REVIEW

Merokok Bersama Kepala Suku di Kampung Mumugu Batas Batu, Papua

Bangunan itu berukuran 100 kali 5 meter. Orang Asmat menyebutnya Jew, atau Rumah Panjang. Bangunan itu dibiarkan memanjang tanpa sekat. Terdapat beberapa tungku dalam bangunan. Jumlah tungku dalam bangunan menyesuaikan jumlah fam dalam satu rumpun Suku Asmat yang tinggal di kampung tempat Jew berdiri, ditambah satu tungku utama yang hanya boleh digunakan oleh tetua adat setempat. Pun begitu dengan jumlah pintu.

Seluruh bahan bangunan yang digunakan pada Jew diambil dari hutan di sekitar kampung. Kerangka dari kayu yang banyak terdapat di hutan, lantai dan dinding dari kulit kayu, atap dari daun-daun atap yang tumbuh di hutan. Untuk simpul antar rangka, dinding dengan rangka, dan atap dengan rangka, menggunakan rotan.

Di Kampung Mumugu Batas Batu, Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat, Papua, saya berkesempatan masuk ke dalam Jew dengan delapan buah tungku. Hari kedua kedatangan saya di kampung itu kali pertama saya masuk Jew. Selanjutnya selama sembilan bulan tiga belas hari tinggal di Mumugu Batas Batu, Jew menjadi salah satu tempat yang paling sering saya kunjungi. Di dalamnya terasa nyaman, sejuk, dan menenangkan.

Baca: Hal-hal yang Harus Dipersiapkan Perokok Waktu Musim Hujan

Hari itu masih cukup pagi saat pertama kali saya masuk ke Jew. Saya dipersilakan masuk melalui pintu utama. Sinar matahari menembus masuk melalui beberapa celah atap yang tidak tertutup rapat, juga dari beberapa lubang pada dinding.

Saya meletakkan dua kardus besar berisi bongkahan-bongkahan padat tembakau kering lengkap dengan kertas untuk melintingnya. Itu saya lakukan atas anjuran rekan-rekan saya yang sebelumnya sudah pernah berkunjung ke Mumugu Batas Batu. Seorang petugas khusus yang kelak baru saya tahu disebut tese’, membagi-bagikan bongkahan tembakau dan kertas linting kepada tetua adat dan meletakkan beberapa bongkah di tiap tungku secara merata.

Seluruh laki-laki dewasa dan memang hanya laki-laki dewasa yang diperkenankan masuk ketika itu kemudian melinting sejumput tembakau. Mengambil sejumput tembakau milik kepala suku serta kertas linting, saya ikut melinting bersama mereka.

Baca: Kretek dalam Pusaran Budaya Indonesia

Asap putih mengepul memenuhi sudut-sudut ruangan Jew. Angin yang berhembus dari luar melalui pintu-pintu Jew sebabkan asap itu menjelma lukisan abstrak di udara. Kepala suku lantas berbicara memecah keheningan. Upacara simbolis penerimaan tamu resmi dimulai.

Pada mulanya, saya mengira Asmat serupa Papua lainnya yang dianggap begitu hobi mengunyah pinang dan sirih. Tidak terlalu tertarik dengan tembakau untuk dirokok. Jika pun mengonsumsi tembakau, Ia digunakan sebagai campuran pinang dan sirih untuk kemudian dikunyah. Tidak dilinting kemudian diisap.

Nyatanya, Suku Asmat berbeda. Setidaknya salah satu rumpun Suku Asmat yang saya temui di Kampung Mumugu Batas Batu. Mereka melibatkan tembakau dalam upacara-upacara adat yang mereka jalani dengan cara diisap, dan juga mengonsumsi rokok dalam kehidupan sehari-hari.

Rokok menjadi bekal utama warga Mumugu Batas Batu disamping sagu ketika mereka pergi berburu. Menurut beberapa orang yang saya tanyakan, rokok sangat membantu ketika proses relaksasi dan rekreasi dilakukan di sela-sela kegiatan berburu.

Fakta ini semakin menguatkan bahwa banyak wilayah di muka bumi ini yang tradisi dan kesehariannya dekat dengan tembakau, terutama tembakau untuk dilinting dan diisap. Mereka baik-baik saja dengan itu sebelum akhirnya kampanye-kampanye yang mendiskriminasi produk tembakau dan aktivitas merokok ramai disuarakan oleh mereka yang menamakan dirinya anti-tembakau.

“Ah, apa itu larang-larang sa merokok. Sa boleh begini. Ini hak saya to. Biar sudah. Saya baik-baik saja, kami semua baik-baik saja. Orang tua kami pun begitu.” Ujar Kepala Suku ketika saya tanya pendapatnya tentang kampanye bahaya merokok.