logo boleh merokok putih 2

Kretek Cerminan Kedaulatan Ekonomi dan Tradisi Budaya Bangsa

Tampilnya Nitisemito Sang Raja Kretek Jawa dengan rokok bal tiga-nya adalah tonggak dimulainya kretek memasuki industri nasional yang berdampak pada ekonomi dan budaya nasional. Pada awal 1914, Nitisemito membuka lahan seluas 14 hektar dan menyerap hingga 15.000 tenaga kerja. Jejaknya diikuti oleh para pengusaha rokok lain di Kudus dan kota-kota sekitarnya.

Kretek sebagai produk budaya adiluhung bangsa tak akan pernah memunculkan percikan konflik sosial. Tetapi kretek yang berkembang sebagai komoditas industri yang berorientasi kapital, tentu menyimpan potensi gesekan sosial politik. Kretek bukanlah penyulut konflik, hanya kepentingan ekonomi dan persaingan dagang yang menimbulkan kompetisi yang keras dan tajam. Sebagai produk budaya yang adiluhung, kretek justru menjadi medium pemersatu, yang mendamaikan kemajemukan budaya Nusantara.

Baca: “Kretek Kajian Ekonomi & Budaya Empat Kota” Sebuah Analisa dalam Kacamata Antropologi Budaya

Rokok di belahan dunia sangat berbeda dengan rokok di Indonesia. Istilah rokok kretek, adalah ramuan antara tembakau dan cengkeh. Inilah yang membedakan rokok kretek dengan rokok-rokok lainnya. Temuan kretek ini kemudian berdampak kepada ranah yang lain yang lebih luas, utamanya di bidang ekonomi. Hingga saat ini industri kretek merupakan salah satu industri yang  paling banyak menyerap tenaga kerja dan juga memberikan hasil income terbesar kepada negara.

Benar apa yang telah dikatakan Prameodya Ananta Toer bahwa kretek merupakan bagian penting dalam penguatan ekonomi lokal. Pemerintah mengeruk pajak yang signifikan dari industri kretek dan penjualnya. Tidak diragukan lagi bahwa rokok kretek merupakan cermin dari kedaulatan ekonomi warga pribumi.  Jadi di snilah kita melihat bahwa kreatifitas tangan masyarakat Indonesia bisa menghasilkan produk yang berdampak besar bagi perubahan masyarakat Indonesia. Kretek sebagai hasil kreatifitas masyarakat Indonesia bukan hanya sekedar produk rokok, melainkan juga mencerminkan tradisi dan budaya Indonesia.

Selanjutnya, dari sisi historis, lahirnya rokok kretek justru dilatarbelakangi oleh aktivitas pengobatan. Kretek diciptakan dalam sejarahnya, untuk menjadi obat asma atau sesak nafas. Penemunya adalah Haji jamhari asal Kudus. Disini terlihat jelas, bahwa asal muasal kretek sebenarnya berbeda dengan rokok-rokok lain yang non-kretek. Kalau rokok non-kretek umumnya diciptakan untuk sekedar motif ekonomi, sedangkan rokok kretek diciptakan  justru dalam rangka mengatasi masalah kesehatan. Melalui perjalanan sejarahnya yang panjang dan kompleks, rokok kretek yang ditemukan oleh Haji Jamhari itu kini berkembang pesat dengan berbagai nama Industri dan merek.

Baca: Sepak Terjang Phillip Morris Menguasai Kretek: Dari Bisnis Hingga Entitas

Tentu saja kalau ditelisik secara lebih jauh sebelum kretek lahir, masyarakat Indonesia sudah terbiasa merokok. Aktivitas ini, warisan turun menurun, dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.  Lahirnya kretek memberikan warna lain dalam perkembangan rokok Nusantara. Dengan ramuan barunya yang berbeda dengan rokok-rokok sebelumnya, kretek kemudian menciptakan sejarah baru dalam dunia rokok di Nusantara.

Pola mengkonsumsi tembakau di dalam masyarakat Indonesia itu kemudian melahirkan beragam produk tembakau termasuk rokok. Menurut Hanusz  produk tembakau pribumi pertama kali muncul di pertengahan abad ke-17 dan disebut dengan bungkus.  Bungkus yang khas (the typical bungkus) diisi dengan tembakau lokal yang pada tahap selanjutnya kemudian dikemas dengan kulit jagung (kelobot) dan daun pisang dan diikat dengan seutas benang.

Selanjutnya pada abad ke -19, istilah bungkus kemudian menunjukkan produk tembakau yang dibungkus di dalam klobot atau kulit jagung. Pada perkembangan selanjutnya, istilah bungkus itu menjadi semakin tereduksi seiring dengan munculnya dua nama baru di dalam produk rokok. Nama baru tersebut adalah strootje yang juga merupakan bahasa Belanda dan satunya lagi klobot  yang berasal dari bahasa Jawa.  Di tahun 1850-an baik strootje maupun kelobot  yang menjadi produksi rumah tangga, tetapi di akhir abad itu, produk rokok yang dibungkus dengan kulit jagung (klobot) itu pertama kali mulai dijual di pasar.

Pada saat yang sama, tepatnya pada tahun 1880,  masyarakat kudus kemudian mulai mencampurkan cengkeh dengan tembakau. Ini merupakan fenomena baru dalam dunia rokok. Hal yang demikian itu kemudian membuat klobot yang berisi cengkeh dan tembakau itu dirduksi dalam skala besar. Ketika cengkeh pertama kali dicampur dengan tembakau dan dibungkus kulit jagung yang dilakukan oleh masyarakat Kudus tersebut, maka rokok itu disebut dengan rokok cengkeh.

Kreatifitas masyarakat Kudus dalam mencampurkan cengkeh dan tembakau itu tergolong penemuan luar biasa. Rokok  yang bahanya cengkeh dengan tembakau itu kemudian segera dikenal dengan istilah kretek yang merujuk pada bunyi kemretek, saat rokok itu disulut akibat bunyi cengkeh. Ketika rokok kretek ini mulai muncul maka rokok ini hanya diperuntukkan rokok dalam memakai bahasa Belanda, strootje. Sementara rokok klobot saat itu dikenal dengan rokok yang tanpa cengkeh. Namun pada tahap perkembangannya hingga sekarang,  rokok klobot juga mengandung cengkeh.

Sangat wajar kalau rokok kretek kemudian muncul sebagai ikon budaya Indonesia. Karena keberadaannya memang sudah mentradisi dan menyatu dengan kehidupan rakyat Indonesia. Rokok kretek sebagai bagian kultur masyarakat Indonesia ini bergerak di berbagai ranah, dari ranah sosial hingga ke ranah spiritual. Rokok kretek juga menjadi simbol budaya dan identitas Indonesia.

Rokok kretek dalam konteks budaya Indonesia bukan hanya digunakan untuk menjalin keakraban sosial antara individu maupun kelompok, tetapi juga sebagai sarana untuk laku spiritual dan aktivitas religiusitas. Mulai dari sisi filosofis, historis dan sosial -antropologis bisa dibuktikan bahwa  rokok kretek memang beda dengan rokok-rokok konvensional, utamanya dengan rokok-rokok asing.

Begitulah, kretek juga bersinggungan dengan ilmu simbolik, semiotika dan semantik. Banyaknya merek-merek kretek yang berbeda-beda, merupakan keakraban dengan tradisi simbolik kehidupan keseharian orang Kudus dan kota lainnya di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa kretek adalah bagian dari keseharian, tradisi, adat istiadat, perilaku budaya dan kehidupan antropologis leluhur bangsa kita. Maka melestraikan kretek sebagai kreatifitas budaya yang adiluhung diera modern saat ini, sama dengan berjihad mengusung kretek sebagai warisan budaya bangsa yang dibanggakan di dunia.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).