REVIEW

Rokok Philip Morris, Sebuah Usaha Mencederai Citarasa Kretek?

Hari sudah cukup larut malam ketika saya memutuskan untuk pergi ke luar rumah di utara Yogya menuju arah selatan menyelusuri Jalan Kaliurang. Beberapa menit lagi memasuki jam 12 malam dan hari berganti. Di kanan jalan, saya singgah di gerai Indomaret untuk membeli rokok kretek favorit saya. Saya juga menanyakan kepada pelayan gerai apakah rokok baru bermerek Philip Morris sudah tersedia di sana. Sekira satu hingga dua pekan sebelumnya, saya sudah mendapat kabar akan ada produk rokok kretek baru yang beredar di pasaran bermerek Philip Morris.

Pelayan gerai mencari rokok yang saya tanyakan di jejeran produk-produk rokok yang dipajang persis di belakang kasir. Ia coba mencari beberapa lama, berpindah dari pajangan rokok di belakangnya ke bagian bawah meja kasir, mengejek stok rokok yang belum dipajang. “Wah, habis, Mas. Kemarin sih masih ada saya lihat.” Ujar pelayan gerai kepada saya.

Saya lantas membayar pesanan rokok kretek favorit saya kemudian meninggalkan gerai Indomaret dengan asumsi, gerai-gerai Indomaret lainnya sudah menjual produk rokok baru ini. Karena di gerai yang baru saya datangi sudah menjual, sayangnya ketika saya hendak membeli, sudah habis.

Perjalanan kembali saya lanjutkan. Kembali menyelusuri Jalan Kaliurang ke arah selatan. Selepas melintasi Jalan Lingkar Yogya, saya menepikan sepeda motor ke kiri jalan, singgah di gerai Circle K, tujuannya sama, hendak membeli produk rokok kretek baru bermerek Philip Morris. Dari pelayan di sana, saya mendapat informasi gerai-gerai Circle K belum menjual produk tersebut. Tak jauh dari sana, ada gerai Alfamart. Saya coba singgah lagi, dan produk rokok yang saya cari belum juga saya dapat. Pada akhirnya saya mendapat produk rokok itu setelah mengunjungi dua gerai Indomaret lagi.

Usai mendapatkan produk rokok Philip Morris yang belum lama keluar untuk saya cicipi, saya tidak pulang ke rumah. Saya memilih menemui beberapa orang rekan saya di komunitas Lincak Lembah Code yang letaknya tak jauh dari bangunan Rumah Sakit Dr. Sarjito. Ada lima orang di sana ketika saya tiba, Yayan, Buluk, Edi, Budi Wilsky, dan Ega. Ditambah saya jadi enam orang. Semua dari kami penikmat rokok kretek dan memiliki rokok kretek favoritnya masing-masing. Saya Djarum Super MLD (SKM Mild) dengan bungkus berwarna hitam, Buluk Djarum 76 (SKT), Edi Gudang Garam Internasional (SKM Reguler), Budi Wilsky Gudang Garam Signature (SKM Reguler), Yayan sudah lebih lima tahun merokok kretek yang ia linting sendiri, membeli tembakau rajangan dan cengkeh di pedagang tembakau langganannya, dan sesekali mencampur rokok kreteknya dengan serbuk kemenyan. Dan yang terakhir Ega. Sejak mengonsumsi vape beberapa waktu lalu, ia belum meninggalkan mengonsumsi rokok kretek. Rokok kretek yang ia isap, apa saja, selalu minta kepada rekan-rekannya yang kebetulan ada didekatnya.

Memiliki brand Philip Morris Bold, rokok kretek baru yang dikeluarkan pabrikan milik Philip Morris ini memiliki bungkus rokok yang didominasi warna hitam. Saat saya membeli, per bungkusnya dibanderol dengan harga Rp12 ribu. Mungkin masih promosi. Per bungkus berisi 12 batang rokok kretek. Jenis rokok kretek ini adalah sigaret kretek mesin (SKM). Namun saya belum bisa memastikan apakah ia SKM reguler atau SKM Mild.

Saya lantas membuka bungkus rokok Philip Morris yang baru saya beli, menggambil satu batang rokok untuk mencicip, dan meminta ke lima rekan saya lainnya untuk ikut mencicip produk rokok kretek baru ini. Rokok saya selipkan di sela bibir, kemudian membakar dan mengisapnya. Aroma yang keluar usai rokok dibakar dan diisap begitu wangi. Terlalu wangi. Mirip dengan aroma buah yang biasa keluar ketika saya mencium aroma dari asap vape yang diisap para penikmat vape.

Lima kali isapan, kepala saya mendadak pusing, langit-langit mulut saya terasa kering dan seakan ada sesuatu yang tersangkut di sana. Yayan juga merasakan pusing, sedang Edi dan Buluk merasakan mirip dengan apa yang saya rasakan di langit-langit mulut kami. Mungkin karena ini kali pertama kami mencicip rokok ini. Budi Wilsky merasakan hal yang biasa saja, seperti merokok produk lainnya. Hanya saja ia merasa produk rokok ini cukup ringan saat diisap, tidak mengganggu tenggorokan. Saya pun merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan.

Dari semua kami yang mencicip produk rokok Philip Morris malam itu, hanya Ega yang berkomentar positif. Ia merasa rokok tersebut enak, ia juga cocok dengan aromanya yang bagi kami selain Ega, menganggap aroma rokok tersebut memiliki aroma yang terlalu mencolok dengan aroma buah atau sejenis vape lainnya, jauh berbeda dengan aroma rokok kretek pada umumnya yang masih sangat terpengaruh cengkeh dalam produk rokok kretek. Ya, keberadaan cengkeh, baik dari aroma juga dari rasa rokok kretek Philip Morris ini, seakan hilang tak berbekas. Tak ada sama sekali jejak-jejak cengkeh dalam produk rokok baru ini.

Dari sini, saya mencoba membikin sebuah kesimpulan. Produk rokok kretek Philip Morris ini saya duga diciptakan sebagai produk yang akan mengantar para penikmat rokok kretek beralih ke vape atau jenis produk alternatif di luar rokok kretek lainnya. Dalam produknya, kandungan cengkeh seakan berusaha dihilangkan. Padahal itu sesungguhnya inti daripada sebuah produk kretek. Hingga pada akhirnya, pendapat subjektif dari saya, rokok ini tidak enak, saya enggan mengisapnya lagi. Pendapat subjektif saya lainnya, rokok ini belum pantas disebut sebagai rokok kretek, karena rasa dan aroma cengkeh yang menjadi syarat utama sebuah produk dikatakan sebagai produk kretek, sama sekali tidak berbekas di sana.