Uncategorized

Cerita Rakyat Tentang Kretek dan Tembakau di Tiga Kota (Kudus, Temanggung, Madura)

Dalam tradisi lisan mengenai tembakau dan hasil olahan tembakau (kretek), Kudus, Temanggung dan Madura adalah tiga kota yang memiliki cerita rakyat berhubungan dengan Sunan Kudus. Ketiga kota tersebut pertembakauan.

Cerita rakyat yang melegenda tentang Kudus menjadi kota kretek, Temanggung dan Madura sebagai kota budidaya tembakau ada beberapa versi.

Pertama; gara-gara banyak pengakuan akan kecerdasan Sunan Kudus, menjadikan ketenaran di bumi Nusantara. Sunan Kudus selain seorang yang ‘alim dalam bidang agama, juga mempunyai kelebihan dalam bidang spiritual. Dibuktikan dengan cerita rakyat yang mengakar di masyarakat, konon Sunan Kudus dapat membersihkan wabah penyakit yang melanda di Palestina atau kota Yarussalem. Namun tidak ada keterangan sedikitpun wabah apa yang diderita masyarakat Yarussalem saat itu. Akan tetapi cerita rakyat tersebut sudah menjadi warisan cerita rakyat yang turun temurun. Lain halnya cerita tersebut, bahwa dalam perjalanan berdakwah, Sunan Kudus memilih jalan damai, mengakulturasikan budaya Islam dengan budaya lokal (peradaban Hindu). Sehingga, sudah sepantasnya Sunan Kudus lebih disukai masyarakat. Keharuman dan ketenaran Sunan Kudus menjadi bahasan para elit agama saat itu, sehingga muncul rasa penasaran yang berlebih oleh Ki Ageng Kedu. Pada akhirnya Ki Ageng Kedu melakukan perjalanan ke Kudus untuk menemui Sunan Kudus.  Cerita yang beredar di masyarakat, perjalanan Ki Ageng Kedu dengan menggunakan tampah, yaitu berbentuk bulat agak besar seperti nampan, terbuat dari anyaman bambu di bingkai dan diikat dengan bambu. Dengan tampah tersebut Ki Ageng berputar-putar di atas tempat tinggal Sunan Kudus (disekitar masjid Menara Kudus), sambil berteriak mencari Sunan Kudus.

Pada saat itu Sunan Kudus bersama santrinya baru selesai sholat berjamaah di masjid. Setelah Sunan Kudus mengerti bahwa dirinya di cari seseorang, kemudian Ki Ageng Kedu disuruhnya turun. Namun himbauan Sunan Kudus tidak di indahkan Ki Ageng Kedu, kemudian Sunan Kudus melemparkan “bakiak”, yaitu sandal yang terbuat dari kayu ke arah Ki Ageng Kedu dan kena. Akhirnya Ki Ageng Kedu kehilangan arah dan jatuh di comberan (sekarang terkenal dengan sebutan Desa jember Kudus). Setelah jatuh Ki Ageng Kedu minta maaf kepada Sunan Kudus. Kemudian, oleh Sunan Kudus disuruh Ki Ageng Kedu untuk membersihkan badannya di Pasucen (sekarang menjadi nama daerah yang letaknya utara masjid Menara + 500 m). Setelah suci baru dipersilahkan menginap di sebelah utara tempat tinggal Sunan Kudus (menjadi nama daerah Kenepan). Dipersilahkannya Ki Ageng untuk menginap sebagai kiasan diterimanya menjadi santri Sunan Kudus dan masuk Islam. Yang kemudian diperintahkan untuk berkholwat atau menyepi ke arah utara (sampai di Desa Gribig kecamatan Gebog). Di desa Gribig inilah diyakini masyarakat Kudus terdapat makam Sunan Kedu. Sampai sekarang, sering dikunjungi bagi siapa saja yang berdagang tembakau atau berdagang hasil olahan tembakau berupa rokok.

Perjalanan Kholwat, Ki Ageng Kedu di lakukan pada malam hari agar tidak ada orang yang tahu, namun dalam perjalanannya Ki Ageng Kedu terantuk/tersandung pagar dalam bahasa jawa “betek” (sekarang menjadi nama daerah mbetean), kemudian Ki Ageng Kedu kembali lagi untuk mengambil alat penerangan di Damaran (nama Desa).

Setelah dianggap cukup dalam melakukan kholwat, kemudian Ki Ageng Kedu diperintahkan pulang, dan pada saat itulah Ki Ageng Kudu diperintahkan memakai gelar Sunan. Atas saran Sunan Kalijaga, kepada Sunan Kudus kepulangan Sunan Kedu diberikan oleh-oleh tanaman padi raja lele dan tembakau. Karena tidak bisa langsung dikonsumsi dan tidak bisa mengolah sendiri pada akhirnya hasil panen daun tembakau di kirim ke Kudus. Dari sinilah yang kemudian Kudus menjadi kota Kretek.    

Kedua; berbeda dengan cerita rakyat yang pertama, diceritakan KH. Fatkhur Rahman, cerita dari gurunya, bahwa pada saat kerajaan Demak mengadakan sarasehan yang dihadiri Kiai Telingsing Kudus, Sunan Kudus, Sunan Kedu dan sunan-sunn yang lain. Sarasehan tersebut di akhiri perjamuan makan “kupat” bersama, yaitu jenis makanan yang dibungkus dengan janur/daun kelapa. Selesai makan bersama, masih banyak sisa makanan saat itu di atas meja, kemudian Sunan Kudus mengumpulkan makanan tersebut. Apa yang telah dilakukan Sunan Kudus tersebut biasa dilakukan oleh kaum santri saat melihat sisa makanan dari orang-orang sholeh atau sisa gurunya. Namun keadaan tersebut berbeda dengan kebiasaan para Bangsawan saat itu, dan bagi mereka apa yang dilakukan Sunan Kudus tidaklah wajar. Akhirnya, apa yang telah dilakukan Sunan Kudus menjadi perhatian Sunan Kedu. Yang kemudian terjadilah perkenalan.  

Pada saat itu Kedu sudah terkenal dengan tanaman tembakaunya yang berkualitas. Namun tidak mengerti cara mengolah dan kegunaannya. Yang kemudian Sunan Kudus menjadikan bahan utama untuk rokok.

Cerita rakyat tersebut apakah benar atau tidak, Wallahu ‘Alam….yang jelas cerita-cerita tersebut beredar di masyarakat dan menjadi jawaban mengapa Kudus yang tidak ada tanaman tembakau, tetapi industri kretek berkembang.

Madura punya cerita lain, keberadaan tembakau di Madura tidak terlepas keberadaan Pangeran Katandur. Pangeran Katandur adalah gelar yang diberikan masyarakat Madura kepada Habib Ahmad Baidawi, putra dari Pangeran Pekaos dan cucu Sunan Kudus. Katandur berasal dari kata “tandur” (tanam), artinya yang menanam. Pangeran Katandur putra dari Habib Sholeh yang bergelar panembahan Pakaos putra Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Sodiq bin Sayyid Usman Sunan Andung). Berdasarkan cerita rakyat yang beredar, sebelum kedatangan Pangeran Katandur, Sumenep termasuk daerah yang sangat tandus, wajar jika tidak terlihat tanaman hijau, namun setelah kedatangan Pangeran Katandur menjadi berubah, karena kemahiran beliau dalam bertani. Konon, sebelum memulai menanam, Pangeran Katandur berdo’a meminta hujan kepada Tuhan, melalui proses bertapa. Walhasil, do’anya terkabul, tanaman tembakaunya berhasil. Tanaman tembakau di Sumenep menjadi tanaman favorit dikenal sebagai daun emas yang dapat mengubah perilaku dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Pangeran Katandur terkenal mahir dalam pertanian, baik bercocok tanam, membajak sawah dengan menggunakan alat yang dinamakan Nanggala atau Salagah, yaitu alat berupa besi lancip yang diikatkan pada kayu dan ditarik dua ekor sapi. Pangeran Katandur hidup sekitar abad 13 sekitar tahun1248. Masyarakat Madura, khususnya Sumenep sampai sekarang memberikan penghormatan terhadap Pangeran dengan datang dan mendo’akan di makamnya, datang silih berganti di setiap harinya. Dan juga mengharapkan berkah mengalir terus untuk masyarakat Madura, termasuk mendapatkan berkah bagi tanaman tembakaunya.