OPINI

Mempertahankan Tradisi dan Kebudayaan Kretek

Dalam sejarah panjang negeri yang terdiri dari bermacam suku dan bahasa yang kita kenal sebagai Indonesia, kretek tak bisa dipisahkan darinya. Sejarah panjang negeri ini berpilin-berkelindan dengan sejarah kretek yang menjadi salah satu ciri khas bangsa ini hingga hari ini. Kretek yang terdiri dri dua bahan baku utama yaitu cengkeh dan tembakau, bisa dikatakan menjadi salah satu sebab mengapa beberapa negara di Eropa bersaing dan berperang berebut menguasai negeri ini.

Mulanya pada abad ke-16, Spanyol dan Portugis bersaing memperebutkan kepulauan yang dikenal dengan pulau rempah-rempah di wilayah timur Indonesia. Mereka berperang dan berusaha mendapat pengaruh kerajaan-kerajaan di Kepulauan Maluku untuk bisa menguasai cengkeh dan rempah-rempah lainnya yang menjadi primdona di pasar Eropa. Selanjutnya, Inggris, Belanda, hingga Perancis turut serta memperebutkan pulau-pulau yang banyak ditumbuhi tanaman rempah-rempah tersebut hingga pada akhirnya Belanda berhasil menguasai dan memonopoli rempah-rempah di Kepulauan Maluku.

Perang-perang yang terus dilakukan Belanda untuk menguasai wilayah jajahan mereka sepenuhnya membutuhkan begitu banyak biaya. Salah satu sumber pendanaan mereka untuk kebutuhan perang adalah dengan memonopoli penjualan rempah-rempah. Lebih dari itu, mereka juga menerapkan sistem tanam paksa kepada rakyat jajahan dengan komoditas yang ditanam hampir seluruhnya mesti disetorkan kepada pihak penjajah. Mulai dari Sumatera hingga Maluku, sistem tanam paksa ini diberlakukan. Di beberapa tempat, komoditas tembakau menjadi komoditas pertanian yang wajib ditanam warga. Di Deli Serdang dan di Jember misalnya.

Berkat monopoli ini, dan berkat tanam paksa yang diterapkan penjajah, Belanda berhasil menutup kerugian perang dan mampu membawa keuntungan besar untuk membangun negeri mereka. Keuntungan dari monopoli rempah-rempah dan sistem tanam paksa mengubah negeri Belanda dari sebelumnya kurang diperhitungkan menjadi negeri yang sangat diperhitungkan di Eropa.

Pada saat yang hampir bersamaan, masyarakat di penjuru negeri juga sudah memanfaatkan rempah-rempah dan tembakau sebagai produk konsumsi, pengobatan, dan ritual-ritual tradisi dan kebudayaan mereka. Selain itu, keduanya juga digunakan oleh masyarakat sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam hal ini, rempah-rempah dan tembakau masuk dalam pusaran pertarungan di negeri ini, menjadi latar belakang kedatangan penjajah untuk menguasai negeri ini, sekaligus menjadi alat perlawanan masyarakat negeri ini menghadapi para penjajah itu.

Hingga kemudian, salah satu dari rempah-rempah itu, yaitu cengkeh, menyatu bersama tembakau dalam wujud kretek sebagai alat perlawanan baru terhadap penjajah. Adalah Haji Djamhari yang pada periode 1870 hingga 1880 menemukan ramuan kretek ini. Cerita-cerita yang dipercaya umum menyebutkan bahwa Haji Djamhari menemukan ramuan kretek secara tidak sengaja. Ia mengoleskan minyak cengkeh ke lintingan tembakau miliknya kemudian mengisapnya. Ia melakukan itu karena penyakit asma yang Ia derita. Setelah merasa cocok, Ia kemudian tak sekadar mengoleskan minyak cengkeh ke lintingan tembakau, namun mencampur bunga cengkeh yang sudah dikeringkan dengan tembakau kemudian dilinting dan diisap. Ramuan itu mampu meredakan penyakit asma yang diderita Haji Djamhari.

Pada 1906 Nitisemito mendirikan perusahaan rokok kretek di Kudus bernama Bal Tiga. Di tengah arus perubahan perlawanan terhadap penjajah dari perlawanan-perlawanan fisik menuju gerakan-gerakan terorganisir kaum terpelajar, Nitisemito dan perusahaan rokok kretek Bal Tiga ambil peran dalam perlawanan itu. Ia berhubungan erat dengan tokoh-tokoh nasional yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, Nitisemito juga dipercaya memberikan sumbangan dana yang tak sedikit kepada mereka yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sumbangan itu diambil dari keuntungan perusahaan Bal Tiga.

Tidak mengherankan Nitisemito bisa ikut menyumbang dana untuk kemerdekaan Indonesia karena keuntungan yang diraih perusahaannya sangat besar ketika itu. Nitisemito sampai digelari raja kretek dan 18 tahun setelah perusahaannya berdiri, Ia mampu mempekerjakan sekira 15.000 orang. Perkembangan pesat perusahaannya juga dianggap sebagai simbol perlawanan pribumi terhadap pengusaha-pengusaha asing yang membantu kelestarian penjajah. Atas dasar inilah banyak pihak yang berusaha menghancurkan Nitisemito dan perusahaan rokok kretek miliknya.

Selepas Indonesia merdeka, produk kretek kembali berhasil menguasai pasar dalam negeri sejak periode 70an hingga saat ini. Saat ini, lebih 90 persen pasar rokok nasional dikuasai produk rokok kretek dengan ragam variannya. Kondisi ini berdampak langsung terhadap petani cengeh dan petani tembakau sebagai pemasok bahan baku produk kretek. Sehingga, jika kita hendak melihat bentuk nyata kedaulatan dan kemandirian petani, lihatlah para petani cengkeh dan petani tembakau.

Pasar besar produk rokok kretek di Indonesia (yang cukainya saja dalam lima tahun terakhir mampu memberi pemasukan kepada negara mencapai Rp140 trilyun per tahun) tentu saja mengundang minat perusahaan asing untuk ikut bersaing. Sayangnya, seperti pendahulunya, sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan-perusahaan asing itu masuk bersaing dengan cara-cara yang kotor. Jika dahulu VOC menggunakan kekerasan bersenjata untuk memonopoli cengkeh dan tembakau, perusahaan-perusahaan asing yang bersaing di pasar rokok dalam negeri menggunakan cara-cara kotor dalam persaingan dalam bentuk kampanye-kampanye buruk perihal kretek dan memaksakan aturan-aturan yang berusaha membunuh kretek.

Lewat dalih kesehatan, mereka mengampanyekan bahwa kretek itu buruk bagi kesehatan. Lewat regulasi, salah satunya dibuatlah regulasi FCTC yang salah satu poinnya mewajibkan penghilangan cengkeh dalam kandungan sebatang rokok. Tentu saja ini adalah upaya nyata membunuh produk kretek yang memang mengharuskan keberadaan cengkeh dalam kandungan sebatang rokok.

Sejarah mencatat, karena rempah-rempah dan tembakau, dan karena kretek, upaya menjajah negeri ini semakin menggila dan terus menguat hingga akhirnya Indonesia merdeka. Sejarah juga mencatat, lewat rempah-rempah, tembakau, dan produk kretek, para pejuang kemerdekaan negeri ini menjadikannya simbol sekaligus salah satu sumber pendanaan untuk melakukan perlawanan.

Kini, produk kretek yang sudah menjadi kebudayaan di negeri ini hendak kembali diganggu keberadaannya, bahkan hendak dihilangkan. Tidak bisa tidak, sebagai pencinta kretek dan sebagai warga negara Indonesia yang kretek menjadi salah satu kebudayaan di dalamnya, kita harus melawan semua upaya menghancurkan produk kretek. Menang atau kalah, perkara belakangan, yang penting kita sudah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, meminjam perkataan Nyai Ontosoroh dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis yang juga menggunakan kretek sebagai salah satu simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda, penjajah Jepang, pemerintah Soekarno, Rezim Orba, yang silih berganti memenjarakannya.