OPINI

Kretek Dalam Sejarah Evolusi Budaya Khas Nusantara

Salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kretek. Sejarahnya yang panjang membuat budaya kretek tidak saja telah merangkum pengetahuan dan kreativitas lokal yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi, melainkan juga melahirkan beragam kekayaan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Kretek yang ditemukan di Kudus adalah warisan budaya yang sudah ada bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Lebih dari itu, sampai saat ini budaya kretek telah menjadi bagian dari sistem pencarian hidup masyarakat yang menghidupi jutaan orang.

Lahirnya kretek memiliki akar sejarah dalam budaya tembakau, yaitu cara mengonsumsinya, baik dikunyah atau dihisap. Kebiasaan ini lazim disebut nyusur atau susur. Kita mengenal jenis tembakau susur (mbako susur). Sementara budaya tembakau juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang budaya kapur-sirih, yang secara umum disebut nyirih atau nginang. Dalam budaya nyirih atau nginang nampak posisi tembakau adalah entitas yang bersifat komplemen atau bahkan substitusi. Dalam perkembangannya istilah nyirih, nginang dan nyusur dalam bahasa Jawa secara common sense digunakan secara sinonim. Nyirih, nginang dan nyusur boleh jadi tak lagi memiliki perbedaan semantik alias artinya adalah setali tiga uang.

Baca: Kretek Sebagai Budaya Tak Bendawi

Panjangnya usia tradisi nyirih, nginang dan nyusur masyarakat Nusantara setidaknya sudah tergambar dalam salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan tempat meludah (dubang) serta pahatan orang mengunyah di sampingnya, yang lantas ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai tengah mengunyah sirih. Ini artinya bisa jadi tradisi nyirih atau nginang—karena itu juga keberadaan tanaman tembakau dan tradisi nyusur—sebenarnya sudah dikenal masyarakat Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Tafsiran sejarah ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil juga keliru. Namun menyimak folklore atau tradisi lisan yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, asal tembakau konon memang berasal dari Nusantara. Kata mbako atau tembakau dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan pada saat beliau mengobati orang sakit, “Iki tambaku”.

Sementara di sisi lain, mengingat tidak adanya data literal tentang penggunaan kata “tembakau” sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, maka tafsiran sejarah dominan adalah bangsa Portugis-lah yang disinyalir memperkenalkan tembakau di Indonesia, Tafsiran ini juga didasarkan pada asumsi telaah filologis, di mana kata “bako” atau “mbako” dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis “tumbacco” dan “tobacco”. Menurut Thomas Stamford Raffles, tembakau diperkenalkan pertamakali ke Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1601. Pun demikian pendapat De Candolle, tembakau juga dibawa masuk Indonesia oleh bangsa Portugis pada 1600.

Meski demikian sebenarnya tetap belum ada catatan pasti kapan persisnya tanaman tembakau dan budaya tembakau masuk dan mulai terbentuk di Indonesia.  Akan tetapi, bagaimana entitas tembakau memiliki pertalian khusus dan secara simultan telah membentuk anyaman sejarah dan wajah kebudayaan Indonesia, bukti-bukti faktualnya demikian kasat mata. Baik itu secara historis, ekonomi, sosiologis maupun antropologis.

Lain halnya komoditas cengkeh. Ini sudah dapat dipastikan adalah tanaman endemik Indonesia timur. Pada awal era modern cengkeh ditemukan tumbuh di daratan Pulau Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Bakian di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-18 ketika VOC kehilangan monopolinya terhadap perdagangan cengkeh, bangsa Perancis justru berhasil menyelundupkan bibit tanaman cengkeh ke Reuni dan pulau-pulau Lautan Hindia yaitu Zanzibar dan Madagaskar, dan sukses membudidayakannya di sana.

Baca: KRETEK CERMINAN KEDAULATAN EKONOMI DAN TRADISI BUDAYA BANGSA

Hanya saja bicara fenomena mengonsumsi tembakau dengan cara baru yaitu “dibakar”, barangkali adalah benar bahwa kebiasaan itu mulai dikenal masyarakat Indonesia sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Dalam Babad Ing Sengkala sudah diceritakan tentang kesukaan “merokok” raja paling agung Mataram-Islam yaitu Sultan Agung. Narasi tentang kebiasaan khalayak luas mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar pun terdokumentasi dalam folklore dan lakon ketoprak kisah cinta Rara Mendut, yang mengambil konteks sejarah pada masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645).

Juga dalam berbagai teks susatra Jawa lainnya, yang kebanyakan disusun pada awal abad ke-19. Seperti tertulis dalam Centhini (1814), misalnya. Dalam ensiklopedi Jawa ini digunakan kata “ngudut”, “eses” atau “ses” sebagai istilah umum masyarakat Jawa menyebut kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok baru umum digunakan belakangan pada akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu “ro’ken” . Ini adalah istilah orang Belanda untuk menyebut aktivitas mengisap pipa dan cerutu.

Jika mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar adalah bagian dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi kapur-sirih, maka budaya kretek adalah temuan termuthakir dari sejarah evolusi budaya mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul “Bijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes”, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya terkini, pada awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun atau kulit buah. Klobot adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen atau rokok diko berasal dari daun nipah; rokok pupus berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung berasal dari kulit enau.

Baca: “KRETEK KAJIAN EKONOMI & BUDAYA EMPAT KOTA” SEBUAH ANALISA DALAM KACAMATA ANTROPOLOGI BUDAYA

Gulungan tembakau itu dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan patut diduga cengkeh sebenarnya juga sudah ditambahkan, meski barangkali pemakaiannya belum terlalu populer. Dalam sejarah lisan masyarakat Kudus, popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau setidaknya dicatat sebagai hasil temuan Haji Djamhari dari Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir antara tahun 1870 – 1880. Dengan demikian usia budaya kretek kini sudah melebihi 125 tahun. Usia yang lebih dari cukup untuk memasukkan kretek dalam kategori warisan budaya, mengingat kriteria batasan usia sebuah cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah berusia limapuluh tahun atau lebih.

Apa yang mesti dicatat, tembakau yang digunakan dalam produksi kretek hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah di Indonesia. Di Jawa dikenal berbagai jenis tembakau rakyat atau sering disebut juga ‘tembakau asli’. Oleh kalangan petani, tembakau asli ini sering disebut dengan nama ‘tembakau Jawa’ atau ‘tembakau rajangan’. Yang antara lain tembakau Garut, tembakau Temanggung, tembakau Wonosobo, tembakau Lumajang, tembakau Bojonegoro, tembakau Weleri, tembakau Kendal, tembakau Klaten, tembakau Yogyakarta, tembakau Madura, dan lain sebagainya. Sementara di luar Jawa juga menghasilkan tembakau rakyat antara lain daerah Lombok, sebagian Bali, Sumatra Barat dan Sumatera Selatan. Hasilnya digunakan membuat rokok kretek dan rokok putih, juga untuk konsumsi dengan pipa, rokok tradisional maupun untuk dikunyah (mbako susur). Jenis tembakau rakyat inilah yang banyak digunakan dalam produksi kretek.

Dari banyaknya ragam jenis tembakau varietas lokal tersebut, jelas menunjukkan adanya local knowledge sebagai buah pengalaman panjang tradisi budidaya tembaku di Indonesia. Ambil contoh tembakau Garut, misalnya, di sana dikenal varietas Kecuhejo, Keduomas, Keduhideung, Kedubuntutmeri, Kedujonas, Kedurancing, Palumbon, Gambungcere, dan Nani. Sedang tembakau Temanggung dikenal nama beberapa varietas seperti Gober, Ulir, Sitieng, dan Kenongo. Selain itu, ada satu varietas khusus yang dianggap paling istimewa yaitu tembakau Kemloko  dan Srintil dari Temanggung Jawa Tengah. Adapun tembakau Wonosobo terdiri varietas Gober, Kenongo, Cengkis, Gembel, Lumut, Dunglong, dan lain sebagainya.

Baca: KRETEK DALAM PUSARAN BUDAYA BANGSA INDONESIA

Selain sistem pengetahuan lokal tentang budidaya, budaya kretek juga merangkum kreativitas dan ketrampilan lokal sebagai bentuk manifestasi dari local knowledge lainnya, yakni seni meramu kretek. Seperti kita tahu, citarasa (taste) kretek ditentukan tiga hal, yakni tembakau, dan cengkeh perisa (saus). Di sini tembakau dan cengkehnya sudah merupakan hasil campuran (blending) berbagai tembakau dan cengkeh dari berbagai daerah. Kemudian keduanya diramu dengan perisa dan diproses dengan cara tertentu yang bisa jadi satu pengrajin dengan pengrajin lain berbeda cara agar menghasilkan citarasa yang berbeda dan khas. Sedangkan perisa adalah hasil dari ekstraksi buah-buahan atau berbagai bahan rempah tertentu, selain sebagai penambah rasa juga berfungsi sebagai penambah aroma.

Lebih dari itu, menariknya kekayaan citarasa (taste) khas kretek juga dipengaruhi oleh latarbelakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Tidak aneh jika setiap wilayah cenderung memiliki selera yang berbeda-beda. Produk kretek dari para pengrajin Jawa Timur seumpama, cenderung memiliki rasa yang berbeda dibandingkan produk pengrajin Jawa Tengah. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali “dikuasi” oleh merek kretek tertentu, dan pelosok wilayah yang lain “dikuasai” merek yang lain.

Unsur estetis lainnya adalah produksi kretek yang dikerjakan dengan tangan (hand made). Tahapan produksi ini dimulai dari nglinting dan diakhiri dengan mbatil. Inilah sisi estetis kretek, selain bentuk dan cara melintingnya secara manual yang juga telah diwariskan antar generasi. Demikian nglinting dan mbatil serta bentuk kretek non-filter yang khas pun adalah bentuk kreativitas dan ketrampilan lokal lainnya yang juga patut dicatat.

Jadi, tidak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius Nusantara.