Khofifah dengan membawa rokok ke suku anak dalam adalah cermin penghormatan tradisi dan budaya masyarakat. Sebagai seorang Mentri, tentunya punya kuasa, artinya bisa seorang khofifah memberikan bantuan sesuai keinginannya sendiri, namun hal itu tidak dilakukan. Ia lebih mengedepankan penghormatan budaya masyarakat setempat, dengan membawa rokok untuk pendekatan dan pertemanan. Karena Khofifah tahu betul, bahwa merokok adalah budaya mereka, yang diwaris dari neneng moyang mereka.

Baca Juga: Memilih Jalan Hidup Menikmati Kretek

Kretek Sebagai Simbol Pergerakan Nasional     

Abdul Rifa’I dalam media bintang timur terbit pada 03 Oktober 1927, mengatakan, “kopinya bukan kopi saringan, tetapi kopi tubruk sebab kopi ini katanya nationaal, gulanya gula jawa, susu tidak dipakai karena tidak nationaal. Rokoknya kelobot, selamatan natioanaal ini terus berlangsung ed sampai pagi hari”.

Semangat nasionalisme harus tertanam, mengedepankan produk lokal adalah salah satu semangat nasionalime. Salah satu keberadaan rokok klobot menjadi ciri produk asli indonesia dan harus dilestarikan. Klobot sendiri adalah ramuan tembakau dan cengkeh di gulung memakai daun jagung, embrio perkembangan menjadi rokok sigaret kretek tangan dan sigaret kretek mesin.