REVIEW

Sabatikal

Dalam KBBI, terdapat lema ‘sabatikal’ yang memiliki arti: cuti panjang untuk istirahat; mengadakan penelitian; atau mengikuti kursus untuk menyegarkan ilmu. Semua aktivitas sabatikal dilakukan di luar aktivitas rutin yang biasa dikerjakan.

Sabatikal masuk ke KBBI lewat jalur yang cukup panjang. Dari bahasa Ibrani, kemudian diserap bahasa Inggris, perubahan makna dan pengucapan di bahasa Inggris, lalu diserap ke bahasa Indonesia menjadi Sabatikal.

Sabatikal memiliki akar kata ‘Shabbat’ yang dalam bahasa Ibrani memiliki arti ‘istirahat’ atau ‘berhenti bekerja’. Ada juga yang berpendapat akar katanya adalah ‘Shabbos’ dalam logat Ashkenazi yang memiliki arti sama dengan ‘Shabbat’.

Baca: Mitologi Munculnya Srintil, Tembakau Terbaik dan Termahal di Dunia

Menurut ajaran Yudaisme, shabbat adalah hari ketujuh dalam sepekan, hari Tuhan beristirahat setelah enam hari menciptakan alam semesta. Menurut keyakinan ajaran Yahudi, hari shabbat harus dirayakan terhitung sejak Tuhan selesai menciptakan alam semesta.

Penganut Yudaisme merayakan hari shabbat dimulai sejak hari jumat petang, 18 menit sebelum matahari terbenam di hari jumat. Perayaan hari shabbat berakhir pada hari sabtu sesaat setelah matahari terbenam. Sedikit kegiatan yang boleh dilakukan sepanjang perayaan shabbat. Makan sebanyak tiga kali, bertemu keluarga, beribadah di sinagog, dan beberapa kegiatan ringan lain.

Karena pemaknaan utama shabbat adalah istirahat dan berhenti bekerja, maka sepanjang perayaan shabbat, penganut Yudaisme dilarang melakukan kerja seperti hari lainnya. Secara spesifik ada 39 jenis pekerjaan yang pantang dilakukan.

Al Quran sempat mengabadikan kisah kaum Yahudi -yang merasa miskin dan khawatir semakin rudin akibat kewajiban shabbat ini- mengakali perayaan shabbat. Akal-akalan dirancang dengan mangkus dan sangkil agar mereka terkesan tidak membohongi perayaan, tidak menipu Tuhan. Alhasil, mereka mendapat laknat langsung dari Tuhan.

Baca: Beberapa Manfaat Tembakau Selain untuk Bahan Baku Rokok

Dalam praktiknya, selain Yudaisme, Kristen Advent juga merayakan hari shabbat dengan ritus yang mirip dengan yang dilakukan Yudaisme. Pak Musso, guru biologi sekaligus wali kelas saya di kelas 3 SMA sempat cerita banyak tentang hari shabbat. Kebetulan beliau penganut Kristen Advent hari ketujuh.

Selanjutnya shabbat bertransformasi makna di masyarakat barat, digunakan untuk menyebut istilah seperti yang sudah saya kutip di paragraf pertama tulisan ini. Mereka menyebutnya sabbatical yang diserap KBBI menjadi sabatikal.

Seiring perjalanan waktu, makna sabatikal mengalami sedikit perubahan. Istilah sabatikal digunakan bukan hanya untuk cuti dari kerja, mengadakan penelitian, dan kursus penyegaran ilmu. Istilah sabatikal digunakan untuk sesuatu yang lebih dari yang disebut di atas, lebih secara laku juga lebih dalam memberikan manfaat kepada sesama.

Entah siapa yang pertama memulai, sabatikal, atau ‘sabbatical leave’ dalam bahasa Inggris adalah sebuah laku mengasingkan diri dari rutinitas yang biasa dilakukan sehari-hari. Meninggalkan pekerjaan, rumah, dan bermacam kenyamanan lain selama berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun, untuk melakukan kerja sosial, membantu mereka yang membutuhkan, bekerja bersama warga tempat ia mengasingkan diri, dan bekerja apa saja mendermakan pikiran dan terutama tenaga selama dibutuhkan warga.

Selain itu, mereka yang menjalani laku sabatikal belajar banyak dari masyarakat tempatan. Belajar bagaimana berlaku sederhana, dan menghargai hidup dan kehidupan yang telah diberikan kepadanya.

Dari orang biasa hingga para pesohor pernah menjalani laku ini. Seorang pengusaha real estate, anak pemilik usaha butik nomor wahid di Eropa, hingga musisi kelas dunia pernah melakukan sabatikal karena muak dengan kehidupan yang hingar-bingar dan hedon. Mereka menyamarkan identitas, mengganti nama, hidup dan bekerja bersama warga, dan akhirnya meninggalkan desa usai membangun rumah sakit, perpustakaan, taman bermain, dan bermacam hal bermanfaat lain bernilai jutaan dolar. Peninggalan itu sesuai kebutuhan masyarakat hasil pengamatan selama menjalani prosesi sabatikal.

Tidak, mereka tidak datang dengan gembar gembor ingin menginspirasi, tidak datang dengan stigma-stigma yang menyalahkan dan memandang remeh masyarakat semisal bodoh, malas, tertinggal, primitif dan sebagainya sehingga harus dicerahkan, diberi inspirasi, dicekoki pandangan-pandangan tentang cita-cita muluk dan modernisme. Bukan itu semua.

Mereka datang dengan tujuan ingin mendermakan pikiran dan tenaga sesuai dengan kebutuhan dan laku hidup yang dijalankan masyarakat tempat mereka menjalani laku sabatikal. Belajar banyak hal dari masyarakat tempatan dengan tujuan agar hidup selanjutnya bisa lebih bermakna dan bermanfaat.

Di masyarakat kita, di negeri ini, saya kira sudah banyak lelaku semacam ini. Tetapi sayangnya, yang terlihat menonjol adalah mereka yang hendak begini tapi berangkat atas anggapan masyarakat itu bodoh dan primitif, sehingga harus dicerahkan dan diinspirasi. Lalu setelah sejenak didatangi, masyarakat ditinggal begitu saja setelah diacak-acak tatanan kehidupannya dengan racun modernisme, untuk kemudian menjadi artis di politik elektoral negeri ini. Atau kembali ke kehidupan biasanya dengan mengklaim diri sebagai pahlawan dan penyelamat banyak orang.