Sekilas kretek hanya barang konsumsi yang sepele. Namun jika kita mau mendedah sejarahnya yang panjang dan menelisik lebih jauh ke dalam bangunan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di berbagai daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek, maka akan kita saksikan bagaimana budaya tembakau dan kretek telah terjalin membentuk sebuah budaya yang hidup. Tidak hanya itu, kretek adalah sebuah identitas budaya, dan mengakar, yang kemudian menjadi simbol pertahanan Bangsa dari penjajah.
Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata yang utuh dan jernih, jelas sekali bahwa kretek dan budaya kretek telah mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai “Budaya dalam Selinting Rokok” sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, rokok adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya.
Dalam pembacaan antropologi-simbolik khususnya teori paska kolonial, tembakau dan kretek justru dapat dipandang sebagai simbol penting dalam sejarah perlawanan bangsa terhadap struktur kekuasaan kolonial. Tembakau dan kretek adalah barang konsumsi dan sekaligus simbol budaya. Simbolis di sini dalam perspektif arti dan konteks proses ekonomi dan politik yang mengubah wajah masyarakat Indonesia. Langsung atau tidak langsung, kretek sebagai simbol budaya telah memberi sumbangsih pada proses pembentukan indentitas kultural bangsa dan nasionalisme Indonesia.
Sebagaimana telah disinggung di beberapa tulisan, sejarah tradisi tembakau yang nantinya kemudian melahirkan tradisi kretek, jelas tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Nusantara mengonsumsi sirih. Tradisi nyirih atau nginang yang bahan utamanya ialah buah pinang, gambir, sirih dan kapur, tercipta dari kondisi alam Indonesia. Komponen lain seperti cengkeh bisa ditambahkan.
Dalam berbagai budaya masyarakat di Nusantara, tradisi mengonsumsi sirih merupakan praktik keseharian, namun dalam konteks tertentu sekaligus juga memiliki fungsi ritual. Di sini sirih didudukkan dalam struktur ritual simbolis yang memadukan lingkungan material dengan dunia spiritual sebagai sarana masyarakat memaknai dunia sekitarnya. Patut diduga kemungkin besar pada awalnya tradisi sirih lekat digunakan sebagai ritual persembahan bagi pemujaan animistik.
Pada masyarakat Dayak, misalnya, sirih sering digunakan untuk mengusir roh penyebab kematian dan penyakit. Ludah sirih yang berwarna merah (bahasa Jawa: dubang, idu abang) diyakini sangat mujarab menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam masyarakat ini sirih dan nasi adalah sesajen yang lazim digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Demikian juga masyarakat Jawa, dalam setiap ritual penting mereka kapur sirih sengaja disediakan untuk persembahan bagi arwah para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam berbagai praktik ritual keagamaan di Nusantara, baik itu Hindu dan Budha maupun agama-agama lokal. Selain itu, bagi masyarakat Jawa interaksi sosial juga akan lebih dipermudah melalui aktivitas menyirih bersama atau menyajikan sirih.
Sejalan dengan masuknya tembakau di Indonesia, anggaplah asumsinya pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, mengunyah tembakau menjadi praktik umum terkait dengan tradisi mengunyah sirih. Penambahan tembakau pada tradisi nyirih atau nginang membuktikan penerimaan masyarakat Nusantara terhadap tembakau. Munculnya tembakau mendorong terciptanya alternatif dalam struktur ritual dan simbolis. Ini setidaknya nampak dalam penggunaan istilah nyirih, nginang dan nyusur dalam bahasa Jawa, yang secara common sense lazim digunakan secara sinonim dan boleh jadi sama sekali tidak memiliki perbedaan semantik.
Gambaran hubungan yang sangat erat antara sirih dan tembakau bagi kehidupan masyarakat Jawa ditulis Jhon Joseph Stockdale pada awal abad ke-19. “Mereka nyaris tak berhenti menyirih dan juga tembakau produksi setempat (Jawa) yang mereka juga isap melalui pipa dari buluh.” Tentang pemakaian sirih dan tembakau di kalangan perempuan, Stockdale mengambarkan: “Mereka mengunyah sirih, mereka juga menguyah tembakau Jawa yang membuat ludah mereka berwarna merah; dan ketika mereka melakukannya dalam waktu lama, tanda hitam terlihat di pinggir bibir mereka, gigi mereka menjadi hitam, dan mulut mereka terlihat tak sedap dipandang.
Tanpa terkecuali juga terlihat dalam tradisi ritus masyarakat Jawa. Rokok berfungsi sebagai keperluan sesajen atau sesaji. Ini nampak dalam ritual Slametan masyarakat Jawa secara umum. Andrew Beatty menjelaskan bahwa slametan ialah sebuah ritual makan yang terdiri atas persembahan, benda-benda simbolis (sesajen), ceramah dan doa bersama. Bentuk upacara ini adalah permohonan berkah generasi saat ini kepada para leluhurnya dengan cara membuat sesajen yang isinya antara lain bunga tujuh rupa, rokok, kopi, bubur lima warna, dan lain sebagainya tergantung tujuan yang hendak dicapai ritual tersebut. Tradisi menyuguhkan sajian rokok kretek dan tembakau berikut makanan dan minuman biasa dilakukan dalam tradisi jagong bayen atau kenduri.
Rokok juga menjadi komponen sesaji penting bagi masyarakat Dieng Kabupaten Wonosobo. Dalam ritual ruwatan anak-anak berambut gimbal, misalnya, rokok kawung selain adalah sesaji khusus juga merupakan perantara komunikasi dengan Kiai Tumenggung Kolodete. Di Masyarakat Banyumas menyebut rokok untuk keperluan sesaji sebagai “rokok sajen”. Sedang di beberapa daerah di Jawa Barat, kebiasaan sesaji rokok dikenal dengan istilah “nyuguh” atau “nyungsung”.
Sementara dalam ritual masyarakat Dayak, tembakau dan sirih juga menduduki posisi yang sama pentingnya. Untuk membuat sesajen bagi mereka yang sudah mati atau yang sedang menjelang ajal, seringkali tembakau digunakan secara bersamaan atau bahkan sebagai benda subsitusi terhadap sirih. Akhir abad ke-19, tercatat sirih dan rokok umum dijadikan persembahan masyarakat Dayak bagi orang yang telah meninggal. Tembakau, sirih dan beras dikuburkan bersama orang yang meninggal sebagai simbol harapan tentang kehidupan setelah kematian yang terberkahi.
Sedang dalam perspektif paska kolonial, sejarah mencatat hal penting tentang pergeseran makna simbolis tradisi sirih, khususnya terkait perilaku meludah sirih. Ada sebuah narasi yang ditulis pada tahun 1845 yang menceritakan kemarahan bangsawan Bali, I Gusti Ketut Jelantik, kepada Belanda. Dia “meludahkan sirih pada surat izin berlayar Belanda”. Sejak itu makna komunikatif sirih dan tembakau dalam perilaku meludah seringkali digunakan sebagai cara mengekspresikan kemarahan terhadap rezim kolonial. Meludah sirih memainkan peran aktif dalam membangun simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan menguatnya sentimen antikolonial, yang dalam perjalanan sejarahnya nanti diambil alih oleh kehadiran eksistensi kretek.
Kebijakan politik etis. Terdorong oleh misi memperadabkan negeri jajahan dan sekaligus karena bermaksud mencari keuntungan yang lebih besar, pemerintah Belanda mempromosikan nilai-nilai gaya hidup modern. Di sini tembakau atau rokok merupakan salah satu obyek budaya yang dipromosikan. Budaya nyirih, nginang atau nyusur kemudian dicap bertentangan dengan kemajuan dan modernitas; diasosiasikan dengan klenik dan perilaku ketinggalan zaman. Adanya standar kebersihan dan keindahan juga membuat praktik nyirih, nginang atau nyusur pun menjadi lebih susah berkembang di kalangan elit masyarakat jajahan maupun ketika hendak diadopsi oleh orang Belanda. Dalam perkembangnya tradisi nyirih, nginang atau nyusur beserta perilaku meludah di sembarang tempat akhirnya justru nampak menjadi penanda inferioritas budaya masyarakat.
Implikasinya kebiasaan nyirih, nginang atau nyusur perlahan-lahan namun pasti segera digantikan kebiasaan merokok. Terlebih waktu itu benda seperti rokok adalah salah satu simbol modernitas, kemajuan dan prestise sosial. Citra itu sebagian besar terpatri kuat karena bentuk tampilannya, yaitu tembakau yang digulung rapi dan berbalut kertas putih.
Awalnya “rokok putih” menduduki tempat yang terhormat. Sebelum diproduksi secara lokal, rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia yang harganya mahal dan tidak terjangkau kalangan kebanyakan. Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang pada waktu itu umum disebut “bungkus”, yaitu rokok yang dilinting sendiri (tingwe) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang seperti klobot atau kawung atau klembak menyan. Merokok bungkus dikaitkan dengan gaya hidup “kuno” ala pedesaan yang berbeda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.
Namun dominasi dan hegemoni budaya rokok putih ini sebenarnya relatif tidak berlangsung lama. Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek sebagai simbol budaya popular pada akhir abad ke-19. Tepatnya pada titik kisar antara tahun 1870 – 1890. Praktik tradisi nyirih, nginang atau nyusur pada fase pra-kolonial, yang memadukan daun sirih, pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh, dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.
Lebih dari itu, kretek juga hadir sebagai praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara. Adanya komponen campuran cengkeh dan rempah dalam produk olahan tembakau tersebut jelas mengingatkan masyarakat Indonesia pada kenangan akan tradisi nyirih, nginang atau nyusur. Korelasi ini dibentuk melalui hubungan sejarah panjang antara tembakau dan cengkeh sebagai bahan tambahan dalam tradisi nyirih atau nginang dulu, dan yang kini berkembang menjadi kretek. Munculnya aroma khas dari perpaduan tembakau dan cengkeh plus rempah (perisa) yang terbakar jelas menjadi karakteristik pembeda yang membuat cita rasa kretek menjadi demikian khas dan berbeda dengan rokok-rokok modern lainnya.
Pada awalnya ia disebut “rokok cengkeh”. Tapi, setelah popularitasnya meningkat, kemudian dikenal dengan nama kontemporernya, “kretek”. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: “kretek-kretek”. Perubahan nama menjadi kretek adalah bentuk ekspresi sikap nasionalistik, sebuah simbol yang menjadi determinan pada masa paska kolonial.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, pada masa pendudukan Jepang kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Jepang mendorong ideologi dewesternisasi dalam untuk memerangi pengaruh Barat. Sejauh apa kebijakan politik kebudayaan Jepang memiliki pengaruh? Sudah tentu susah menjawabnya. Namun demikian kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity), yang notabene dihadap-hadapkan dengan “rokok putih” ala Barat. Seturut Pram, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.
Dalam konteks inilah penamaan “rokok putih” yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial yang akhirnya bermuara pada perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan pembeda antara kami (the self) dan mereka (the other). Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat).
Demikianlah, boleh dikata tradisi tembakau khususnya budaya kretek, langsung atau tidak langsung, kemunculannya memiliki peranan penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Ini nampak dalam sejarah pembentukan politik-identitas negara-bangsa (nation-state) yang berupa tumbuhnya identitas kultural, mekarnya rasa nasionalisme dan guratan mendalam tentang jatidiri kei-Indonesiaan yang berakar pada tradisi masa silam, yaitu budaya nyirih, nginang atau nyusur.