REVIEW

Kami, Jokowi dan Prabowo pada Suatu Pagi di Ladang Tembakau

Subuh baru saja berlalu sejam yang lalu. Udara dingin di lereng gunung Sumbing ini masih terasa menusuk hingga tulang. Padahal jaket tebal telah mendekap, tetapi rasa dingin masih saja mampu membuat tubuh bergetar menggigil.

Mentari di balik gunung juga masih mengintip, hanya semburat kuning kemerah-merahan yang membuat gradasi di langit biru yang terpampang jelas. Embun pagi juga masih basah bertengger memadati daun-daun hijau, daun tembakau, sumber penghasilan terbesar masyarakat lereng gunung ini.

Kami berlima, pengurus Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), masih bersedekap menetralisir rasa dingin yang keterlaluan. Di antara jari-jemari terselip sebatang kretek yang sudah setengah jalan kami hisap.

Kami saling diam menunggu dua tokoh besar yang kabarnya pagi ini menapak ladang tembakau. Dua tokoh besar yang beberapa bulan ini menjadi alasan pertengkaran antara cebong dan kampret, akan datang bersamaan melihat lebih dekat geliat pertembakauan.

Tak berselang lama, suara mobil menderu merayapi tanjakan, memecah keharmonisan pagi dan sunyi kami. Kami menengok bersama ke arah suara, sekira 100 meter mobil Avanza hitam terus merangkak mendekati kami.

Kami yakin Jokowi dan Prabowo berada di dalamnya. Kabarnya mereka datang diam-diam. Hanya mengontak kami belaka. Mereka datang bersma tanpa pasukan, tanpa media dan sebuah setting dalam frame kamera. Bersama-sama. Menaiki mobil rakyat jelata bermerek Avanza, supaya tidak membuat heboh masyarakat desa. Katanya.

Tak berselang lama, mobil sudah berhenti tepat di depan kami. Kedua pintu tengah terbuka beriringan. Jokowi keluar duluan, beberapa saat kemudian Prabowo menampakkan wujudnya. Keduanya memakai masker, celana jeans berwarna abu-abu, jaket gunung bercorak sama, kacamata hitam dan topi hitam bertulis rakyat jelata bertengger di kepalanya.

“Penyamaran yang wagu!” bisik Indi Hikami.

“Husssshhhh!” Azami menyergah.

Azami mengomandoi kami mendekat kepada keduanya, bersalaman. “Sehat, Pak? “ Sapa Azami kepada dua tokoh yang sering dibela mati-matian oleh pendukungnya tersebut.

“Alhamdulillah sehat,” sahut Prabowo. Jokowi hanya diam saja sambil mengangguk.

Setelah berbasa-basi secukupnya, Azami mengomandoi kami menyusuri ladang tembakau. Di sepanjang galengan keduanya sesekali mengelus daun tembakau yang masih basah oleh embun.

“Mas….mas,” Jokowi menghentikan langkah kami. “Ini tembakau apa?” lanjutnya sembari masih memegangi daun tembakau.

Azami mendekat kemudian menerangkan, “Ini varietas Kemloko, Pak Jokowi. Di sini tembakau terbagi menjadi tiga, yakni Kemloko 1, Kemloko 2 dan Kemloko 3. Kemloko 1 merupakan tembakau yang paling bagus, namun memiliki kekurangan rawan terhadap penyakit seperti jamuran. Kemloko 2 merupakan jenis tembakau yang bagus dan berada di garis aman karena daya tahannya yang lebih kuat. Sedangkan Kemloko 3 merupakan tembakau yang paling bagus karena perpaduan dari Kemloko 1 dengan virginia dan kualitasnya jauh di atas Kemloko 1 dan 2.”
“Tetapi, sebagian besar petani di daerah Temanggung lebih memilih Kemloko 2 yang tahan terhadap penyakit, juga dapat memiliki kualitas yang tak kalah bagus jika masa perawatannya tidak menggunakan pupuk kimia,” sahut Fawaz.

“Owalah, iya, iya,” tanggap Jokowi sambil manggut-manggut.

“Kalau tembakau Srinthil itu bagaimana, Mas?” Kali ini gantian Prabowo yang angkat suara.

“Mas Udin mungkin bisa menjelaskan. Monggo!” Pinta Azami

“Secara sederhana tembakau jenis srintil dapat dilihat saat disimpan, ia akan mengeluarkan bau menyengat seperti busuk berwarna kuning, diakibatkan kadar nikotinnya begitu banyak. Kalau dijemur memerlukan waktu 4-5 hari baru bisa kering.  Beda dengan tembakau temanggung pada umumnya, baunya tidak begitu menyengat dan hanya butuh 1-3 hari untuk pengeringan. Begitu, Pak Prabowo,” Jelas Mas Udin.

“Jadi dari varietas apapun bisa menjadi Srinthil?”

“Pada prinsipnya daun tembakau bisa menjadi srintil berasal dari varietas lokal asli Temanggung, yaitu jenis kemloko yang ditanam dengan memakai teknik bagus. Sebagai contoh saat menanam tidak dicampur dengan varietas lain, tanah tidak terlalu banyak kadar airnya dan lain sebagainya.”

“Tembakau Srinthil harganya bisa sampai sejuta perkilo lho, Pak,” sahut Indi.

“Owalah begitu rupanya. Saya baru tahu,” Prabowo manggut-manggut.

“Makanya Pak Prabowo itu harus sering-sering main di ladang, hehehehe,” ledek Jokowi.

“Wah Pak Jokowi ini tidak tau saja, saya sering turun ke ladang, ladang pertempuran,” jawab Prabowo yang kemudian diikuti tawa bersama-sama.

“Kalian kalau mau disambi ngerokok, boleh lho. Ora perlu sungkan-sungkan.” Jokowi mempersilahkan kami merokok. Tetapi kami enggan menyalakan kretek, dalam rangka menghormati kedua orang tersebut.

Kami masih terdiam di galengan ladang tembakau. Saling bertukar informasi dan bersenda gurau. Azami sebagai koordinator kami mengungkapkan bermacam hal yang menjadi uneg-uneg, tidak hanya kami, tetapi mungkin juga seluruh orang yang bergiat pada dunia pertembakauan.

“Pak Jokowi, Pak Prabowo, saya mewakili teman-teman ingin menyampaikan uneg-uneg yang beberapa hari ini mengganggu hati dan perasaan kami.”

“Diungkapkan saja. Biasa saja sama kita,” jawab Jokowi. “Iya betul,” Prabowo menyahut.

“Kemarin ramai di media, timses bapak terang-terangan antitembakau. Timnya Pak Jokowi menganggap rokok terlalu murah, sementara timnya Pak Prabowo menganggap rokok adalah zat adiktif, sehingga para perokok perlu direhabilitasi. Ini adalah bukti konkrit kalo pihak Bapak tidak pro terhadap dunia pertembakauan. Padahal setiap tahun, sektor ini menyumbang ratusan triliun untuk negara. Bagaimana ini, Pak?”

“Oh… jelas salah itu. Sudah saya evaluasi. Biasa, tim saya itu kan macem-macem latar belakangnya. Kebetulan orang yang bilang itu, tidak pernah terjun langsung ke lapangan. Maklum lah, akademisi masa kini. Rokok sekarang itu sudah mahal, rokok adalah hiburan rakyat, masa saya rele merenggutnya? Tidak mungkin! Benar kan Pak Prabowo?”


“Betul apa kata Pak Jokowi. Tim saya juga salah. Salah besar. Mana mungkin para perokok disamakan dengan pecandu. Salah itu. Wong prajurit saya dulu setiap bertugas selalu ditemani rokok pas lagi istirahat. Bagaimana bisa seperti itu. Nanti prajurit tidak bisa tenang menghadapi perang,” ujar Prabowo sembari menggerakkan kedua tangannya. Tarian khas yang sering terekam kamera.

“Tenang saja. Tidak mungkin kami berdua membunuh sektor pertembakauan. Suka atau tidak, sektor inilah yang hulu ke hilirnya dikerjakan oleh rakyat Indonesia. Karena inilah, kata Agus Salim, banyak penjajah yang silih berganti berdatangan ke Indonesia. Menjajah kita. Betul tidak, Pak Prabowo?”

“Jelas betul, Pak Jokowi!” jawabnya sembari kembali berjoget ria.

“Selain itu, perlu adanya road maps yang progresif dan revolusioner untuk sektor ini, Pak. Harus saling menguntungkan antara petani, pabrikan dan pedang, supaya rakyat semakin sejahtera. Jangan hanya petaninya saja, pabriknya saja, pedagangnya saja, atau bahkan negara yang tidak bekerja apa-apa, yang sejahtera. Semua harus sejahtera.” Azami kembali menanggapi.

“Mashooook terus,” ujar keduanya bebarengan.

Kami melanjutkan menyusuri ladang tembakau. Di tengah jalan, tiba-tiba bumi berguncang kencang. Kami semua jongkok. Semakin kencang goncangan terasa, kami semua ambruk. Tak ada yang dapat kami lihat semua gelap gulita.

Tak berselang lama, mata saya sendiri membuka mata. Sayup-sayup terdengar kakek-kakek bersuara parau melantunkan azan dari masjid seberang. Di hadapan saya seorang kawan masih menggoyang-goyangkan kaki saya.
“Tangi, Cuk! Subuh! Digugah angel temen!”