Sepekan belakangan, media massa dan media sosial ramai pemberitaan perihal peraturan yang diterapkan terhadap para pengendara yang merokok. Dalam peraturan tersebut, para pengendara yang kedapatan merokok saat berkendara akan dihukum berupa denda sebesar Rp750 ribu. Peraturan ini mengacu pada Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pada tahun ini, beberapa kota sudah menerapkan undang-undang tersebut dalam kebijakan wilayah mereka, berjarak sekira 10 tahun dari kali pertama undang-undang itu dibuat. Sebuah jeda yang cukup panjang hingga undang-undang tersebut benar-benar diterapkan. Ke depannya tentu peraturan ini akan diberlakukan menyeluruh secara nasional.
Kira-kira satu tahun lalu, saya pernah menulis di situsweb ini terkait kasus salah seorang mahasiswa di Semarang yang mengalami luka cukup parah pada matanya karena terkena bara rokok pengendara lain. Ia mesti dibawa ke rumah sakit karena bara api rokok pengendara lain itu membakar matanya.
Baca: Polusi Udara Jauh Lebih Berbahaya dari Rokok
Bukan sekali dua kasus semacam itu terjadi. Bara api dari rokok pengendara yang tak sengaja terbang tertiup angin mengganggu pengendara lain. Mengganggu penglihatan, mengenai pakaian kadang sampai membolongi beberapa bagian di pakaian, hingga adakalanya berakibat cukup fatal bagi pengendara lain. Seperti kasus yang terjadi setahun lalu di Semarang.
Selain bara api dari rokok pengendara, abu rokok yang beterbangan tertiup angin juga sangat mengganggu pengendara lain. Dan ini yang paling sering terjadi. Bukan sekali dua mata saya kelilipan abu rokok dari pengendara lain saat saya berkendara. Jika sudah begitu saya akan memperlambat laju sepeda motor saya kemudian berhenti, lalu mengecek keadaan mata saya.
Ini memang sepele, sekadar abu rokok, namun keadaan seperti itu bisa berakibat fatal dan menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Maka secara pribadi saya sangat menyetujui peraturan hukuman berupa denda bagi para pengendara yang merokom saat berkendara diterapkan. Itu sejalan dengan kampanye ‘Perokok Santun’ yang terus dikampanyekan Komite Nasional Pelestarian Kretek dan Komunitas Kretek sejak beberapa tahun lalu.
Ada beberapa kritik terkait penerapan aturan ini tentu saja. Yang pertama, nominal denda yang ditetapkan. Saya pikir, Rp750 ribu untuk hukuman denda tidak aplikatif pada penerapannya. Nominal yang terlalu besar tentu saja akan membikin rumit penerapan langsung di lapangan. Ia akan menyita waktu, dan belum tentu pengendara yang kedapatan merokok saat berkendara membawa uang kontan sebanyak itu. Alhasil, transaksi dan negosiasi akan terjadi dan rawan menimbulkan praktik kongkalikong sebagaimana yang lazim terjadi saat ada operasi tilang di jalan.
Baca: Apapun Penyakitnya, Rokok Selalu Disalahkan
Jika misal nominal denda ada pada angka Rp50 ribu hingga Rp100 ribu, saya kira ini malah akan lebih aplikatif dalam penerapannya. Dan peraturan bisa benar-benar diterapkan. Contoh nyata peraturan sekadar menjadi ancaman adalah peraturan denda terhadap pembuang sampah sembarangan yang dendanya hingga berjuta-juta. Maka peraturan itu sekadar peraturan semata, tidak diterapkan dan diremehkan begitu saja. Banyak orang masih merasa aman buang sampah sembarangan.
Yang kedua, bagaimana mekanisme uang itu dikumpulkan. Tentu saja undang-undang sudah mengatur siapa yang akan menyimpan uang denda yang diterima dari para perokok yang merokok saat berkendara, namun sebagaimana biasa, lagi-lagi pengawasan ketat mesti dilakukan agar dana tidak disalahgunakan.
Yang terakhir, penggunaan dana hasil denda. Proses penggunaannya harus benar-benar dikawal sebaik mungkin agar tepat sasaran. Sebaiknya dana itu mulanya digunakan untuk menyosialisasikan peraturan ini di seluruh negeri. Agar semua pihak tahu dan peraturan ini benar-benar bisa diterapkan hingga akhirnya para perokok tertib untuk tidak merokom saat berkendara.
Baca: Jadilah Perokok yang Santun
Saya ingin mengingatkan sekali lagi–meskipun perokok selalu mendapat diskriminasi terutama dari peraturan ruang merokok dan kampanye negatif yang dialamatkan kepada rokok dan para perokok oleh mereka yang anti-rokok– marilah kita menjadi perokok yang santun. Sebagai bentuk toleransi kita kepada mereka yang tidak merokok, dan sebagai wujud warga negara baik yang mentaati peraturan.
Empat ciri utama perokok santun: Tidak merokok saat berkendara; tidak merokok di area dilarang merokok; tidak memberikan rokok kepada anak-anak; dan tidak merokok di dekat ibu hamil dan anak-anak.
Yang terakhir, saya kira peraturan ini sebaiknya tidak hanya diterapkan kepada pengendara yang merokok saja, tetapi juga kepada pengendara yang membuang sampah sembarangan dan pengendara yang meludah sembarangan. Keduanya juga sangat mengganggu pengendara lain dan bisa berdampak buruk bagi lingkungan.