Pasar memang bisa dibentuk, dan ketika sudah terbentuk, merupakan hukum alam jika ada yang tergusur, ada yang bertahan, dan ada yang berjaya. Inilah yang terjadi pada kondisi Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Indonesia.
Dulu kretek tangan (SKT) adalah penguasa pasar perokok di Indonesia. Bahkan sampai dengan hari ini, masyarakat masih menganggap kretek adalah kretek tangan. Padahal jenis kretek telah berkembang dengan adanya kretek mesin (SKM) yang diwakili oleh kretek filter full flavor/mild.
Hal tersebut membuktikan bahwa kretek tangan masih memiliki legitimasi sebagai penguasa produk hasil tembakau, meskipun legitimasinya kini hanya terdapat pada tataran opini masyarakat. Bukan legitimasi pasar.
Baca: Menakar Potensi Ekspor Kretek: Dari Regulasi hingga Nilai Ekonomi
Pergeseran selera konsumen dari rokok SKT menuju rokok SKM dapat dilihat dari data tahun 2004, yang memperlihatkan pangsa pasar rokok SKM dan SKT masing – masing sebesar 56% dan 37%. Lalu hanya dalam kurun waktu 11 tahun, pada tahun 2015 pangsa SKM dan SKT berubah menjadi 75% dan 19%.
Banyak analis yang mengatakan, pergeseran tren konsumsi ini utamanya disebabkan oleh meningkatnya minat konsumen (terutama konsumen muda) terhadap varian baru SKM yaitu SKM-LTLN yang dipelopori (dan masih dikuasai) oleh Sampoerna A Mild.
Apa itu SKM-LTLN? SKM-LTLN adalah Sigaret Kretek Mesin Low Tar & Low Nicotine atau yang dikenal dipasaran sebagai rokok mild. Istilah ini diperuntukkan bagi jenis rokok kretek mesin yang kadar tar dan nikotinnya dibawah rata-rata. Angka tarnya biasa belasan mg, sedang nikotinnya paling hanya 1mg atau lebih namun tidak sampai 2mg. Contoh: A Mild, LA Mild, dll.
Baca: Sigaret Kretek Tangan (SKT), Bekal Wajib Para Pendaki
Jenis ini ketika diperkenalkan ke pasar di Indonesia pada tahun 1990-an langsung mendapatkan tempat tersendiri bagi kalangan perokok. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan produk A-Mild yang sudah menembus penjualan sebanyak 9,8 miliar batang, atau 4,59% total penjualan rokok nasional di tahun 1996.
Bahkan di tahun 2005, rokok jenis SKM mild sudah mengambil porsi 16,97% dari total pangsa pasar rokok nasional. Lebih besar ketimbang SKM full flavor (Djarum Super, GG Filter, dll) dan hampir menyamai SKT.
Jika ditinjau dari aspek sosiologis, konsumen muda memang memiliki karakteristik sebagai konsumen yang excited terhadap produk-produk baru yang inovatif. Apalagi dalam konsep SKM mild ini menawarkan terobosan mulai dari packaging yang trendi, bentuk yang slim, dan tarikan yang ringan.
Belum lagi ketika mulai bermunculan kebijakan-kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perilaku konsumsi konsumen menjadi berubah, karena dipaksa untuk tidak dapat menikmati dengan khidmat hisapan demi hisapan yang hanya terdapat pada tarikan di varian SKT, sebabnya KTR memberikan ruang yang minim bagi perokok.
Baca: Kretek Penyelamat Negeri
Dengan kondisi terus menurunnya tren konsumsi SKT dari tahun ke tahun, maka perlulah kita memberikan perhatian lebih terhadap nasib SKT. Ini bukan hanya soal menjaga tradisi dan budaya bangsa, tapi lebih dari itu, SKT adalah salah satu industri pengolahan yang padat karya. Terdapat banyak tenaga kerja di dalamnya.
Jika SKT tergusur dari Industri Hasil Tembakau, maka bagaimana nasib ibu-ibu pelinting yang menggantungkan hidup dari sektor ini?