Kretek sebagai produk khas Indonesia ditemukan oleh Djamhari di Kudus, antara 1870-1880. Djamhari menemukan kretek ketika ia mencampur tembakau dan rajangan cengkeh yang ia linting kemudian dihisapnya untuk menyembuhkan penyakit sesak dadanya. Eksperimen tersebut berhasil.
Seiring berjalannya waktu, kretek menjadi semakin tren dikonsumsi oleh masyarakat, hingga muncul perusahaan kretek, mulai dari home industry hingga perusahaan besar. Berdasarkan penelitian Van der Reijden pada 1935 melaporkan, di Kudus saja pada 1932 sudah ada 165 pabrik.
Baca: Kudus; Kota Santri dan Kota Kretek
Salah satu tokoh terkenal dalam sejarah kretek adalah Nitisemito, sang raja kretek, peletak fondasi kebangkitan industri kretek nasional. Nitisemito menjadi raja kretek dengan mengibarkan merek Bal Tiga. Ketenaran kretek ini kemudian menjadikan Kretek Jawa menjadi saingan rokok putih impor.
“Van der Rijden menyatakan, pada 1931 produksi rokok putih mencapai 7.100.000.000 batang per tahun. Sedang produksi rokok kretek 6.422.500.000 batang,” tulis Rudy Badil dalam buku Kretek Djawa.
Lantas, pemerintah kolonial ambil sikap dan membedakan cukai produk rokok putih dan asli ini, dengan mengeluarkan Staadsblad Nomor 427 Tahun 1935, yang mengatur soal harga eceran minimum rokok putih, untuk tak menekan industri rakyat kecil. Menurut buku tersebut, kretek pun dianggap komoditas unggulan dan penyerap tenaga kerja, serta menyumbang cukai untuk kas negara.
Menurut Gugun El Guyanie, dkk dalam buku Ironi Cukai Tembakau: Karut-marut Hukum dan Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau di Indonesia, awalnya cukai tembakau di masa kolonial diatur melalui Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, kemudian Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan terakhir Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang Tabaksaccijns Ordonnantie (Ordonansi Cukai Tembakau).
“Semua peraturan itu mengatur soal pita cukai, bea ekspor, dan bea masuk impor. Termasuk di dalamnya ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pengutipan cukai itu,” tulis Gugun El Guyanie, dkk dalam Ironi Cukai Tembakau.
Cukai Rokok Pasca Kemerdekaan
Usai kemerdekaan, Indonesia kemudian menerbitkan aturan pungutan cukai tembakau, yang dituangkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau.
Peraturan ini merevisi ordonansi tanggal 1 September 1949 (Staatsblad Nomor 234). Gugun El Guyanie, dkk dalam Ironi Cukai Tembakau menyebutkan, peraturan ini mengatur harga jual eceran, penurunan pungutan cukai, dan penetapan golongan pengusaha tembakau yang diberi beban membayar cukai.
Kemudian, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1951 tentang perubahan tabaksaccijnsverordening (peraturan cukai tembakau) (Staatsblad Nomor 560). Gugun, di dalam buku yang sama menulis, peraturan ini mengatur penetapan besarnya pungutan cukai hasil tembakau, dengan cara melekatkan pita cukai warna-warni yang beragam di beberapa jenis atau penggolongan hasil tembakau yang diproduksi.
Baca: Rokok Sin Dibuat dalam Keadaan Suci dari Hadast
Lantas, terbit Undang-undang Nomor 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad Nomor 517). Aturan ini ditetapkan dengan tujuan mengurangi dampak makin banyaknya perusahaan rokok yang bangkrut, akibat tingginya cukai tembakau.
Pemerintah sengaja menggelontorkan subsidi untuk perusahaan-perusahaan rokok, berupa penurunan dan pembebasan cukai bagi pengusaha rokok selama setahun. Peraturan ini menetapkan cukai dari setiap batang rokok.
Di masa Orde Baru, dikeluarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai. Kemudian, Undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah, seperti PP Nomor 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, PP nomor 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan PP Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana Bidang Kepabeanan dan Cukai.
Setelah Orde Baru tumbang, keluar Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Menurut buku Ironi Negeri Tembakau, cukai hasil tembakau kini dimasukkan ke dalam perhitungan dana bagi hasil, antara pemerintah pusat dan daerah penghasil tembakau. Sehingga lahir istilah dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).