logo boleh merokok putih 2

KH. Aziz Masyhuri, Rokok dan Ijtima’ MUI di Padang Panjang

Pertanyaannya kemudian, bagaimana sebenarnya peristiwa soal hukum haram rokok (kretek) yang diputuskan MUI di Padang Panjang tahun 2009? Sehingga pada tahun berikutnya (2010) ada forum  musyawarah baru di Surabaya untuk meng-counter balik hasil pertemuan MUI di Padang Panjang.

Penuturan KH. Aziz Masyhuri (pangilan akrab Kiai Azis) bahwa pada saat itu, ia kebetulan pergi silaturrahim ke Jakarta, bersama seluruh anggota keluarganya. Sampai di Jakarta, ia tidak langsung menuju rumah saudaranya, melainkan singgah dulu di Kementerian Agama, yang saat itu dipimpin oleh Suryadharma Ali.  Ketika baru menginjak kantor Kemenag, tiba-tiba ia disapa dan ditanyai oleh salah seorang pejabat Kemenag, ihwal forum yang digelar MUI di Padang Panjang.

Dalam percakapan dengan pejabat Kemenag tersebut, intinya Kiai Aziz dipaksa harus ikut berpartisipasi di dalam Ijtima’ yang digelar MUI di Padang Panjang itu. Padahal sejak awal, Kiai Aziz sebenarnya tidak tertarik untuk hadir ke dalam forum tersebut. Kiai Aziz cukup menitipkan kitab tentang rokok dan kopi, karangan KH. Ihsan Jampes, Irsyadul Ikhwan kepada salah satu sahabatnya yang sudah terlebih dulu terbang ke Padang Panjang.

Singkat cerita, Kiai Azis setuju datang ke acara MUI di Padang Panjang tersebut. Setelah mendapatkan tiket, Kiai Aziz akhirnya terbang ke Padang Panjang untuk berpartisipasi ke dalam forum MUI di atas.

Ketika Kiai Aziz mulai masuk ke dalam forum diskusi tentang rokok yang digelar oleh MUI itu, Kiai Aziz bertemu dengan temannya, Wibisono, yang saat itu menjadi rektor UHAMKA. Wibisono sendiri merupakan mantan santri Denanyar Jombang Jatim. Selain itu Kiai Aziz juga bertemu dengan Hamdan Rasyid, ketua MUI Jakarta.

Sebelum masuk ke arena diskusi itu, Kiai Aziz menemui temannya yang sebelumnya dititipi kitab Irsyadul Ikhwan. Kitab itu akhirnya diminta kembali oleh Kiai Aziz untuk beliau jadikan rujukan dalam forum perdebatan rokok tersebut. Saat diskusi berlangsung, Kiai Aziz sempat kaget, karena hampir semua peserta yang hadir cenderung menghukumi rokok (kretek) itu haram. Ada banyak alasan untuk membuat fatwa haram rokok (kretek) di forum tersebut: seperti kesehatan, ekonomi, sosial dan sebagainya. Intinya alasan rokok haram adalah karena banyak madharatnya, baik secara medis maupun ekonomis, sebagaimana yang dilontarkan oleh para peserta diskusi.

Sampailah  Kiai Aziz untuk angkat berbicara dalam acara dialog tersebut. Maka Kiai Aziz pun mengungkapkan pendapatnya sembari merujuk kitab Irsyadul Ikhwan. Menurut Kiai Aziz, tidak ada dalil  al-Qur’an dan Hadits yang secara eksplisit mengharamkan rokok. Dalil yang ada hanya di kitab-kitab fiqih. Di dalam kitab fiqh sendiri, terdapat banyak pendapat soal rokok, ada haram, ada makruh, ada mubah dan sebagainya. Jadi di kalangan ulama sendiri sebenarnya terdapat perbedaan pendapat soal hukum rokok. Karena itu, kalau haram mutlak atau haram ‘am  terhadap rokok, Kiai Aziz menyatakan tidak setuju.

Yang dimaksud dengan haram ‘am (haram umum) adalah bahwa keharaman rokok itu meliputi semua orang dan meliputi seluruh situasi dan kondisi. Tetapi kalau  haram khos  atau haram terbatas (haram karena situasi-situasi yang khusus ), maka bisa diterima. Haram khos ini, maksudnya adalah bahwa keharaman rokok itu hanya sebatas orang-orang tertentu dan dalam kondisi tertentu seperti ibu-ibu hamil, anak-anak kecil dan orang-orang yang memang mempunyai penyakit tertentu yang sangat sensitif terhadap rokok.

Namun, untuk haram khos ini menurut Kiai Aziz sudah berjalan. Di dalam kehidupan sehari-hari, larangan merokok untuk ibu –ibu hamil dan anak-anak itu sudah berjalan.  Namun dalam kehidupan yang lebih luas, ada banyak orang yang juga mendapatkan manfaat dari merokok. Seperti ada orang yang merokok justru membuat pikirannya jernih dan lancar dalam bekerja dan sebagainya. Ini sebuah kenyataan yang tidak bisa ditampik. Karenanya di dalam kitab Irsyadul Ikhwan sendiri ada banyak hukum tentang rokok, tidak hanya haram, tetapi juga mubah dan juga makruh. Varian hukum rokok inilah yang dibacakan oleh Kiai Aziz dalam forum tersebut. Dari kitab itu Kiai Aziz kemudian menyimpulkan bahwa kalau haram ‘am maka ia tidak setuju, tetapi kalau haram khos maka ia setuju soal hukum haram rokok.

Setelah perdebatan selesai, maka hasil diskusi diserahkan kepada tim perumus untuk diambil kesimpulan akhir. Setelah itu, diskusi kembali dibuka untuk mendengarkan hasil kesimpulan. Tetapi ternyata, hasil kesimpulan yang dibacakan tidak sesuai dengan yang diperdebatkan oleh forum. Maksudnya, di dalam perdebatan soal rokok, keharaman rokok itu bukan termasuk haram ‘am melainkan lebih pada haram khos. Tetapi di dalam kesimpulannya justru disebutkan haram ‘am atau haram mutlak saja. Memang, seperti disinggung di atas bahwa, di dalam forum itu hampir semua peserta hendak menggiring ke dalam satu pendapat: bahwa rokok itu haram mutlak (haram ‘am). Karena menurut Kiai Aziz, rata-rata peserta diskusi yang jumlahnya kurang lebih 700 orang itu dipilih  yang kira-kira mendukung haramnya rokok. Para peserta itu sendiri hanya diambil dari pusat dan wilayah, tidak ada yang yang dari kabupaten.

Secara lebih terperinci konon peserta hadir terdiri atas 441 ulama dari seluruh Indonesia, serta dari Malaysia dan Timur Tengah. Sedang khusus dari Sumatera Barat sendiri akan hadir 200 ulama. Jadi total peserta mencapai 641 orang. Karena keputusan akhir yang dibacakan tidak sesuai dengan yang diperdebatkan semula, maka Kiai Aziz melakukan intrupsi. Dalam intrupsinya itu, Kiai Aziz keberatan bahwa dalam pembicaraan soal rokok itu ada perbedaan pendapat, kenapa dalam keputusan akhir justru diputuskan hanya haram ‘am saja.

Sebagian peserta lagi lebih setuju kalau hukumnya rokok itu makruh. Karena itu, di dalam forum tersebut, terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) soal hukum rokok. Menurut Sekretaris Komisi B Dr. Hasanuddin dalam Ijtima’ tersebut, saat sidang pleno melaporkan, bahwa komisi yang membahas masalah zakat, wakaf dan rokok tidak memperoleh kata sepakat tentang benda berasap itu. Ada beberapa pendapat para ulama tentang rokok. Seluruh peserta sidang sepakat bahwa rokok hukumnya tidak wajib, yaitu sunnah maupun mubah.

Selain itu, hampir seluruh peserta sepakat bahwa rokok hukumnya dilarang. Sebagian ada yang menyatakan dilarang karena makruh, dan sebagian lagi menyatakan dilarang karena mubah. Ini artinya meski hukum rokok haram cenderung menguat dalam forum Ijtima’ tersebut, tetap ada perbedaan pendapat. Namun, yang dipersoalkan oleh Kiai Aziz adalah kenapa dalam kesimpulan akhir diputuskan haram mutlak (haram ‘am), sehingga seolah-olah tidak terjadi perbedaan pendapat. Atas dasar inilah, maka Kiai Aziz protes dan menantang untuk berdiskusi lagi. Sebagaimana beliau kisahkan:

“Saya usul (waktu itu), ‘seingat saya tadi itu keputusannya itu tidak seperti itu’ (tidak haram aam—)…saya tantang, apa mau diskusi lagi…kalau diskusi lagi, silahkan, tetapi saat itu sudah pukul setengah lima, padahal pukul lima forum itu harus ditutup. …waktu berikutnya yang memimpin pak Kiai Ma’ruf Amin… (saya katakan kepada beliau) ‘ tadi itu tidak seperti ini, kok keputusannya seperti ini’…akhirnya pak Ma’ruf Amin nyambung, “ya gini saja pedomannya tadi gimana, ya harus kembali pada yang tadi” (kembali pada apa yang diputuskan oleh peserta ijtima’ yaitu bahwa rokok hukumnya ikhtilaf—pen), ….pak Ma’ruf Amin tegas begitu…akhirnya dibacakan sesuai dengan keputusan awal (ada ikhtilaf soal hukum rokok—pen)”

Tetapi anehnya keputusan itu tidak segera diumumkan oleh MUI kepada seluruh masyarakat. Terbukti, kata Kiai Aziz, di berbagai daerah masih banyak yang menyampaikan bahwa MUI mengharamkan rokok. Karena ada kecenderungan sejak awal MUI memang hendak mengharamkan. Karena masih terjadinya kesenjangan informasi soal keputusan MUI inilah, maka kiai-kiai NU Jawa Timur mengadakan bahtsul masail tentang rokok di hotel Mercure Surabaya pada 2010 .

Itulah letak relasi dialektis dua forum diskusi yang sama-sama digelar oleh para ulama dan cendekiawan Muslim, di waktu dan tempat yang berbeda dengan hasil keputusan yang juga berbeda. Forum MUI di Padang Panjang 2010 cenderung menghukumi rokok (kretek) haram (tesis), sementara forum Bahtsul masail para pengasuh pesantren NU di Surabaya menghukumi rokok (kretek) mubah (anti tesis)

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).